URnews

2 Profesi yang Erat dengan Jejak Kematian: Penyidik dan Forensik

Ika Virginaputri, Jumat, 11 Juni 2021 22.20 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
2 Profesi yang Erat dengan Jejak Kematian: Penyidik dan Forensik
Image: Forensik dan penyidik polisi (ilustrasi: Freepik/Ungvar)

Jakarta - Profesi trauma cleaner yang kita lihat di drama Korea, Move to Heaven, memang belum familiar dan ada di Indonesia. Tapi di sini, ada dua jenis pekerjaan yang punya kesamaan dengan profesi trauma cleaner karena berurusan dengan hal ekstrem terkait kematian, kekerasan dan kejahatan. Dua pekerjaan itu adalah dokter Spesialis forensik dan penyidik kepolisian.

Urbanreaders yang sering nonton serial kriminal luar negeri di kanal TV berbayar pasti sudah nggak asing dengan dua pekerjaan tersebut.
Tugas keduanya bisa dibilang beririsan dan saling mengisi, terutama jika ada korban dari sebuah tindak kriminal.

Lalu, bagaimana kedua profesi ini menjadi sebuah kesatuan dalam menangani kasus kematian? Berikut pemaparan dr. Nurul Aida Fathya, SpFM, M.sc dan Kapolsek Klapanunggal Kabupaten Bogor, AKP M Fadli Amri. Begini ceritanya.

Kolaborasi Interprofesional

Apapun bentuknya, kejahatan yang memakan korban bukan perkara sepele. Dibutuhkan ilmu dan keahlian khusus untuk menangani hal itu.

Bisa disimpulkan kalau dokter forensik dan penyidik sama-sama mengandalkan rasa ingin tahu yang besar, kemampuan observasi, membuat analisis dan perhatian kepada hal-hal yang detail.

Kedua narasumber ini sering menangani perkara seperti pembunuhan, penganiayaan, tawuran, kejahatan seksual dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bagaimana keduanya bekerja sama mencari petunjuk dan mengumpulkan bukti-bukti untuk menyelesaikan sebuah kasus? Menurut Dokter Aida, baik tim forensik maupun penyidik kepolisian ibarat diberi puzzle yang berantakan.

"Forensik dan penyidik bareng-bareng menyusun puzzle itu." ujar Dokter Aida. "Tim forensik, menyusun puzzle dari sisi korban. Apa sih temuan yang ada? Kami kumpulin semua datanya. Kita rangkai dengan ilmu yang kami punya, dengan dasar teori dan pengalaman. Kami interpretasikan apa yang didapat dan kami sampaikan kepada penyidik."

Mengutip penjelasan Dokter Aida, kerja tim forensik dan penyidik polisi adalah sebuah kolaborasi interprofesional. Petunjuk dari tim forensik bisa menjadi sebuah arahan bagi penyidik untuk mengungkap sebuah kasus.

"Polisi bekerja berdasarkan fakta dan bukti-bukti otentik yang ada di lapangan." kata Kapolsek M Fadli Amri. "Sehingga kita bisa menemukan keterkaitan satu sama lain. Nantinya itu akan membantu apa yang terjadi di sebuah kejadian."

Menangani begitu banyak perkara dan tindak kriminal, banyak sekali cerita seru yang dialami kedua narasumber Urbanasia ini.

Dari sisi forensik, Dokter Aida teringat kisahnya saat pertama kali menerima jenasah kiriman polisi untuk diotopsi. Tak disangka, pihak keluarga jenasah tersebut datang sambil marah-marah ke rumah sakit menerobos kamar otopsi karena mereka menolak dilakukannya otopsi.

Ditambahkan Dokter Aida, di saat-saat seperti inilah penting juga bagi seorang dokter spesialis forensik untuk menguasai kemampuan komunikasi untuk melakukan pendekatan kepada keluarga yang sedang berkabung.

Masih menurut Dokter Aida, penolakan otopsi ini lazim dihadapi oleh dokter spesialis forensik di Indonesia. Padahal penolakan tersebut seringkali berdasarkan asumsi yang salah tentang prosedur otopsi. Misalnya organ tubuh si korban meninggal akan diambil untuk dijual atau didonorkan.

"Donor organ tidak bisa sembarangan, ada batasan waktu organ tersebut hidup, karena setiap organ memiliki waktu kematian seluler yang berbeda-beda. Jadi kalo sudah meninggalnya lama ya nggak bisa dipakai dan ada regulasi khusus tentang donor organ." kata Dokter Aida meluruskan.

Untuk mengatasinya, Dokter Aida menekankan komunikasi dua arah ke pihak keluarga sebelum dilakukannya otopsi.

"Jadi bukan cuma mereka mendengarkan apa yang saya sampaikan, tapi juga memahami apa yang mereka inginkan. Selama tidak melewati prosedural. Misalnya 'Dok, kami pingin lihat'. Itu jelas tidak bisa." tambah dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Kapolsek Fadli menjelaskan bahwa ia pun pernah menghadapi penolakan otopsi dari pihak keluarga.

"Itu sebenernya hambatan buat kita, para petugas. Kalo tidak diotopsi kan kita jadi nggak tahu penyebab kematiannya. Tapi karena memang keinginan keluarga demikian, kita juga lihat situasi kasusnya seperti apa... yang bersangkutan pasti harus bikin surat pernyataan." kata pria 31 tahun ini.

Lebih lanjut Fadli menambahkan, "Tapi kalo kita nilai misalnya harus dilakukan diotopsi, kita pasti akan berusaha bagaimana caranya agar keluarga mau. Supaya ketahuan, agar nggak terjadi fitnah ini-itu. Ketika selesai melakukan otopsi, kita jadi tahu kejelasannya dan orang nggak berasumsi lagi."

Bukan simpati, tapi empati

Kedua narasumber Urbanasia ini juga sama-sama mengatakan bahwa objektivitas merupakan rumus dasar dalam bekerja. Serumit apa pun kasus yang mereka tangani, hasil kerja mereka tetap harus terbebas dari emosi, perasaan dan pendapat pribadi.

Dokter Aida menjelaskan objektivitasnya dengan kalimat ini, "Kami diajarkan untuk tidak bersimpati, tapi berempati. Misalnya tadi, saya harus bisa mengerti yang diinginkan pihak keluarga korban. Harus bisa berempati kenapa keluarga menolak, tapi tidak bisa bersimpati atau melibatkan emosi."

Kalimat Dokter Aida diamini Kapolsek Fadli, "Sebenernya kita tidak boleh melibatkan emosi kan. Karena nanti kita tidak objektif kalo kita terbawa perasaan."

Namun sebagai manusia normal, bukan berarti hati mereka tak pernah tergerak saat menangani korban. Apalagi di luar pekerjaan, mereka berdua adalah orangtua, keduanya sempat agak terbawa perasaan saat menghadapi anak-anak yang menjadi korban.

"Waktu itu tahun 2016, saya menangani kasus sexual abuse. Korbannya anak perempuan usia 4 tahun. Saya memiliki anak perempuan. Ikut nangis karena membayangkan, bagaimana kalo itu anak saya gitu." kenang Dokter Aida.

"Tapi nangisnya pada saat dia bercerita saja. Setelah itu, saat melakukan pemeriksaan dan melakukan analisis, kembali tidak melibatkan emosi."
 
Pengalaman serupa juga dialami Kapolsek Fadli Amri saat menangani korban anak dalam sebuah kasus penganiayaan.

"Kejadiannya tahun lalu. Jatohnya kayak inget anak di rumah. 'Kok segitunya sih? Kok sampe begitu?' Jadi kayak kebayang-bayang. Jadi kayak langsung inget anak di rumah. Tapi nggak sampe kayak wah gimana gitu..."

Beda Kultur Jadi Alasan Trauma Cleaner Gak Eksis di Indonesia

Lalu kenapa Indonesia nggak familiar dengan profesi trauma cleaner? Apakah nggak adanya trauma cleaner di negara kita lebih karena alasan regulasi atau faktor budaya?

"Yang pertama faktor culture sih, kalo menurut saya." jawab Pak Kapolsek. "Indonesia ini kan, dari dulu ditanamkan untuk gotong royong, saling membantu. Walaupun agak-agak memudar lah semakin berkembangnya zaman. Tapi kalo di lingkungan-lingkungan tertentu kan itu masih sangat kental. Apalagi kalo di desa-desa, kayak di kecamatan-kecamatan, masih sangat kental yang seperti itu. Kalaupun ada kejadian demikian (orang ditemukan meninggal sendirian di sebuah tempat), pasti keluarganya akan datang, akan ngurusin, beresin. Jadi kalo untuk profesi seperti itu mungkin, kenapa tidak begitu familiar di Indonesia, ya sebagian besar wilayah kita culture-nya masih saling gotong royong tolong-menolong. Kita ambil contoh Jakarta lah yang paling modern di Indonesia, ya masih sama kalo ada kejadian juga pasti keluarganya akan datang untuk ngurusin ini-itu dan lain-lain."

Namun Kapolsek Fadli tak menampik pernah juga menangani jenasah yang meninggal sendirian karena tak diketahui di mana keluarganya berada. Jika hal itu terjadi, kepolisian bekerja sama dengan elemen masyarakat untuk mengurus jenasah tersebut.

"Di kepolisian ada yang namanya Babinkamtibmas (Bintara Pembina Keamanan Ketertiban Masyarakat). Babinkamtibmas ini memang sudah kayak supervisor di desa. Jadi ketika ada event apa pun, Babinkamtibmas itu dia menyatu."

"Bersama dengan Babinsa, dengan kepala desa, dengan perangkat RT/RW dan lainnya dia menjadi satu kesatuan untuk mengurusi warga. Babinkamtimbas satu level dengan kepala desa lah ibaratnya. Kalo misalnya kapolsek dengan camat."

Secaran terpisah, Dokter Aida yang sekarang bertugas di rumah sakit di wilayah Sukabumi dan Bandung juga menjelaskan, bahwa di Jawa Barat ada sebuah lahan khusus untuk menguburkan tunawan, istilah bagi korban meninggal tanpa identitas atau tanpa keluarga.

"Korban meninggal tanpa identitas akan dikuburkan setelah dilakukan pemeriksaan identifikasi. File-nya ada, tetap ter-record. Jadi jika ada keluarganya yang mencari, mencocokkan, mau mengalihkan kuburannya atau dipindahkan, akan lebih mudah. Bisa di-tracking."  

Mengingat masih kuatnya budaya kekeluargaan dan gotong royong di Indonesia, sepertinya jasa trauma cleaner memang nggak atau belum dibutuhkan di sini.

Soalnya, saling peduli dan sukarela tolong menolong dalam duka dan musibah seakan sudah jadi aturan tak tertulis dalam kehidupan sosial negara kita. 
 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait