URstyle

Celah untuk si Sugar Craving

Ika Virginaputri, Minggu, 14 November 2021 17.43 | Waktu baca 7 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Celah untuk si Sugar Craving
Image: Sugar craving (ilustrasi: Freepik//MaryMarkevich)

Kamu suka mengonsumsi makanan atau minuman yang manis? Ada beberapa alasan kenapa makanan atau minuman manis cenderung disukai. Kalau kamu masih ingat, sejak kecil, kita udah punya bawaan untuk lebih memilih makanan manis dan asin, ketimbang makanan dengan rasa yang lain. Bener, nggak? Siapa sih yang semasa kecil nggak suka permen, es krim, atau kue-kue?

Nah, kecenderungan ini ternyata bukannya tanpa alasan, loh.

Menurut pendapat para ahli, beberapa orang memakan lebih banyak gula dibandingkan dengan orang lain, karena faktor genetik. Jadi, misalnya ibu kamu suka makan manis semasa hamil, biasanya kamu pun cenderung menyukai yang manis-manis. Selain itu, gula juga dipercaya dapat meredakan rasa nyeri.

Penelitian lain menunjukkan bahwa saat mengonsumsi gula, otak kita mengeluarkan zat kimia dopamin yang bikin kamu merasa senang. Itu kenapa kalau kamu lagi galau, bawaannya pengen beli boba tea, makan kue brownies, atau beli es krim. Itu karena gula bisa membantu memperbaiki mood kamu, guys.

Secara alami, gula diperlukan tubuh untuk menghasilkan energi, agar kita bisa bebas beraktivitas tanpa rasa lemas. Makanan atau minuman yang berasa manis, umumnya memiliki gula yang mudah diserap oleh tubuh dan diubah menjadi energi dalam waktu cepat. Sehingga, kamu bisa merasa kembali bersemangat sesudah mengonsumsinya. Tapi, konsumsi gula dalam makanan dan minuman manis ini bukannya tanpa efek samping, guys. Jika dimakan terlalu sering, kita juga bisa kecanduan gula, loh.

Saat muncul keinginan yang terus menerus untuk mengonsumsi yang manis-manis, tandanya kamu mulai kecanduan gula tuh, guys. Kondisi ini jika dibiarkan terus dapat menimbulkan risiko penyakit seperti obesitas dan diabetes.

Batasi Asupan Gula

Sejak pandemi COVID-19 melanda, isu kesehatan jadi prioritas utama hampir semua orang. Termasuk soal diabetes yang merupakan penyakit komorbid utama COVID-19 paling berbahaya. Sebagai penyakit yang mengganggu sistem metabolisme tubuh, diabetes memang belum ada obatnya. Yang bisa dilakukan untuk menghadapinya adalah dengan meminimalisir risikonya, yaitu dengan menjalani gaya hidup sehat.

Salah satu pemicu diabetes atau penyakit kencing manis adalah konsumsi makanan yang melebihi takaran seharusnya. Utamanya gula, si manis yang jadi biang keladi penyakit diabetes.

Menurut Dokter Dicky Tahapary Sp.PD, KEMD, asupan gula untuk pengidap diabetes memang harus dibatasi dibanding untuk mereka yang tanpa diabetes. Pasien diabetes memang dianjurkan untuk mengurangi yang manis-manis dan memperhatikan betul asupan gula dalam tubuhnya.

Tapi, kondisi ini nggak berarti bahwa kamu nggak bisa menyentuh makanan mengandung gula sama sekali, ya? Tubuh kita masih butuh gula sebagai sumber energi. Tanpa gula, badan kita akan terasa lemas dan sulit berkonsentrasi karena kekurangan gula juga menurunkan kerja otak.

Dokter Dicky menyarankan, asupan gula yang ideal untuk pasien diabetes adalah maksimal 25 gram sehari. Sedangkan kalau kamu nggak punya diabetes, asupan gula juga perlu dibatasi hingga maksimal 50 gram per hari aja, guys.

"Gula itu sehari, kalo bukan diabetes maksimal 50 gram. Tapi kalo pasien dengan diabetes masih bisa konsumsi gula sampai 25 gram sehari," kata Dokter Dicky kepada Urbanasia.

1636886400-gulakemenkes.pngSumber: Asupan gula perhari untuk orang tanpa diabetes adalah 50 gram. Sedangkan untuk orang dengan diabetes hanya 25 gram per hari (ilustrasi: P2PTM-Kementerian Kesehatan)

"Semua makanan kita kan pada dasarnya diubah menjadi gula. Cuma aja agak lama sedikit. Karena itu dimetabolisme dengan enzim di mulut jadi gula gitu. Jadi semua yang kita makan, mau nasi merah, nasi putih, mie, makanan karbo lain, kalo kita telan akhirnya dimetabolisme jadi gula juga. Jadi, nggak usah khawatir nggak minum yang manis. Karena ada sumber dari makanan," imbuhnya lagi. 

Nah berdasarkan penjelasan Dokter Dicky, baik penderita diabetes maupun orang tanpa diabetes tetap harus hati-hati dengan asupan gula nih, Urbanreaders. Di satu sisi, tubuh kita butuh gula supaya berfungsi dengan baik, tapi di sisi lain, gula juga bisa menjadi zat adiktif alami yang bikin kecanduan.

Terus gimana dong, kalau kita suka banget makanan atau minuman manis? Tindakan amannya tentu dengan mencermati kadar gula di semua makanan yang kita konsumsi. Apalagi dalam makanan dan minuman kemasan yang sering kita beli untuk cemilan iseng. Harus teliti banget tuh guys, membaca tabel kandungan nutrisinya. Jangan sampai kadar gula yang masuk ke tubuh dalam sehari melewati batas wajar.

Pilih Pemanis Buatan

Untuk pasien diabetes, dokter Dicky membolehkan pemakaian produk pengganti gula dan pengobatan dengan ramuan herbal, asalkan masih dalam pengawasan dokter.

"Kalo memang nggak tahan pengen manis banget, boleh pake pemanis buatan. Kalo herbal gimana? Di Indonesia kan banyak ya, penelitian terkait herbal. Ada yang hasilnya cukup baik. Selama itu sudah melalui penelitian dan hasilnya cukup baik, silakan aja dikonsumsi. Tapi tolong komunikasikan dengan dokter yang merawat. Karena seringkali (pasien) nggak bilang. Udah diberikan obat, kemudian diberikan obat herbal juga, ternyata potensi herbalnya meningkatkan potensi obatnya. Jadi akibatnya gula darahnya terlalu rendah,” ucap Dicky.

Saat ini, banyak dijual bebas produk sehat dari tanaman herbal yang berfungsi sebagai pemanis pengganti gula. Yang sudah populer adalah pemanis buatan yang dibuat dari ekstrak daun stevia. Karena tergolong herbal alami, pemanis dari ekstrak daun stevia dinilai aman untuk penderita diabetes karena nggak mengandung kalori seperti gula pasir. Buat kamu yang nggak diabetes dan ingin menjaga berat badan tetap ideal, bisa juga pakai pemanis ini untuk bikin minuman atau masakan.

Sejak tahun 2008, lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA), sudah mengkategorikan ekstrak daun stevia ini ke dalam golongan GRAS (Generally Recognized As Safe) yang artinya aman dikonsumsi sebagai bahan tambahan pangan.

Keunggulan Pemanis Stevia

Selain aman dan bersifat alami, pemanis berbahan stevia juga punya keunggulan lain. Menurut Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, Guru Besar Keamanan Pangan IPB (Institut Pertanian Bogor), ekstrak saun stevia punya tingkat kemanisan antara 200 hingga 300 kali lipat dibanding gula biasa. Jadi, irit digunakan karena cuma perlu sedikit pemakaian untuk mendapatkan rasa manis. Jika bentuknya cair, cukup tambahkan 1-2 tetes ke dalam minuman atau masakan. Namun, Profesor Ahmad menambahkan Acceptable Daily Intake (ADI) atau konsumsi hariannya tetap harus disesuaikan dengan berat badan kita.

"Acceptable Daily Intake-nya adalah 12 miligram per kilogram berat badan. Itu yang amannya," ujar Ahmad kepada Urbanasia. "Contohnya, untuk anak dengan berat badan 40 kilogram, dikalikan 12 berarti 480 kan? 480 miligram untuk berat badan 40 kilogram. Kalikan saja berat badan dengan 12. Kurang-lebih sekitar itu," jelas Ahmad.

1636886534-Prof-Ahmad-Sulaeman.jpgSumber: Prof. Ahmad Sulaeman, Guru Besar Keamanan Pangan IPB (Institut Pertanian Bogor) - (Foto: Dok Pribadi)

Selain itu, keunggulan lain dari pemanis ekstrak daun stevia yang disampaikan Ahmad adalah tahan terhadap panas sampai 140 derajat celcius. Artinya, jika pemanis stevia ditambahkan ke dalam masakan, rasa manisnya tidak hilang. Berbeda dengan pemanis lain yang nggak tahan panas seperti aspartam.

"Kelebihan lain adalah tahan terhadap panas sampai 140 derajat celcius. Selama satu jam lah ya. Kalo kita mau bikin produk-produk yang dipanggang misalnya, yang sampai suhu 140 derajat celcius (pemanis ekstrak stevia) masih bisa memberikan hasil manis. Kalo yang lain tuh rusak. Aspartam misalnya. Begitu dimasak, dipanggang, manisnya hilang," kata pria asal Sukabumi, Jawa Barat ini.

Ahmad menambahkan, beberapa studi dan penelitian yang masih berlangsung sampai saat ini menunjukkan pemanis berbahan ekstrak daun stevia punya sifat-sifat herbal, anti diabetik, dan anti kanker. Selain itu, juga bisa menurunkan tekanan darah tinggi sehingga baik untuk penderita darah tinggi, serta mengandung antioksidan dan non karies alias nggak merusak gigi.

Walau pemanis konvensional seperti gula pasir masih lebih populer, berbagai keunggulan tersebut membuat pemanis ekstrak daun stevia sudah banyak digunakan masyarakat negara-negara lain seperti Australia, New Zealand, dan Jepang.

"Udah diotorisasi baik di Australia, New Zealand, Jepang, Amerika, bahkan di Swiss, sejak tahun 2008," tutur Ahmad. "Di Amerika, (pemanis berbahan stevia) dimasukkan jadi food additive golongan GRAS, Generally Recognized As Safe, umum dikenal aman ya. Uni Eropa sendiri umumnya pendapatnya positif. Di Uni Eropa baru diperbolehkan untuk penjualan tuh 2 Desember 2011," jelasnya.

Dalam Pengawasan Dokter

Meski punya banyak kelebihan, Ahmad mengingatkan kadar pemakaian pemanis ekstrak stevia ini harus dalam batas wajar. Apalagi untuk orang yang memiliki penyakit metabolik seperti diabetes. Sama seperti yang disarankan Dokter Dicky, Ahmad berpendapat pemakaian pemanis pengganti gula wajib dikonsultasikan dengan dokter. Apalagi jika si pasien secara rutin mengonsumsi obat-obatan tertentu. Karena menurut Ahmad, terkadang campuran obat dan produk tambahan yang kita konsumsi bisa menimbulkan implikasi seperti mual dan kembung. Selain itu, banyak studi dan penelitian stevia yang sifatnya non-konklusif alias belum ada hasil yang konsisten.

Ahmad mencontohkan, ada satu penelitian yang bilang bahwa ekstrak daun stevia bisa menurunkan gula darah, namun di penelitian lain hasilnya malah meningkatkan gula darah. Yang pasti, Ahmad melarang mencampur pemanis ekstrak daun stevia dengan asupan yang mengandung dekstrin dan fruktosa. Kedua elemen tersebut mengandung kalori yang berpotensi menambah berat badan. Namun jika ditarik kesimpulan secara umum, Ahmad meyakini pemanis ekstrak stevia ini masih aman dikonsumsi.

"Ketika kita mengonsumsi ini harus mengamati juga apa yang kita rasakan. Kadang-kadang kan kita tidak menyadari karena (pemanis stevia) ini bisa dikatakan novel food ya, makanan baru yang kita juga nggak kenal sebelumnya. Mungkin ada hal-hal yang belum kita ketahui," ungkap Ahmad mewanti-wanti. "Harus dicermati setelah makan terasa apa di tubuh kita karena mungkin tidak semua cocok dengan itu. Coba aja dicek terkait dengan kesehatan pencernaan, perut kita merasa nyaman nggak? Yang saya khawatirkan komposisi mikroflora perut kita terganggu. Padahal, yang disebut probiotik itu kan penting ya," kata Ahmad yang sudah akrab dengan tanaman stevia sejak lulus kuliah di tahun 1985.

Nah, jadi hidup sehat bukan berarti memilih makanan-minuman nggak enak ya, guys. Menilik pendapat Dokter Dicky dan Profesor Ahmad, hidup sehat artinya kita harus lebih cermat dan teliti dengan apa yang kita konsumsi. Termasuk lebih memahami reaksi tubuh terhadap konsumsi tersebut. Yang pasti, asal masih dalam batas wajar dan nggak berlebihan, ya?

 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait