‘Cantik Itu Putih’, Histori atau Obsesi?

Kalau ngomongin definisi cantik atau ganteng, kata ‘glowing’ kini bakal jadi salah satu goal dalam perawatan kulit. Sebuah kata yang menjelaskan kondisi kulit atau wajah yang cerah, bersih, dan bersinar.
Berdasarkan catatan ZAP Beauty Index tahun 2019 yang mensurvey sekitar 17 ribu perempuan Indonesia, 73,1%-nya mendefinisikan cantik dengan kulit bersih, cerah, dan glowing. Menariknya lagi, 46,6% responden memilih brand skincare asal Korea Selatan sebagai brand favorit mereka. Sedangkan 34,1% memilih produk lokal Indonesia dan 21.1% memfavoritkan produk Jepang.
Hasil survey di atas sedikit memberikan kita gambaran bahwa sebagian masyarakat kita menjadikan Asia Timur sebagai standar cantik, yang identik dengan kulit putih porselen seperti yang umumnya dimiliki orang Korea, Jepang, dan juga Cina. Apakah benar kulit putih yang seolah jadi standar cantik adalah wujud dari imitasi atas ras atau etnis tertentu?
Sumber: ZAP Beauty Index 2019 (ZAPClinic.com)
Kelas Sosial
Menurut Nadya Karima Melati yang seorang peneliti sejarah dari Support Group and Resource Center on Sexuality Studies, standar cantik putih ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan ras atau etnis tertentu. Namun, kesan dan obsesi atas kelas sosial, justru menjadi alasannya, Guys.
“Menurut aku, standar kecantikan kenapa orang terobsesi dengan kulit putih karena sebenarnya mereka terobsesi pada higher classes,” ungkap Nadya kepada Urbanasia. “Jadi, kita tidak terobsesi pada bagaimana bentuk atau preferensi pada ras tertentu atau warna kulit tertentu, kita mau imitasi kelas atas,” kata cewek yang saat ini bermukim di Jerman.
Lebih lanjut lagi, Nadya bercerita soal penelitiannya tentang keluarga elit pada tahun 1920an saat Indonesia masih disebut dengan nama Hindia Belanda. Kebetulan pada saat itu, orang kaya kebanyakan berasal dari beberapa etnis tertentu yang berkulit putih. Sedangkan orang dengan kulit 'berwarna' kebanyakan jadi kaum pekerja.
“Bukan selalu soal etnis atau ras. Tapi kadang-kadang beberapa ras dan etnis kan mendominasi kekayaan,” Nadya menjelaskan. “Di Hindia Belanda, yang dianggap cantik itu perempuan-perempuan Tionghoa yang kulitnya putih. Terus noni-noni Belanda. Mereka berdua punya jenis kulit yang sama, kulit-kulit putih yang terang sebagai preferensi. Kenapa ras bisa jadi preferensi terhadap kulit putih atau kulit lebih terang, itu karena ras tertentu diidentifikasikan dengan kelas sosial lebih tinggi,” imbuh Nadya.
Nadya juga berpendapat penciptaan standar cantik sangat dipengaruhi oleh para pemegang modal. Dengan banyaknya trend kecantikan dari Korea dan industri hiburannya yang 'mewabah', maka nggak heran cantik putih ala Han So Hee dan personel Blackpink jadi diidam-idamkan perempuan. Orang-orang Korea dianggap sebagai 'kelas atas' dan kita menginginkan segala sesuatu yang berasal dari Korea. Inilah yang bikin brand-brand lokal kemudian ramai-ramai merekrut artis Korea sebagai wajah produk mereka.
“Kita kan dijejelin hal yang enak, yang indah, yang kelas atas, yang nikmat adalah barang-barang dari Korea. Maka, otomatis kita identifikasi orang Korea lebih tinggi hirarkinya daripada kita dan kita mau jadi seperti mereka,” ujar Nadya. “Termasuk dengan standar cantik. Yang kita inginkan adalah orang Korea, berarti dia harus pakai orang Korea supaya produknya di-desire atau diinginkan,” Nadya menuturkan.
Sumber: Nadya Karima Melati (Foto: instagram mermaidnanana)
Standar Cantik
Meski begitu, kulit putih cerah tak selalu jadi idaman di belahan dunia yang lain. Alumni Universitas Indonesia ini berbagi soal istilah cantik di Jerman, tempat dirinya sekarang menetap. Nadya bilang, cewek-cewek di Jerman saat ini sedang gandrung kulit coklat sebagai tanda sering kena sinar matahari. Persamaannya, tetap pada faktor kelas sosial.
“Dulu di abad ke-18, orang perempuan kaya itu nggak pernah keluar rumah. Jadinya kulitnya pucat dan itu yang dianggap cantik,” Nadya menceritakan. “Aku tinggal di Eropa sekarang. Sekarang, perempuan yang dianggap kaya adalah perempuan yang bisa jalan-jalan keluar Eropa, yang kulitnya coklat kena sinar matahari. Orang Eropa nggak mau jadi putih, karena orang yang kulitnya putih dan pucat identik dengan orang miskin yang nggak bisa ke mana-mana, nggak bisa jalan-jalan," jelas Nadya.
Dua standard cantik berbeda yang diceritakan Nadya seolah menegaskan, bahwa standar cantik meski berubah seiring waktu, namun konsisten sebagai bentuk imitasi pada kelas sosial yang lebih tinggi.
Di sisi lain, penjelasan Nadya juga mengingatkan kita bahwa good looking punya banyak definisi dan nggak punya standar tetap. Namun, secara psikologis, standar yang terkait definisi good looking adalah menarik dan proporsional.
“Secara psikologis, orang yang menarik atau atraktif itu orang yang sehat, punya bentuk tubuh proporsional. Dan itu tidak selalu terelasikan atau ditunjukkan dengan ras,” kata Nadya. “Jadi, tubuh proporsional menunjukkan mereka sehat. Orang yang sehat itu atraktif, mereka bisa melanjutkan keturunan. Jadi, perempuan atau laki-laki atau siapapun yang punya tubuh proporsional mengindikasikan mereka sehat dan siap melakukan reproduksi. Baik itu secara sosial dan secara biologis,” papar Nadya.
Konstruksi Sosial
Jika memang standar cantik itu berbeda-beda dan berubah seiring zaman, lantas kenapa image ‘cantik itu putih’ bisa sangat populer di Indonesia khususnya? Nadya punya jawabannya. Menurutnya, citra ini terbentuk dari apa yang ditampilkan dalam kehidupan sosial saat ini. Apa yang disuguhkan ke khalayak, itulah yang akan membentuk ‘standar’ dalam kehidupan sosial.
“Dari mana kita tahu cantik itu putih? Kan dari billboard yang setiap hari kita lihat di jalan. Dari artis-artis di Instagram yang kita lihat. Di iklan itu ditampilkan bagaimana sih cantik itu. Kalo feminis itu selalu bilang bahwa cantik itu konstruksi sosial. Ya memang konstruksi sosial, apa yang kita lihat setiap hari itu yang dibilang cantik,” papar Nadya.
Konstruksi sosial inilah yang tak jarang bikin kita jadi nggak percaya diri bahwa kita itu cantik, karena apa yang kita miliki tidak sesuai dengan apa yang kita lihat di dunia luar.
Tentang hal ini, Nadya punya concern khusus agar para generasi muda dapat menerima diri apa adanya dan membuat definisi cantik sendiri.
“Kamu juga perlu diajarkan bahwa kamu itu cantik. Kamu menerima tubuh kamu. Setiap kamu lihat di kaca, 'oh my god, that's the most beautiful view I see today' itu yang selalu ditanamkan. Kita belajar untuk menerima diri kita sendiri dan kita klaim apa itu cantik,” pungkas Nadya.