URguide

Minimalisme; Kebutuhan vs Keinginan

Ika Virginaputri, Selasa, 2 November 2021 15.58 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Minimalisme; Kebutuhan vs Keinginan
Image: Minimalisme (ilustrasi :Marek-Uliasz//Dreamstime)

Hal-hal yang sifatnya material seringkali jadi barometer kesuksesan dan kebahagiaan. Status ekonomi seseorang biasa dinilai dari barang-barang yang dibelinya. Padahal banyak juga loh guys, orang yang justru merasa puas dan bahagia dengan sedikit barang. Tidak berarti kondisi mereka memprihatinkan dan hidup ala kadarnya. Namun, mereka lebih suka fokus pada sesuatu yang dianggap lebih penting ketimbang barang-barang.

Nah, konsep hidup kayak gini ternyata sudah ada cukup lama dan dikenal dengan istilah minimalisme. Pengen tahu lebih dalam tentang ini? Yuk simak ulasannya bareng-bareng! 

Simpel dan Sederhana

Selama ini, orang lebih mengenal kata 'minimalis' sebagai sebuah konsep ide. Desain baju, bangunan, interior ruangan, ataupun karya seni. Simpel dan sederhana adalah karakteristik utamanya. Untuk baju misalnya, mungkin kainnya polos tanpa motif dengan potongan simetris yang rapi. Sedangkan untuk bangunan atau ruangan, digambarkan dengan banyaknya ruang kosong terbuka tanpa banyak perabot atau hiasan.

Lalu, pada tahun 2010, dua sahabat Joshua Fields-Millburn dan Ryan Nicodemus mengenalkan konsep minimalis ini sebagai gaya hidup lewat blog mereka, www.theminimalists.com. Yak, sama dengan filmnya yang tayang di Netflix. By the way, buat kamu yang belum nonton, Josh dan Ryan ini mengampanyekan gaya hidup minimalis mereka melalui sebuah film dokumenter. Katanya, sudah lebih dari 20 juta orang mengikuti gaya hidup mereka, loh.

Mengusung slogan 'less is more', Josh dan Ryan yang udah sahabatan sejak sekolah dasar ini mengajak kita untuk hidup serba sedikit dan serba mengurangi. Bukan serba kekurangan loh, ya? Serba mengurangi artinya mengurangi belanja, mengurangi koleksi barang, dan mengurangi ambil atau menerima dari orang lain. Intinya, hidup hanya dengan sesuatu yang kita butuhkan aja dan lebih banyak berbagi.

1635842988-Netflix.jpegSumber: Joshua Fields-Millburn (kiri-berdiri) dan Ryan Nicodemus (kanan-duduk) mengenalkan minimalisme sebagai gaya hidup lewat tayangan dokumenter di Netflix (Foto: TheMinimalists.com)

Kemudian, di tahun 2015 ide serupa datang dari penulis asal Jepang, Fumio Sasaki, yang menerbitkan buku 'Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism'. Nggak jauh berbeda dengan Josh dan Ryan, Fumio juga memilih gaya hidup minimalis karena didorong oleh ketidakpuasan. Kerja kantoran, karier yang sukses dengan gaji selangit, dan punya barang-barang mewah, ternyata nggak bikin mereka merasa bahagia. Justru dengan mengurangi kepemilikan barang, mereka bertiga mengaku punya hidup yang lebih berkualitas dan punya banyak waktu untuk fokus ke hal-hal yang lebih penting. Mereka mencontohkan, waktu senggang yang mereka punya bisa dimanfaatkan untuk berolahraga ketimbang membereskan tumpukan baju di lemari yang dibeli cuma karena lagi diskon. 

Banyak Barang, Banyak Stres

Jika menghitung jumlah penghuni bumi yang mencapai hampir 8 miliar orang, jelas belum banyak yang menganut prinsip kesederhanaan ini. Minimalisme memang populer, tapi banyak orang yang menganggap hal itu hanya sebagai sesuatu yang inspiratif aja. Survei lembaga riset konsumen Civic Science di tahun 2018 bahkan menunjukkan 65% orang Amerika Serikat yang jadi responden sama sekali nggak berminat jadi minimalis.

Meski begitu, saat ini sudah ada pergeseran orientasi di masyarakat yang besar kemungkinan bakal bikin minimalisme lebih banyak diterapkan. Hal itu disampaikan oleh Devie Rahmawati, seorang pengamat sosial dari Universitas Indonesia. Kepada Urbanasia, Devie menjelaskan beberapa faktor yang mendorong orang mengadopsi gaya hidup minimalis.

"Ternyata ada sebuah riset dari UCLA yang mengatakan bahwa ketika seseorang memiliki barang lebih banyak, maka dia punya peluang untuk menjadi lebih stres," ujar Devie.

"Karena kan mengelola dan merawat barang kan pasti membutuhkan waktu, membutuhkan biaya, dan sebagainya, yang membuat pemilik menjadi lebih stres," lanjutnya.

Devie merujuk pada sebuah studi di tahun 2009 yang menjelaskan bahwa banyaknya barang di sebuah rumah, berbanding lurus dengan naiknya hormon kortisol yang jadi penyebab stres. Dan, karena porsi kaum perempuan mengurus rumah lebih banyak dibanding laki-laki, maka perempuan lah yang lebih sering stres menghadapi timbunan barang.

Banyaknya barang bahkan bisa berdampak negatif buat kesehatan mental, seperti memicu gangguan kecemasan dan depresi. Pikiran kita jadi susah rileks karena menganggap acara beberes rumah seperti nggak ada habisnya. Fokus pun jadi banyak terbagi. Ujung-ujungnya bikin lelah fisik dan mental. Nah, penganut minimalis yang digerakkan faktor psikologis ini berusaha mengurangi kepemilikan barang supaya berkurang juga beban pikiran mereka.

Selain itu, uang jadi faktor kedua yang disebut Devie sebagai alasan hidup minimalis. Terkadang kita lupa bahwa uang yang kita keluarkan buat barang bukan hanya saat membeli aja. Seperti yang Devie ungkapkan sebelumnya, setelah beli kita juga harus siap dengan biaya pengelolaan dan perawatan. Pengeluaran ekstra lagi, deh.

"Jelas, ketika kepemilikan terhadap barang itu banyak, maka akan dibutuhkan uang yang lebih banyak sehingga kemudian hutang menjadi lebih banyak," Devie menuturkan.

"Ini menjadi sesuatu yang juga tidak dipilih oleh banyak kalangan modern sekarang. Apalagi sekarang di tengah-tengah pandemi, di mana ekonomi sedang sulit," papar perempuan kelahiran tahun 1982 ini.

1635843180-Devie.jpgSumber: Devie Rahmawati, pengamat sosial Universitas Indonesia (Foto: Dok pribadi)

Bahagiakan Diri Sendiri

Gaya hidup minimalis juga didorong oleh kesadaran akan waktu. Pasti kamu pernah merasa bahwa 24 jam dalam sehari itu nggak cukup, kan? Kalau kamu udah sering merasa seperti ini, saatnya kamu evaluasi lagi nih semua hal yang ada dalam hidupmu. Jangan-jangan, kamu menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berkutat dengan barang-barang?

Dalam bukunya, Fumio Sasaki meminta pembaca membayangkan barang-barang yang mereka miliki bisa bicara. Ada yang minta dibersihkan, ada yang minta dimainkan, ada yang minta diperhatikan. Karenanya, memiliki banyak barang nggak cuma menghabiskan waktu untuk memeliharanya, tapi juga akan menguras energi kamu.

Terkait hal ini, Devie berpendapat bahwa alih-alih menghabiskan banyak waktu untuk merawat barang, lebih baik mendedikasikan waktu untuk kebahagiaan diri sendiri.

"Ketika kita memiliki barang-barang lebih banyak, maka akan lebih banyak waktu yang digunakan untuk perawatan dan sebagainya. Andaikan waktu tersebut dialihkan untuk menyenangkan atau membahagiakan diri sendiri dengan melakukan hobi, berjalan-jalan dan sebagainya itu akan jauh lebih menyenangkan," tandas Devie.

Bentuk Cinta Lingkungan

Selain berfokus pada kebahagiaan diri dan kualitas hidup yang lebih baik, prinsip hidup minimalis juga adalah bentuk kecintaan pada lingkungan, loh. Setidaknya, pada lingkungan sekitar di mana kita tinggal. Merampingkan kepemilikan barang, menurut Devie sudah termasuk aksi ramah lingkungan. Sedikit barang, berarti sedikit sampah. Sedikit konsumsi, berarti sedikit limbah dan polusi.

"Barang-barang yang terlalu banyak kemudian membuat lingkungan semakin rusak karena limbahnya, ini juga mendorong orang menjadi lebih minimalis," ungkap Devie.

Tipe minimalis eco-friendly ini sadar banget kalau kebiasaan konsumtif makhluk hidup berpotensi bikin bumi nggak 'hijau' lagi. Misalnya, polusi asap dari kendaraan, ruang terbuka yang beralih fungsi jadi bangunan, atau sesimpel sampah bekas bungkus barang yang kita beli. Meminimalisir belanja berarti akan meminimalisir sampah, kan?

Gaya hidup minimalis ini juga membuka berbagai pengalaman berharga dalam hidup. Kalau menurut Josh dan Ryan, minimalisme dapat memberi ruang untuk kita mengalami hal-hal penting dalam hidup, yaitu perasaan dan pengalaman. Berlibur ke tempat favorit akan lebih membawa kepuasan batin dibandingkan membeli ponsel model terbaru. Hal inilah yang saat ini menurut Devie cenderung dilakukan oleh generasi muda.

"Generasi sekarang memang lebih menyukai, memilih pengalaman daripada kepemilikan barang-barang," katanya.

"Sebuah survey mengatakan 70% mereka lebih menikmati pengalaman daripada harus membeli barang-barang. Nah, ini yang kemudian mendorong generasi sekarang hidup secara lebih minimalis," pungkas Devie.

Menilik ulasan di atas, gaya hidup minimalis tampaknya mengerucut pada dua kata, yaitu ‘perlu’ dan ‘cukup’. Beli hanya yang kamu perlukan dan miliki dengan jumlah yang cukup, alias tak berlebihan. Bonusnya, kamu bisa menjalani hidup yang lebih bermakna, minim stres, ramah lingkungan, dan menggunakan uang dengan lebih bijak. Tertarik untuk mencoba gaya hidup minimalis, guys?
 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait