URnews

Mengenal Fenomena Borneo Vortex yang Pengaruhi Penerbangan

Nivita Saldyni, Jumat, 15 Januari 2021 15.19 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mengenal Fenomena Borneo Vortex yang Pengaruhi Penerbangan
Image: Petir cloud to ground (Instagram @lapan_ri)

Jakarta - Mungkin bagi sebagian besar Urbanreaders istilah Borneo Vortex masih terasa asing. Namun ternyata sudah banyak penelitian yang menjelaskan tentang fenomena satu ini, salah satunya Anip dan Lupo dari Colorado, Amerika Serikat.

Dikutip dari artikel LAPAN, Anip dan Lupo (2011) menyatakan bahwa Borneo Vortex adalah sebuah gangguan monsun, yaitu sirkulasi siklonik level bawah dan quasi-stasionary yang terbentuk di pesisir pulau Borneo.

Lantas bagaimana Borneo Vortex bisa terbentuk? Nah, menurut jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika milik Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) di tahun 2015, Borneo Vortex terjadi karena adanya dorongan Angin Pasat Tenggara ke utara terhadap Angin Monsun Asia, sehingga angin berinteraksi dengan topografi pulau Kalimantan.

"Sebetulnya Kalimantan itu kan daerah ekuatorial. Nah daerah ekuatorial itu termasuk daerah yang kalau dalam bahasa meteorologi itu ITCZ, Inter Tropical Continent Zone. Apa artinya? Ada aliran angin dari utara dan selatan bertemu di situ. Nah kalau angin ketemu, dia mengumpulkan awan, makanya menumpuk di borneo itu. Peneliti Jepang nyebutnya Borneo Vortex," jelas peneliti petir dan atmosfer BMKG, Deni Septiadi.

Menurut Deni, ini bukan sebenarnya bukan fenomena yang sering terjadi. Namun, Dosen Meteorologi Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) BMKG ini mengatakan bahwa fenomena tersebut tampak dalam beberapa waktu terakhir.

"Nggak sering juga, cuma memang dalam beberapa hari ini saya lihat banyak sekali skala-skala (awan) meso tumbuh di Indonesia," imbuhnya.

Ketika ditanya apa yang mepengaruhi terjadinya fenomena Borneo Vortex, Deni menyebutkan beberapa faktor. 

"Kalau kita bicara awan, itu kan fenomena yang sifatnya short term artinya bisa berubah dalam waktu yang singkat. Untuk awan yang single cell karena kita daerah ekuatorial, daerah yang surplus energi, satu jam itu bisa dia tumbuh yang single cell Cb itu. Kalau yang besar seperti Borneo Vortex, dia butuh kurang lebih beberapa jam," kata Deni.

"Salah satu yang menyebabkan masifnya fenomena model-model begini adalah pertama, suhu muka laut di Indonesia ini cenderung hangat," lanjutnya.

Berdasarkan pengamatan yang ia lakukan, saat ini suhu muka laut di Indonesia berada di atas 26 - 30 derajat celsius. Dan ini sudah tergolong hangat.

"Dan salah satunya kemarin memang kan sudah disebutkan La Nina kan aktif. Karena La Nina-nya aktif, maka kolam air panasnya bergeser ke wilayah Indonesia. Jadi semakin hangat nih wilayah kita. Dan hangat itu adalah 'bahan bakar' untuk proses tumbuh awan," jelasnya.

"Ditambah lagi kalau DJF (Desember, Januari, dan Februari) itu kan monsun Barat menguat. Jadi dari Asia, dari Siberia tadi dia masuk ke arah Indonesia itu membawa uap air. Jadi memang wilayah kita luar biasa basah," lanjut Deni.

Deni menjelaskan setidaknya ada tiga bahaya yang mengingati pesawat saat menghadapi Borneo Vortex. Bahaya itu bisa dialami pesawat, baik saat di bawa sel awan, di dalam sel awan, bahkan di atas atas sel awan tersebut sekalipun.

"Kalau dia berada di bawah awan itu kemungkinan pesawat ini bisa kena yang namanya microburst," kata Deni.

Nah, microburst adalah potensi aliran udara yang keluar dari awan menuju ke bawah dengan kecepatan aliran mencapai 100 kilometer/jam bahkan lebih. Jika itu terjadi, kata Deni, maka pesawat bisa terjerembab dan hilang kendali.

"Di bagian bawah pun itu ada yang namanya petir cloud to ground atau petir awan ke tanah. Petir ini bisa nyamber ke pesawat tadi. Bahkan pesawat belum ngapa-ngapain, masih parkir di runaway itu juga bisa kesamber oleh petir," jelasnya.

Bahaya lain juga mengintai pesawat yang berada atau pun melewati pusat sel awan ini. Sebab saat itu terjadi maka pesawat akan menghadapi turbulensi yang kuat dan juga petir intra cloud.

"Di bagian tengah awan itu potensi turbulensinya luar biasa sekali, kuat. Selain turbulensi, jangan lupa di situ juga ada petir di dalam awan, namanya petir intra cloud. Petir ini paling banyak jumlahnya dari macam-macam jenis petir, 80 persen petir itu ada di intra cloud tadi. Jadi memang berbahaya sekali, apalagi skalanya meso. Jadi pesawat kalau masuk ke dalam sistem itu dia bisa 'diunyek-unyek'. Turbulensi kuat, tekanan tinggi, kemudian kena petir. Meledak pun bisa itu pesawat," jelas Deni panjang lebar.

Mengapa demikian? Deni menjelaskan, satu sentuhan petir itu panasnya bisa mencapai 30.000 derajat celsius. Duh, bayanginnya aja udah ngeri duluan ya guys.

Nah bahaya terakhir adalah saat pesawat berada di bagian atas awan atau melewati puncak awan tersebut. Saat itu terjadi, maka pesawat bakal mengalami icing.

"Kalau di bagian atas, pesawat bisa kena namanya icing karena di puncak awan temperaturnya kan dingin sekali, tadi itu bahkan sampai minus 90 derajat celsius. Artinya, di puncak awan itu partikel awan sudah solid semua dalam bentuk es," kata Deni.

"Itu kira-kira bahayanya paling tidak yang dihadapi pesawat kalau dia berhadapan dengan awan-awan Cb, apalagi yang model skala meso begini," pungkasnya.

Nah oleh karena itu, Deni mengajak Urbanreaders untuk lebih melek melihat cuaca nih. Terutama bagi kamu yang harus melakukan perjalanan udara dengan pesawat ya.

"Memang musim DJF itu potensi awannya ya seperti ini. Cuma kalau saya lihat untuk tahun ini kayanya agak luar biasa sih di bandingkan tahun sebelumnya. Sehingga yang perlu diwaspadai sebetulnya masyarakat itu kalau bisa agak melek sedikit melihat cuaca. Terutama kalau mau berangkat, terpaksa kita harus menggunakan pesawat atau penerbangan, tentu haru kita lihat rutenya seperti apa," pesan Deni.

Selain itu, yang perlu diingat adalah Indonesia berada di daerah yang konvektifnya besar. Deni mengatakan, hampir kebanyakan proses konvektif di wilayah Indonesia itu puncaknya terjadi di atas insolasi optimum yaitu di atas jam 1 siang.

"Jadi di atas jam 1 itu adalah waktu-waktu yang menurut saya agak perlu regulasi yang betul juga itu dari penerbangan. Artinya jam-jam penerbangan kalau bisa jangan dipadatkan di jam itu. Karena kalau awan tumbuh, dia berkembang dia posisi mature (dewasa) itu rata-rata di atas jam 1 siang. Puncaknya kira-kira jam 3 - 4," tutupnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait