URnews

4 Fakta di Balik Lion Air dan Garuda Gagal Mendarat di Pontianak

Nivita Saldyni, Kamis, 14 Januari 2021 23.13 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
4 Fakta di Balik Lion Air dan Garuda Gagal Mendarat di Pontianak
Image: Ilustrasi pesawat Garuda Indonesia. (Fuzz/Pixabay)

Jakarta - Pesawat Lion Air dan Garuda Indonesia dengan rute penerbangan Jakarta-Pontianak batal mendarat di Bandara Internasional Supadio, Pontianak, Rabu (13/1/2021).

Akibat dari cuaca buruk tersebut, pendaratan pesawat Lion Air dialihkan ke Batam, serta pesawat Garuda Indonesia dialihkan ke Palembang

Berikut empat fakta di balik pengalihan pendaratan pesawat Lion Air dan Garuda Indonesia dari Bandara Internasional Supadio!

1. Cuaca buruk jadi penyebab utama

General Manajer PT Angkasa Pura II Cabang Bandara Internasional Supadio Pontianak Eri Brawliantoro mengatakan, gagalnya dua pesawat itu landing di Pontianak tak lain karena cuaca yang buruk. Penerbangan yang dijadwalkan mendarat di Pontianak pada Rabu sore itu pun terpaksa dialihkan.

"Hari ini ada dua maskapai yang divert (pendaratannya dialihkan) disebabkan cuaca buruk," kata Eri kepada Antara, Rabu (13/1/2021) lalu.

Dua pesawat itu adalah pesawat Garuda Indonesia dengan kode penerbangan GA 504 dan pesawat dengan kode penerbangan JT 684 milik Lion Air. 

"Divert dan RTB (Return to Base) atau pesawat yang sudah terbang untuk beberapa saat tetapi kembali lagi ke bandar udara awal atau bandar udara alternatif terdekat karena alasan tertentu. Itu hal lumrah dalam dunia penerbangan karena mengutamakan faktor keselamatan penerbangan," jelasnya.

Ia pun menjelaskan, keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan data cuaca pada penerbangan yang didapatkan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Nah data tersebutlah yang kemudian diteruskan ke Air Traffic Controller hingga pilot.

2. Dialihkan ke Batam dan Palembang

Lewat pertimbangan cuaca tersebut, dua pesawat ini akhirnya dialihkan ke bandara lain guys, dari yang awalnya dijadwalkan mendarat di Bandara Internasional Supadio, Pontianak.

Untuk pesawat Garuda Indonesia bernomor penerbangan GA 504 dialihkan ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang. Sementara pesawat Lion Air bernomor penerbangan JT 684 dialihkan ke Bandara Hang Nadim di Batam.

3. Sriwijaya Air berhasil landing, Batik Air sempat holding

Sebelum dua pesawat tersebut batal mendarat di Bandara Internasional Supadio, Pontianak, Eri mengatakan ada satu pesawat yang berhasil mendarat. Pesawat itu adalah milik Sriwijaya Air. 

"Saat cuaca kurang baik, tadi pesawat Sriwijaya Air sempat landing. Itu karena cuacanya sempat terang sedikit dan visibility-nya sempat memenuhi standar. Sementara itu pesawat Batik Air sempat holding," jelasnya.

Nah, ia pun menjelaskan sebenarnya ada beberapa faktor cuaca yang bisa mempengaruhi keputusan penerbangan. Salah satunya adalah masalah angin atau jarak pandang yang memang di bawah standar sehingga bisa mengganggu keselamatan penerbangan.

"Makanya setiap pengoperasian penerbangan pesawat perlu mengetahui cuaca yang mengacu pada BMKG. Data ini akan diteruskan kepada ATC maupun pilot salah satunya saat akan landing untuk mengambil keputusan apakah landing atau divert," tutupnya.

4. Penjelasan BMKG

Peneliti petir dan atmosfer BMKG, Deni Septiadi menjelaskan ganguan itu datang dari adanya sel awan yang cukup besar di wilayah barat Pulau Kalimantan. Deni mengatakan, awan tersebut telah terbentuk sejak Selasa (12/1/2021) malam.

"Jadi kalau dilihat dari satelit itu ada sel awan yang besar sekali. Saya lihat pada saat kejadian, radius sel-nya saja itu mencapai 100 kilometer dengan suhu puncak awannya mencapai minus 90 derajat celsius. Jadi awannya nggak main-main, besar banget," ungkap Deni lewat sambungan telepon kepada Urbanasia, Kamis (14/1/2021) malam.

Dari pengamatan itu, Deni sempat menaruh kecurigaan. Apalagi posisinya berada di sekitar Pulau Kalimantan.

"Dari situ saya cek pakai analisis angin gradien, dari angin di level permukaan, kemudian angin 850, angin 700, angin 500 millibar itu ada sirkulasi tertutup namanya. Sirkulasi tertutup di sekitar Kalimantan bagian barat. Fenomenanya kalau dalam meteorologi namanya Borneo Vortex," jelasnya.

Nah pada saat itu, berdasarkan pantauan Deni, radius awan tersebut paling besar telah mencapai 180 kilometer. Sementara kecepatan angin di sekitar awan itu sendiri rata-ratanya berkisar 37-56 kilometer/jam.

"Kalau pesawat berada di bawah awan itu kemungkinan bisa kena yang namanya microburst," terangnya.

Microburst sendiri adalah kondisi di mana aliran udara berpotensi keluar dari awan. Akibatnya? Pesawat bisa jatuh, kehilangan kendali, atau bisa juga tersambar petir.

Selain itu, kalau pesawat berada di lingkaran awan itu maka ada kemungkinan pesawat akan 'dilahap'. Mengapa? Karena di bagian awan itu sendiri potensi turbulensi luar biasa kuat.

"Selain turbulensi, jangan lupa, di situ juga ada petir. Petir yang di dalam awan namanya petir intra cloud. Petir ini paling banyak jumlahnya dari macam-macam jenis petir, 80 persen petir itu ada di intra cloud tadi," ucap Deni.

"Jadi pesawat kalau masuk ke dalam sistem itu dia bisa diunyek-unyek. Turbulensinya kuat, tekanannya tinggi di situ, kemudian kena petir. Kalau ada apa-apa, meledak pun bisa itu pesawat," lanjutnya.

Bukan cuma berada di tengah maupun di bawah awan aja yang berbahaya. Pesawat juga bakal mengalami icing akibat adanya partikel solid dalam bentuk es pada puncak awan.

"Itu kira-kira bahayanya paling tidak yang dihadapi pesawat kalau dia berhadapan dengan awan-awan Cb (Cumulonimbus), apalagi yang model skala meso begini," tutupnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait