URtech

‘Badai’ PHK Startup, Langkah Efisiensi demi Survive

Ika Virginaputri, Minggu, 12 Juni 2022 14.55 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
‘Badai’ PHK Startup, Langkah Efisiensi demi Survive
Image: Investasi startup (ilustrasi: MoneyControl)

Memasuki pertengahan tahun 2022, industri digital Tanah Air dikejutkan dengan adanya gelombang pemutusan hubungan karyawan (PHK) yang terjadi di sejumlah startup. Di antaranya yaitu Zenius, LinkAja, JD.id, dan Pahamify.

Namun, fenomena ini nggak cuma terjadi di Indonesia, Guys. Startup di India, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa pun bernasib sama. Menurut Layoffs.fyi yang menelusuri angka PHK di bisnis teknologi, selama bulan April-Mei 2022 ada sekitar 17 ribu karyawan startup di seluruh dunia kehilangan pekerjaannya.

Alasan kondisi ekonomi makro dan reorganisasi sumber daya manusia (SDM) jadi latar belakang manajemen startup melakukan efisiensi. Hal ini lantas dikaitkan dengan tech bubble burst atau letusan gelembung tekno yang menerpa perusahaan dotcom di awal milenium sekitar tahun 2000-2001.

Kita semua tahu, saat itu adalah masa berkembangnya internet dan menjamurnya bisnis website. Para investor pun tanpa ragu menggelontorkan aliran dana untuk perusahaan berbasis internet. Akibatnya, nilai pasar perusahaan jauh di atas nilai mereka yang sebenarnya. Padahal model bisnis mereka masih belum stabil. Singkat kata, saham perusahaan-perusahaan itu anjlok di indeks Nasdaq (pasar saham elektronik tertua di dunia yang berpusat di New York, AS) dan nggak sedikit yang bangkrut serentak. Apakah hal yang sama juga terjadi dengan bisnis startup belakangan ini?

Koreksi Pasar

Menurut CEO Mandiri Capital Indonesia, Eddi Danusaputro, gelombang PHK startup ini sangat berbeda dengan tech bubble burst yang terjadi pada bisnis dotcom di tahun 2000-2001.  

“Ada kondisi makroekonomi yang sedang terjadi di global, termasuk regulasi, perang, pandemi, itu kan menyebabkan harga barang, komoditas naik. Ketika komoditas naik, menyebabkan inflasi. Inflasi menyebabkan bank sentral menaikkan suku bunga. Suku bunga (naik) kan artinya likuiditas berkurang, karena cost capital kan lebih mahal. Akibatnya, investor semakin selektif melakukan investasi ke startup. Jadinya, startup yang tadinya bisa menggantungkan diri pada investor, kapan aja bisa melakukan fundraising, sekarang kan udah nggak bisa,” Eddi menjelaskan.

Meski begitu, Eddi mewakili pihak investor, menganggap apa yang dialami startup belakangan ini merupakan hal wajar yang biasa terjadi dalam siklus koreksi pasar. Bukan pertanda berakhirnya masa kejayaan bisnis startup.

“Iya, semacam siklus biasa sih. Ekosistem startup kita kan baru berumur berapa? 10-12 tahun kan?” ujar Eddi. "Jadi kita belum mengalami ada koreksi, padahal di asset class yang lain, baik itu saham, emas, komoditas, properti, apapun investment asset class-nya itu lazim kan terjadi koreksi, siklus. Kita belum pernah mengalami aja nih startup. Menurut saya ini wajar terjadi,” katanya lagi.

1655019846-Eddi-Danusaputro.jpgSumber: Eddi Danusaputro, CEO Mandiri Capital Indonesia (Foto: dok pribadi)

Langkah Efisiensi

Eddi nggak menampik pihak investor sangat menyayangkan gelombang PHK di startup akhir-akhir ini. Langkah efisiensi tersebut memang harus dilakukan agar startup bisa bertahan. Terutama karena faktor ekonomi global seperti pandemi dan perang Rusia-Ukraina yang membuat investor semakin selektif melakukan investasi. Startup pun lantas harus 'mengencangkan ikat pinggang' yang salah satunya memangkas jumlah pegawai.

“Jadinya mereka harus melakukan langkah efisiensi. Efisiensi kan bisa mengurangi marketing budget, bisa menunda peluncuran produk baru, bisa menunda ekspansi ke daerah baru, bisa juga melakukan PHK,” ucap Eddi.

“Menurut saya, langkah-langkah efisiensi itu harus dilakukan, kalau nggak, perusahaannya nggak survive. Kita sebagai investor sih, meskipun kita nggak senang dengan adanya PHK, tapi kita mengapresiasi manajemen startup yang berani melakukan tindakan efisiensi. Tapi kan efisiensinya macem-macem tidak hanya PHK,” lanjut Eddi.

Eddi menambahkan peristiwa ini nggak menimbulkan kekhawatiran berlebih dari pihak investor. Meski makin selektif, mereka masih optimis menanamkan modal untuk pengembangan bisnis startup karena valuasi yang lebih masuk akal.

“Kita sih tetep business as usual, tapi lebih selektif aja. Malah dalam beberapa hal, investor malah bilang this is a good opportunity to buy. Valuasinya nggak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Beberapa tahun terakhir valuasi startup itu kan mahal, valuasinya tinggi. Kalau sekarang kan karena bargaining power-nya berkurang, ya startup mungkin matok harganya juga lebih rendah jadi buat investor yang punya dana bersih atau dana nganggur, ini good time to buy sih sebenernya,” imbuh Eddi.

Strategi Alternatif

Kalau ketergantungan startup pada investor menjadi sebuah ‘kelemahan’ dalam situasi saat ini, lantas adakah strategi lain agar perusahaan rintisan bisa bertahan?

Initial public offering (IPO) atau penawaran saham secara terbuka di bursa efek dianggap bisa jadi solusi agar startup nggak bergantung kepada investor. Namun, strategi ini punya syarat berat yang sulit dipenuhi oleh perusahaan baru. Syarat tersebut antara lain mewajibkan perusahaan memiliki aset minimal Rp 100 miliar.

Lalu bagaimana dengan startup yang masih dalam early stage atau growth stage? Bagaimana mereka bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap investasi? Eddi berpendapat ada beberapa strategi lain yang lebih realistis seperti akuisisi dan pembagian dividen.

"Satu, bisa strategic sale. Dia diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar. Yang kedua, mungkin kalau dia udah profit, dia seperti perusahaan biasa aja kasih dividen gitu, kan? Dari kacamata investor ya mungkin yang paling textbook adalah IPO. Tapi banyak jalan menuju Roma, sih,” ungkap Eddi.

Jaga Cash Flow

Untuk melepaskan ketergantungan akan investasi, tentu startup harus lebih dulu profitable atau menghasilkan keuntungan. Eddi nggak mempermasalahkan sistem ‘bakar uang’ yang sering digunakan startup di tahap early stage untuk promosi. Namun, cara ini bakal jadi bumerang kalau terus-terusan diterapkan.

“Bakar uang itu nggak masalah di awal sebuah startup. Di awal sebuah startup kalo nggak bakar uang, nggak melakukan promo, nggak ada yang kenal. Tapi masa udah tahun ke 7, ke 8, ke 10 gitu masih bakar uang dan masih promo gila-gilaan? Menurut saya itu nggak sehat,” kata Eddi.

“Jadi, memang sebagai investor kita sadar dan mungkin kita support kalo terjadi promo, diskon, bakar uang gitu di awal sebuah startup. Tapi kalau terus-menerus, menurut kita nggak sustainable. Jadi memang pada dasarnya, saatnya startup tersebut harus lebih profitable atau punya profitability,” sambungnya lagi.

Untuk itu, Eddi menyarankan agar startup lebih bijaksana dalam mengatur cash flow. Analoginya mirip kayak kita baru gajian aja, Guys. Jangan merasa lagi banyak uang, lantas ‘gatel’ ingin segera membelanjakan uang untuk ini-itu.

“Startup harus lebih prudent dalam mengelola cash flow-nya. Mohon maaf saya pakai analogi kita sebagai karyawan ya. Kalo karyawan baru terima gajian kan makanannya enak-enak terus. Giliran udah tanggal tua makannya mi instan 3 kali sehari,” Eddi memaparkan. 

“Jadi, startup juga sama. Mereka baru dapet fundraising terus digenjot rekrut orang, gajinya tinggi, promo, diskon, ekspansi gitu kan, fitur-fitur baru. Giliran fundraising-nya agak susah, mereka efisiensi. Jadi kayak yoyo effect. Ekstrem gitu. Buat saya dikelola dengan lebih standard, nggak usah terlalu bergejolak gitu, kalo dapet uang nggak usah terlalu jor-joran juga, jadi supaya cashflow-nya lebih manageable gitu ya,” pungkas Eddi.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait