URtainment

9 Puisi Romantis Sapardi Djoko Damono 'Yang Fana Adalah Waktu'

Nunung Nasikhah, Minggu, 19 Juli 2020 12.01 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
9 Puisi Romantis Sapardi Djoko Damono 'Yang Fana Adalah Waktu'
Image: Sastrawan dan budayawan Sapardi Djoko Damono menjadi pembicara pada peluncuran penerbitan ulang buku puisi dwi bahasa "The Birth of I Lagaligo", Makassar, Sulsel, Jumat (28/6). (ANTARA/Dewi Fajriani/ss/Sp/pri)

Jakarta – Indonesia baru saja kehilangan salah satu penyair romantisnya, Sapardi Djoko Damono. Sastrawan yang meninggal di usia 80 tahun tersebut telah banyak menciptakan karya-karya sastra yang luar biasa.

Sebagaimana sastrawan lainnya, Sapardi memiliki ciri khas tersendiri yang menjadi candu bagi setiap penikmat karyanya.

Pencipta “Hujan Bulan Juni” tersebut terkenal dengan penggunaan diksi yang sederhana namun memiliki makna yang dalam.

Meski demikian, mengutip salah satu karyanya, “Yang Fana Adalah Waktu”, sementara karya-karya Sapardi, tetap abadi.

Untuk kalian pecinta puisi romantis, Urbanasia telah merangkumkan 9 karya Sapardi yang menyentuh hati:

1595137643-puisi-menjengukwajah.jpgSalah satu karya Sapardi Djoko Damono. (gramedia.com)

1. Aku Ingin

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”

 

2. Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta

“Mencintai angin

harus menjadi siut

mencintai air

harus menjadi ricik

mencintai gunung

harus menjadi terjal

mencintai api

harus menjadi jilat

mencintai cakrawala

harus menebas jarak

mencintai-Mu

harus menjelma aku.”

 

3. Pada Suatu Hari Nanti

“Pada suatu hari nanti,

jasadku tak akan ada lagi,

tapi dalam bait-bait sajak ini,

kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

suaraku tak terdengar lagi,

tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

pada suatu hari nanti,

impianku pun tak dikenal lagi,

namun di sela-sela huruf sajak ini,

kau tak akan letih-letihnya kucari.”

 

4. Hanya

“Hanya suara burung yang kau dengar

dan tak pernah kaulihat burung itu

tapi tahu burung itu ada di sana

hanya desir angin yang kaurasa

dan tak pernah kaulihat angin itu

tapi percaya angin itu di sekitarmu

hanya doaku yang bergetar malam ini

dan tak pernah kaulihat siapa aku

tapi yakin aku ada dalam dirimu.”

 

5. Dalam Doaku

“Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang

mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di

ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang

tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

dalam magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat

perlahan dari nun jauh di sana, bersijingkat di jalan kecil itu,

menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh- nyentuhkan

pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku    

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang

dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah

batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang

tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak pernah selesai

mendoakan keselamatanmu.”

 

6. Menjenguk Wajah di Kolam

“Jangan kauulang lagi

menjenguk

wajah yang merasa

sia-sia, yang putih

yang pasi

itu.

Jangan sekali-

kali membayangkan

Wajahmu sebagai

rembulan.

Ingat,

jangan sekali-

kali. Jangan.

Baik, Tuan.”

 

7. Tentu. Kau Boleh

“Tentu. Kau boleh mengalir

di sela-sela butir darahku,

keluar masuk dinding-dinding jantungku,

menyapa setiap sel tubuhku.

Tetapi jangan sekali-kali

pura-pura bertanya kapan boleh pergi  

atau seenaknya melupakan percintaan ini

Sampai huruf terakhir

sajak ini, Kau-lah yang harus

bertanggung jawab

atas air mataku.”

 

8. Sajak Tafsir 

“Kau bilang aku burung?

Jangan sekali-kali berkhianat

kepada sungai, ladang, dan batu.

Aku selembar daun terakhir

yang mencoba bertahan di ranting

yang membenci angin.

Aku tidak suka membayangkan

keindahan kelebat diriku

yang memimpikan tanah,

tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku

ke dalam bahasa abu.

Tolong tafsirkan aku

sebagai daun terakhir

agar suara angin yang meninabobokan

ranting itu padam.

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat

untuk bisa lebih lama bersamamu.

Tolong ciptakan makna bagiku,

apa saja — aku selembar daun terakhir

yang ingin menyaksikanmu bahagia

ketika sore tiba.”

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait