Marketing Era Korean Wave, Produk Lokal Citra Korea

Bukan tanpa alasan bahwa brand-brand lokal memilih artis Korea sebagai brand ambassador (BA). Seiring dengan euforia Korean Wave (KWave), para produsen berharap dapat memperluas segmen pasar dengan merangkul fans setia K-Pop.
Menurut pakar komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan Sujono, fenomena ini juga menimbulkan pergeseran pada strategi marketing sebuah produk. Perangkat digital yang membuat masyarakat terhubung satu sama lain, yang disebut dengan network society, dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengaruh seluas-luasnya.
“Pada masyarakat yang berbentuk network society, pengaruh dapat cepat tersebar luas, melalui fasilitas-fasilitas yang tersedia, seperti media sosial, aplikasi dagang, website, dan lain-lain,” kata Firman. “Maka untuk dapat menanamkan pengaruh brand, sudah seharusnya setiap produk memanfaatkan fasilitas-fasilitas digital ini untuk menjangkau secara efektif masyarakat yang saling terhubung. Ini yang disebut sebagai digital marketing,” lanjutnya.
Kebutuhan Gaya Hidup
Fanatisme para fans tidak hanya diekspresikan dengan terus menikmati hiburan-hiburan Korea, tapi juga dengan meniru gaya hidup, maupun pesan yang disampaikan para idolanya. Dengan kata lain, ‘ikatan’ fans dengan idolnya ini telah melahirkan potensi pasar yang sangat luas, sekaligus menciptakan kebutuhan gaya hidup yang tak terbatas.
“Gelombang kekaguman pada segala hal yang berasal dari Korea ini dapat dimanfaatkan untuk penetrasi pasar KWave itu sendiri hingga mencapai jangkauan yang makin luas. Juga produk produk yang relevan, seperti kosmetik, perawatan kulit, makanan, fashion. Semua gaya hidup ala Korea ditanamkan pengaruhnya untuk diikuti. Sehingga, terciptalah kebutuhan untuk mengkonsumsi segala hal terkait KWave ini,” ujar Firman.
Sumber: Firman Kurniawan Sujono, Pengamat Komunikasi Digital dan Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (Foto: Dok Pribadi)
Khusus untuk produk skincare, Firman menilai bahwa gelombang budaya pop Korea tersebut akhirnya menentukan bagaimana cantik didefinisikan. Cantik atau tampan identik dengan yang ditampilkan artis-artis Korea, yaitu kulit putih glowing, bersih, dan wajah tirus. Pengaruh mereka sangat kuat sehingga barisan fans pun lantas terpengaruh sehingga mengikuti definisi ini. Dan pengaruh itulah yang dimanfaatkan brand-brand dalam memilih BA.
“BA adalah juru bicara produk. Berbekal kekaguman penggemar pada pesohor yang dijadikan sebagai BA, gaya hidup, ucapan, selera makanan, destinasi, fashion, semuanya akan diperhatikan oleh penggemarnya,” Firman memaparkan. “Perhatian ini berujung sebagai adopsi perilaku maupun konsumsi produk oleh penggemar. Sehingga ketika BA dilekatkan pada sebuah brand produk, tidak mustahil para penggemar sebagai konsumen, akan terpengaruh. Mengadopsi perilaku BA,” tukas Firman.
Citra Korea
Selain memperluas jangkauan pasar, Firman menambahkan bahwa teknik marketing dengan menunjuk BA artis Korea juga dimaksudkan untuk menciptakan image brand itu sendiri.
“Sentimen terhadap segala hal yang berbau Korea, dimanfaatkan produk lokal untuk punya citra sebagai brand Korea,” kata Firman lagi. “Tentu saja, citra ini akan disambut oleh penggemar fanatiknya di Indonesia. BA dari Korea digunakan untuk endorse produk lokal agar bercitra Korea,” sambung Firman.
Berbicara tentang citra sebuah produk, komentar senada juga diungkapkan oleh pakar marketing, Yuswohady. Dihubungi secara terpisah, Yuswohady mengungkapkan bahwa produk-produk zaman sekarang memanfaatkan fanatisme fans K-Pop dan menunjuk artis-artis Korea demi memperkuat brand equity atau nilai lebih yang ditawarkan ke konsumen.
“Secara coverage atau secara jumlah, populasi orang yang suka K-Pop besar sekali,” kata Yuswohady kepada Urbanasia. “Itu dari sisi wide-nya atau secara lebar. Secara deep atau kedalamannya, engagement atau fanatisme mereka ke K-Pop juga tinggi sekali. Dengan dua kriteria itu saja sudah sangat valid menempatkan bintang-bintang K-Pop sebagai endorser,” Yuswohady menuturkan.
Bermodalkan fanatisme dan nama besar artis Korea tersebut, Yuswohady menilai banyak sekali tujuan yang bisa dicapai oleh sebuah produk. Misalnya mengumpulkan massa untuk meningkatkan traffic, membangun identitas brand sesuai karakter artis yang ditunjuk sebagai BA, hingga melibatkan partisipasi konsumen untuk ikut mengadvokasi brand.
Pergeseran Standar Cantik
Yuswohady juga sepakat dengan Firman bahwa dengan memanfaatkan budaya Korea ini, brand-brand seperti ingin dilihat dengan image ke-Korea-an. Yuswohady mencontohkan saat sebuah restoran cepat saji asal Amerika Serikat bikin menu khusus BTS Meal yang langsung diserbu para ARMY di Indonesia. Menurut Yuswohady, strategi ini juga terjadi di produk skincare. Standard cantik putih yang semula berkiblat ke Amerika-Eropa, kini bergeser ke Korea.
“Sebenarnya terjadi perubahan mendasar dari preferensi konsumen di industri kosmetik. Persepsi mengenai kulit bagus berubah, dulu awalnya yang populer whitening, sekarang menjadi glowing,” ujar Yuswohady. “Dan itu referensinya adalah bintang-bintang K-Pop. Makanya kalau orang pakai skincare, yang dibayangin adalah artis-artis K-Pop itu. Jadi, mungkin untuk Indonesia akan lebih pas kalau selebriti endorser-nya dari Korea ketimbang dari Amerika,” sambung Yuswohady.
Yuswohady berpendapat, pergeseran ini akhirnya 'memakan korban'. Brand-brand jadi harus menggeser value proposition alias nilai yang mereka tawarkan ke konsumen. Yang nggak bisa update dengan trend, tentu akan kehilangan pelanggan.
“Ini pergeseran yang luar biasa. Mulai dari konsumennya berubah, kemudian preferensinya berubah, value proposition-nya berubah, medianya berubah. Akibatnya pemain-pemain lama yang nggak bisa adaptasi jadi nggak relevan. Pergeseran itu makan korban loh, pemain-pemain lama kayak digilas pemain-pemain baru yang lebih relevan dengan millenial dan zillenial,” Yuswohady menjelaskan.
Sumber: Yuswohady, pakar marketing dan pengamat perilaku konsumen (Foto: Dok pribadi)
Peran Kapitalisme
Sementara itu, pergeseran value dan standar kecantikan ini, menurut Firman, tak lepas dari peran pemilik kekuatan ekonomi. Beberapa tahun lalu, berbagai produk kecantikan telah mengkampanyekan ‘cantik itu beragam’ dengan menampilkan model berkulit gelap, berambut keriting, plus size, dan sebagainya. Namun, dengan maraknya BA Korea ini, seakan-akan standar kecantikan kembali lagi pada konsep ‘cantik itu putih dan kurus’.
Firman memandang perubahan ini sebagai salah satu cara pemilik modal untuk menyeragamkan produk, demi mencapai sebuah standar kecantikan.
“Pada industri yang dikuasai kapitalis, keseragaman dibentuk agar tak terlalu banyak varian yang diproduksi,” jelas Firman. “Untuk mencapai keseragamaan, industri menciptakan standar-standar yang sesungguhnya untuk memudahkan proses produksinya. Namun, agar diterima khalayak, standar ini dibungkus sebagai ilusi keunggulan. Seperti cantik itu putih. Putih itu bersih, jauh dari ancaman penyakit dan putih itu berkelas,” ujarnya.
Dalam konteks demam Korea, Firman menjelaskan bahwa konsep cantik atau tampan adalah identik dengan yang ditampilkan melalui medium hiburan KWave, yaitu kulit putih, wajah tirus, serta image cewek Korea yang tidak nampak terlalu mandiri. Sedangkan untuk cowok, standar manly yang disuguhkan adalah bersuara berat dan dalam.
“Para penggemar berkaca pada apa yang disaksikannya lewat tontonan. Ketika pada tontonan yang kemudian menimbulkan rasa kagum hingga fanatik, yang ditampilkan sebagai cantik adalah putih, maka itu akan berpengaruh pada definisi penonton,” pungkas Firman.