URtrending

Pasal-pasal yang Jadi Kontrovesi di RUU Ketahanan Keluarga

Ken Yunita, Kamis, 20 Februari 2020 11.40 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Pasal-pasal yang Jadi Kontrovesi di RUU Ketahanan Keluarga
Image: Gedung DPR. (Istimewa)

Jakarta - Sejak kemarin, media sosial Tanah Air dirampaikan dengan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga.

RUU ini merupakan usulan dari sejumlah anggota DPR dari empat fraksi berbeda.

Mereka adalah Fraksi PKS Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani, anggota Fraksi Golkar Endang Maria Astuti, anggota Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, dan anggota Fraksi PAN Ali Taher.

"RUU tersebut usul inisiatif DPR, masih dalam tahap penjelasan pengusul di rapat Baleg yang selanjutnya akan dibahas di Panja untuk diharmonisasi, sebelum dibawa ke pleno Baleg," kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi.

Baca Juga: Akhirnya Pemerintah Serahkan Naskah RUU Perlindungan Data Pribadi ke DPR

Begitu mencuat, draft RUU ini langsung menjadi perbincangan. Kontroversi terjadi karena dalam RUU tersebut memuat sejumlah regulasi yang mengatur ranah privat seseorang dalam hubungan keluarga atau rumah tangga.

Salah satu pasal yang paling banyak dibicarakan adalah Pasal 25 yang terdiri dari tiga ayat. Pasal itu mengatur soal kewajiban suami istri dalam menjalankan kehidupan berkeluarga.

Pada ayat (2) disebutkan ada empat kewajiban suami, yaitu: a. sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga;

b. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;

c. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta

d. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

Sementara itu, kewajiban istri diatur di dalam Ayat (3) yaitu:

a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya:

b. menjaga keutuhan keluarga; serta

c. memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga: Salahgunakan Data Pribadi? Waspada! Kominfo Bakal Kenakan Denda Rp 100 Miliar

Pasal kedua yang menjadi kontroversi adalah Pasal 26. Dalam Pasal 26 ayat (2) disebutkan bahwa: “Setiap suami istri yang terikat perkawinan yang sah berhak memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan dengan cara alamiah atau teknologi reproduksi bantuan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami-istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal."

Kemudian pada Ayat (3) disebutkan reproduksi bantuan dilakukan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan berdasarkan pada suatu indikasi medik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Namun, pasal yang bertentangan justru termuat di dalam Pasal 31 dan Pasal 32. Di dalam Pasal 31, terdapat larangan untuk menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri atau pun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.

Selain itu, setiap orang dilarang untuk membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri atau pun melalui lembaga untuk memperoleh keturunan.

Pada Pasal 32 disebutkan, setiap orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan. Selain itu, setiap orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan. Bagi mereka yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang tercantum pada Pasal 31 Ayat (1) terancam pidana penjara paling lama lima tahun dan atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Sementara itu, mereka yang melanggar Pasal 31 Ayat (2) dipidana paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta. Adapun bagi mereka yang melanggar ketentuan pada Pasal 32 juga mendapat ancaman hukuman yang sama dengan Pasal 31.

Bila perbuatan pada Pasal 31 dan Pasal 32 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, korporasi juga terancam pidana denda paling banyak Rp 5 miliar. Selain ancaman lain berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum.

Ketiga, dalam pemenuhan aspek ketahanan keluarga, juga ada kewajiban memisahkan orang tua dan anak-anak dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Hal itu tertuang di dalam Pasal 33 Ayat (2) yang mengatur tentang persyaratan tempat tinggal layak huni. Ada tiga karakteristik yang diatur terkait hal itu:

a. memiliki sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik;

b. memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara orangtua dan anak serta terpisah antara anak laki-laki dan anak perempuan;

c. ketersediaan kamar mandi dan jamban yang sehat, tertutup, dapat dikunci serta aman dari kejahatan seksual. Tambahan cuti melahirkan  Keempat, adanya pengaturan tambahan bagi istri yang bekerja di instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara, BUMN dan BUMD terutama dalam hal mendapatkan hak cuti melahirkan dan menyusui.

Di dalam Pasal 29 Ayat (1) huruf a disebutkan bahwa hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan, tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji dan posisi pekerjaannya.

Ketentuan yang sama juga diatur bagi pelaku usaha di sektor swasta, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 134 huruf b. Namun, ketentuan ini berbeda dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Di dalam ketiga regulasi itu disebutkan bahwa cuti bagi wanita melahirkan paling lama tiga bulan. Khusus untuk ASN, ketentuan itu berlaku hanya untuk anak pertama hingga ketiga, sedangkan, bagi anak keempat dan seteresnya diberlakukan cuti besar dengan syarat telah bekerja paling sedikit lima tahun.

Pasal selanjutnya yang menjadi kontroversi adalah pasal 85 yang mengatur soal penyimpangan seksual.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa keluarga wajib melaporkan anggotanya yang mengalami penyimpangan seksual kepada badan yang menangani ketahanan keluarga. Aturan itu diatur pada Pasal 86 hingga Pasal 89.

Di dalam aturan penjelasan untuk Pasal 85, ada empat hal yang disebut sebagai tindakan penyimpangan seksual. Pertama sadisme, yaitu cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.

Kedua, masochisme yaitu kebalikan dari sadisme berupa cara seseorang mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.

Ketiga homosex dan lesbian yakni merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenai orang lain yang jenis kelaminnya sama.

Keempat, incest yakni hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.

Menurut pengusul RUU, pelaporan ini agar mereka mendapatkan pengobatan atau rehabilitasi. Bentuk rehabilitasi yang nantinya bisa diterima berupa rehabilitasi sosial, psikologis, bimbingan rohani hingga medis sebagaimana diatur pada Pasal 85.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait