URguide

Bertumpu Solidaritas, Kekuatan Indonesia Hadapi Pandemi

Ika Virginaputri, Senin, 2 Agustus 2021 22.22 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Bertumpu Solidaritas, Kekuatan Indonesia Hadapi Pandemi
Image: Aksi Mencuci Bendera Merah Putih di Kampung Sabranglor, Mojosongo,Solo, Jawa Tengah, Rabu (12/8/2020)-ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc

Jakarta -- Aksi solidaritas masyarakat yang marak di masa pandemi bukanlah sebuah hal unik karena Indonesia punya tradisi gotong-royong yang sudah menjadi identitas bangsa. Pendapat itu disampaikan oleh sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi, yang juga menambahkan catatan penting untuk diperhatikan para aktivis gerakan kemanusiaan. Ada juga catatan dari pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah, soal kolaborasi masyarakat sipil dengan pemerintah. Simak pandangan para ahli selengkapnya di bawah ini.

Tiga Unsur Penting

Dalam ilmu sosiologi, dikenal beberapa bentuk gerakan sosial. Salah satunya adalah redemptive social movement atau mengutip istilah Sigit Rochadi disebut juga gerakan penyelamatan yang biasa kita lihat saat terjadi bencana atau krisis. Selain di masa pandemi COVID-19 yang bersifat global, Sigit mencontohkan redemptive movement yang bersifat nasional di Indonesia yaitu pada saat krisis pangan di tahun 1960-an, krisis ekonomi di tahun 1998-1999 dan tsunami Aceh pada akhir 2004.

Kita patut berbangga, redemptive movement di Indonesia tak hanya hidup di daerah atau di pedesaan yang kehidupan sosialnya lebih kuat, tapi juga di kota-kota besar yang masyarakatnya lebih individualis.

1627917918-SigitRochadi.jpgSumber: Sigit Rochadi, Sosiolog Universitas Nasional (instagram @SiroAbadi)

"Ikatan untuk munculnya gerakan itu bermacam-macam," kata Sigit. "Ada ikatan sosial berdasarkan daerah, ikatan kesukuan, ada ikatan agama, ada juga ikatan alumni. Jadi tidak sulit membangkitkan gerakan penyelamatan di Indonesia karena potensinya sudah ada dan sangat kuat."

Pendapat Sigit tersebut diamini oleh pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah. "Bangsa kita sudah biasa menghadapi cobaan. Dulu kita mau merdeka juga susah payah. Nggak kayak Malaysia, kayak Singapura, yang merdekanya dikasih gitu kan? Rakyat kita itu pejuang," ujar Trubus menilai modal sosial yang dimiliki Indonesia.

Menurut Trubus, kemerdekaan kita dan aksi solidaritas masyarakat di masa pandemi ini punya kesamaan latar belakang, yaitu sikap optimis untuk selalu berbuat kebaikan. Orang-orang yang peduli pada sesama ingin membuktikan bahwa mereka masih punya semangat juang di tengah krisis.

"Kalo orang yang pesimis itu lain, yang dia bayangin hanya keburukan dan yang negatif-negatif aja. Makanya ada korupsi bansos, menimbun obat, " kata Trubus yang juga seorang ahli sosiologi hukum.

Sebagai salah satu materi pokok ilmu sosiologi, mendahulukan kepentingan publik yang disebut perilaku prososial dan altruisme ini selalu bersifat positif.

"Yang arahnya politis, dalam ilmu sosiologi itu gerakan revolusioner dan reformatif. Gerakan penyelamatan tidak mengarah kepada kekuasaan karena tujuannya untuk membantu. Walau ada juga kelompok-kelompok yang memanfaatkan kedodorannya pemerintah..."

Sigit menambahkan penjelasan tentang redemptive movement dengan menjelaskan tiga unsur penting yang patut jadi catatan para penggiat gerakan sosial. Yang pertama adalah pelopor atau kepemimpinan. Yang kedua, sumber daya seperti bentuk-bentuk ikatan sosial-budaya atau sumber daya ekonomi. Yang ketiga, transparansi pengelolaan.

"Endurance atau daya tahan dari gerakan-gerakan seperti ini utamanya sangat ditentukan oleh tiga hal itu," tambah Sigit. "Buat masyarakat kelas menengah-atas, transparansi bukan untuk cari pengakuan. Tapi masalah kepercayaan. Kalau tidak ada transparansi, yang muncul adalah kecurigaan-kecurigaan."

Untuk masalah leadership, secara terpisah Trubus berpendapat di saat krisis ini seharusnya pemerintah bisa menjadi contoh teladan di masyarakat sipil. Utamanya para kepala daerah yang mendapat jabatan karena dipilih langsung oleh rakyat. Namun lebih lanjut, Trubus menganggap bahwa yang paling penting diperhatikan oleh para penggerak aksi solidaritas ini adalah respon cepat tanggap.

"Menurut saya, yang paling penting adalah bagaimana orang-orang yang peduli ini bersikap responsif, merespon secara cepat. Selama ini yang terjadi kan misalnya orang yang sakit butuh obat tapi obatnya datang 3 atau 4 hari kemudian. Kebanyakan orangnya udah meninggal, obatnya baru dateng," ujar Trubus menyayangkan.

1627918020-Trubus-Rahardiansyah.jpgSumber: Trubus Rahardiansyah, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti (Dok pribadi)

Supaya aksi-aksi warga bisa lebih responsif, Trubus menekankan pemerintah sebagai penmbuat kebijakan harus memfasilitasi gerakan ini dengan membenahi penanganan pandemi supaya tercipta kolaborasi antara masyarakat sipil dan pemerintah.

"Harus ada intervensi kebijakan seperti percepatan penyaluran bantuan, infrastruktur sumber daya manusia, anggaran dan layanan kesehatan. Di masa seperti ini, yang penting adalah koordinasi dan kolaborasi. Di masa seperti ini nggak ada superman, yang ada superteam. Semua harus bekerja sama bareng-bareng," kata Trubus.

Berdarah-darah

Masih bicara tentang penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah, Sigit menjelaskan bahwa munculnya gerakan sosial ini juga tak lepas dari kesadaran masyarakat.

"Masyarakat mampu membaca bahwa pemerintah mulai 'berdarah-darah' dan semakin kewalahan untuk mengatasi persoalan ini," kata Sigit. "Penguncian wilayah atau lockdown atau PPKM level 4 ini menyebabkan kelas bawah tidak bisa kemana-mana. Padahal kelas bawah ini ekonominya ditentukan oleh pendapatan harian. Nah kelompok yang paling rentan ini yang kemudian menjadi target bantuan."

Lambatnya kinerja birokrasi sipil kita, disebut Sigit sebagai penghambat penanganan pandemi yang membuat jumlah kasus positif COVID-19 makin melonjak.

"Birokrasi sipil kita lemah dalam menjalankan tugas-tugas darurat. Contoh yang sangat parah itu kebijakan isolasi mandiri," Sigit mengkritik. "Memangnya semua keluarga, anaknya punya kamar masing-masing? Orang miskin itu kamarnya cuma satu. Kalo satu orang kena disuruh isolasi mandiri, ya kena semua. Kebijakan pemerintah ini konyol. Orang awam kan tidak punya pemahaman manajemen kesehatan. Sakit lalu disuruh isolasi mandiri diobati apa kan nggak ngerti. Kepala daerah negara-negara lain sigap mengosongkan gedung atau kantor pemerintah yang berdekatan untuk jadi tempat isolasi terpusat. Jadi dikontrol dan di-manage oleh tenaga kesehatan," ujar Sigit merujuk pada penanganan isoman di Korea, Jepang dan Taiwan. "Sekarang pemerintah kita nggak fokus, malah bayarin hotel."

Sigit menyebut, kekurangan pemerintah mengendalikan pandemi inilah yang kemudian memunculkan upaya gerakan kemanusiaan untuk meringankan orang-orang paling terdampak. Mulai dari menyediakan pasokan makanan, obat-obatan, tabung oksigen hingga ambulans gratis.
Senada dengan Sigit, menurut Trubus, masyarakat kelas bawah ini yang paling merasakan dampak negatif lemahnya sinergi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam menangani pandemi.

"Baik pusat maupun daerah, masih jalan sendiri-sendiri. Belum sinergis koordinasinya." ujar Trubus menyayangkan. "Masih ada penjual bubur yang dikasih sanksi sampai 5 juta, penjual mi ayam sampai harus ke hotel prodeo tiga hari, anak-anak pejabat pesta-pesta berkerumun nggak diapa-apain, kalo hajatannya orang kecil dibubar-bubarin."

Masih menurut Trubus, ketidakmampuan pejabat-pejabat pemerintah melaksanakan instruksi Presiden Jokowi jadi pendorong maraknya aksi urun daya masyarakat.

"Penanganan pandemi dari pemerintah memang nggak efektif karena banyak sekali para pengambil kebijakan di tingkat bawah nggak menjalankan apa yang diperintah Pak Jokowi. Kalo Pak Jokowinya baik," kata Trubus. "Pak Jokowi kan selalu memerintahkan jangan sampai ada rakyat yang lapar. Tapi di bawahnya nggak, hanya mikir 'gimana saya dapet nyolong, mumpung lagi COVID, jualan obat, jualan vaksin.' Misalnya kayak gitu..."

Trubus menyoroti buruknya komunikasi pemerintah dalam menjalankan aturan. Misalnya saat memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Trubus menilai kurangnya edukasi dari pemerintah akan bahaya COVID-19 akhirnya membuat masyarakat memprotes kebijakan tersebut. Dan celah inilah yang diisi oleh aksi solidaritas warga. Selain jadi solusi, dampak positif dari aksi saling bantu ini dinilai Trubus sudah melahirkan public civility atau kesantunan publik yang berperan mengedukasi masyarakat tentang banyak hal. Antara lain tentang kebersamaan dan bahaya COVID-19.

"Inti gerakan ini adalah edukasi. Kepedulian masyarakat menempatkan pada tataran bahwa kita hidup dalam kebersamaan. Kalo ada satu kena COVID, yang lain juga bisa ikut kena. Jadi kita saling menjaga. Dampak positifnya, mendidik kesadaran masyarakat agar hidup disiplin sesuai standard aturan prosedur kesehatan new normal," ujar Trubus.

Karena itu Trubus menganggap sebenarnya penting juga aksi-aksi amal ini dipromosikan agar lebih banyak masyarakat yang bisa mengakses bantuan, sekaligus agar bisa menginspirasi orang lain untuk ikut membantu sesama.

"Gerakan ini sangat bisa diandalkan untuk jadi kekuatan baru melewati pandemi. Masyarakat kita kan punya nilai kebersamaan yang sangat tinggi. Sebenarnya banyak orang Indonesia dengan kepedulian sosial tinggi, sering menyumbang tapi nggak mau menonjolkan diri. Banyak contoh-contoh positifnya. Sayangnya yang menonjol justru orang-orang dengan ambisi tinggi dengan kepentingan-kepentingan pribadi. Yang pesimis-pesimis dan negatif-negatif tadi itu loh," kata Trubus menutup obrolan. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait