Aman dari Jerat UU ITE? Patuhi Rambu-rambu Bermedsos Ini

Tanpa pilih kasih, UU ITE bisa menjerat siapa saja. Mulai dari netizen ‘biasa’ seperti di kasus kritik Es Teh, pegiat media sosial seperti Adam Deni dan Dea Onlyfans, seleb papan atas macam Gisella Anastasia dan Ahmad Dhani, hingga mantan menteri Roy Suryo.
Pasal-pasal yang digunakan dalam kasus-kasus UU ITE pun beragam mulai dari pasal pornografi, penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penyebaran data pribadi tanpa izin, sampai penyebaran berita palsu.
Sayangnya, netizen seolah gagal belajar dari pengalaman tersebut, karena ternyata masih ada saja tuh, kasus serupa yang terus berulang.
Sertakan Solusi
Kejadian pelanggaran UU ITE yang sudah menjerat banyak nama terkenal tentu bisa jadi pelajaran bahwa kebebasan bicara di ruang publik bukannya tanpa batas. Memang nggak ada yang salah dengan menyatakan pendapat dan menyalurkan ekspresi di media sosial. Namun, ada aturan hukum yang harus kita taati bersama, agar nggak melanggar hak orang lain. Misalnya saat kita berargumen, menyampaikan kritik atau mengajukan keluhan.
Menurut pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar, saat menyampaikan sebuah kritik yang bersifat subjektif, netizen sebaiknya juga memberikan solusinya.
“Kritik itu menyampaikan keberatan, kekurangan yang bersifat subjektif dari satu pendapat, opini atas suatu tampilan produk. Batasannya adalah bukan merupakan tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana penghinaan. Oleh karena itu, kritik yang baik juga disertakan usulan jalan keluarnya,” Fickar menuturkan.
Menyertakan solusi bisa menjadi jalan tengah supaya kritik atau keluhan kita diterima dengan lebih baik, Guys. Jika kritik atau keluhan kita bernada kasar dan sarat hujatan, maka jangan heran kalau kemudian kita dianggap menghina dan mencemarkan nama baik yang termasuk perbuatan melawan hukum.
“Batasan lainnya, kritik itu pada produk, bukan pada orang atau badan yang memproduksi,” tambah Fickar. “Jika terus dilakukan akan dilaporkan secara pidana sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik seseorang. Secara perdata digugat atas perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain, dituntut ganti rugi baik material maupun immaterial,” Fickar melanjutkan.
Di sisi lain, pendapat sedikit berbeda datang dari pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), M Fatahillah Akbar. Menurut Akbar, karena melibatkan kepentingan umum, Akbar menilai bebas-bebas aja netizen menyampaikan kritik atau keluhannya yang bersifat subjektif. Hanya saja, tentu harus disampaikan dengan sopan supaya nggak ada unsur penghinaan atau pencemaran nama baik.
“Kritik dapat diakses atau dilihat orang lain, maka bersifat umum. Hindari kata-kata umpatan atau muatan asusila atau muatan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan),” kata Akbar.
Bijak Bermedsos
Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia memang menjamin kebebasan bicara atau berekspresi, Guys. Menurut pengamat media sosial Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria, kritik atau keluhan sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Namun, Hariqo juga berpendapat bahwa kita harus bisa bertanggung jawab dengan apa yang kita sampaikan di media sosial.
“Intinya medsos itu tidak harus positif melulu, itu bukan medsos namanya. Komentar atau testimoni negatif terhadap pelayanan publik oleh pemerintah juga sangat diperlukan. Termasuk komentar, testimoni negatif pada produk2 swasta, itu bagus banget,” ujar Hariqo.
Nah, agar tidak terjerat masalah hukum, Hariqo menyarankan agar sebelum mengunggah sesuatu, pastikan bahwa informasi yang disampaikan benar. Jika perlu, lakukan investigasi sederhana sebelum membagikan suatu postingan.
“Jika ragu, lakukan investigasi sederhana. Tidak ada yang harus buru-buru disampaikan. Tunda kesimpulan, lawan perasaan 'Gue harus posting sekarang',” Hariqo menyarankan.
Hariqo berpendapat, ada baiknya kita menganggap unggahan di media sosial layaknya skripsi yang harus dikerjakan dengan teliti, agar bisa dipertanggungjawabkan. Urbanreaders yang sudah pengalaman menyelesaikan skripsi pasti tahu, ada banyak data dan riset yang harus kita kumpulkan lebih dulu sebagai bahan dasar analisis.
“Sama kayak kita nulis skripsi, taruh kesimpulan di akhir. Gunakan kalimat tanya, 'sepengetahuan saya', 'berdasarkan data', 'keterangan dari'. Apakah lama? Nggak juga, riset di internet bisa, di lapangan bisa juga,” lanjut Hariqo.
Di era digital ini, literasi media sosial tentunya sudah menjadi sebuah keharusan buat para netizen. Bagi Hariqo, riset menjadi hal yang penting, biar kita nggak cepat percaya dengan apa yang kita lihat, baca, atau tonton di internet. Soalnya, udah banyak kejadian yang ternyata faktanya nggak seperti yang terlihat oleh publik.
“Dulu ada kejadian cleaning service membersihkan sepatu seorang remaja putri, videonya viral,” Hariqo mencontohkan. “Lalu remaja putri itu dihujat, ternyata ada latar belakang di balik itu yang di luar dugaan netizen. Jadi, kalau ada yang memuji sesuatu dan mengkritik sesuatu, kita nggak bisa langsung percaya,” sambung Hariqo.
Aturan serupa juga berlaku saat kita nge-share, retweet, ikut mengomentari atau menyukai sebuah postingan ya, Guys? Karena menurut Hariqo, apapun yang kita lakukan di media sosial itu menunjukkan siapa kita sebenarnya. Yuk, lebih hati-hati lagi dan bijak menggunakan media sosial. Terutama dalam menyampaikan pendapat, kritik dan keluhan untuk orang lain.