Coffee Shop, Rumah Kedua Para Milenial

Sebelum zaman internet dan media sosial, tempat ngopi biasanya berupa warung kecil yang juga menyediakan mi instan, roti bakar, dan bubur kacang hijau. Hanya satu bangunan sederhana dengan area duduk seadanya yang biasa disebut warkop atau warung kopi.
Meski warkop masih populer dan bisa dijumpai di setiap sudut, tempat ngopi yang lebih estetik juga nggak kalah jumlahnya. Mulai dari yang lokasinya di gang, pinggir jalan, sampai di dalam mal dan perkantoran.
Nah, coffee shop ini seakan sudah jadi rumah kedua para milenial. Selain menawarkan beragam jenis kopi, nggak jarang pemilik juga menyediakan interior yang instagramable dan suasana homey supaya pengunjung betah berada di sana.
Bak Rumah Sendiri
Menyediakan tempat yang nyaman bagai di rumah sendiri, disadari banget oleh Rinaldi Nurpratama, saat pertama merintis Dua Coffee di tahun 2016. Maka, dipilihlah konsep rumahan sebagai benang merah pelayanan coffee shop yang kini sudah punya cabang di 8 lokasi ini.
"Kalau konsep yang kita bawa sebenernya adalah konsep rumah karena tagline-nya 'Rumah Kedua'," ujar Rinaldi yang sehari-harinya disapa Aldi. "Kita ngeliat coffee shop itu adalah ruang ketiga antara rumah dan kantor, tengah-tengahnya tuh biasanya coffee shop atau kafe. Jadi, kita pengen orang yang dateng seperti lagi main ke rumah temen, ke rumah tetangga. Jadi kita welcoming semua orang yang ingin dateng dengan segala kenyamanan mereka," tambah pria yang juga menjabat sekretaris jenderal di Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) ini.
Aldi menambahkan konsep rumahan Dua Coffee tersebut sukses menggaet pengunjung. Aldi bercerita beberapa di antara mereka bahkan nggak sungkan datang pagi-pagi dengan masih memakai baju tidur, Guys. Aldi berharap dengan cara ini coffee shop-nya bisa jadi tempat yang menerima semua orang tanpa judgement.
Sumber: Rinaldi Nurpratama, co-founder Dua Coffee (Foto: Dok pribadi)
Aldi mengaku memang menyasar target market yang lebih umum, namun Dua Coffee juga memfasilitasi pencinta kopi yang ingin datang sekadar untuk ngobrol-ngobrol tentang kopi di area roastery-nya. Artinya Dua memang nggak mau spesifik. Soalnya Aldi berpendapat, nggak selamanya pengusaha harus idealis dalam berbisnis. Kompromi dengan keinginan pasar juga penting, apalagi sejak pandemi di mana pelaku bisnis harus putar otak ekstra cepat untuk bisa tetap survive.
"Yang aku pribadi percayai, terkadang kita nggak bisa terlalu idealis. Terkadang kita juga harus melihat seperti apa kebutuhan pasar," Aldi menegaskan. "Apalagi di masa pandemi gini kan? Kita disuruh memutar otak 3-4 kali lebih cepat daripada biasanya karena customer behavior banyak yang berubah," sambungnya.
Konsep rumahan lantas diterapkan Dua Coffe juga untuk pilihan menu. Selain menjual produk non-coffee, jenis makanan yang ditawarkan pun yang sudah sangat familiar buat kebanyakan orang Indonesia.
"Kita juga punya produk non-coffee yang cukup bervariasi dan comfort food kayak kalau lagi dateng ke rumah temen biasanya dibeliin nasi goreng atau mi goreng tektek. Itu kan makanan rumah," kata Aldi. "Kita juga ada jenis pasta-pasta karena target market kita juga yang family yang memang sudah terekspos makanan-makanan western seperti spageti," ujarnya lagi.
Eksis di Media Sosial
Aldi menilai, pembaruan dan penganekaragaman menu penting banget dilakukan untuk pengembangan bisnis supaya pelanggan nggak bosan. Aldi bercerita di awal-awal buka, pilihan menu di Dua Coffee nggak lebih dari 10 menu dan sekarang sudah bertambah jadi 47 menu. Dan untuk mempromosikan menu-menu itu, tim Dua sepenuhnya mengandalkan media sosial supaya lebih dekat dengan para milenial. Misalnya bikin polling dan membangun dialog santai tentang menu-menu yang ditawarkan.
"Jadi, cara kita menggapai customer-customer milenial dari cara ngobrol di social media, melakukan polling. Ya kita memanfaatkan media gratis yang ada, baik itu Instagram, Facebook, Twitter dan online-online platform kita dibuat semenarik mungkin konten-kontennya, kita ajak customer untuk berdiskusi. Jadi kita berusaha mendekatkan diri ke customer," jelas Aldi.
Karakteristik milenial yang nggak terpisahkan dengan media sosial juga disadari oleh Sivaraja, pemilik coffee shop Amstirdam di wilayah Malang, Jawa Timur. Berangkat dari kesederhanaan bisnis pengolahan biji kopi di tahun 2011, Amstirdam akhirnya berkembang menjadi coffee shop tiga tahun kemudian di 2014. Karena serba low budget, promosi pun akhirnya hanya lewat media sosial yang gratis.
"Dari awal budget kita memang terbatas. Tahun 2011 sampai 2015 tren ngopi belum terlalu kelihatan kayak sekarang," ungkap Siva saat dihubungi Urbanasia lewat telepon. "Jadinya nggak ada budget untuk promosi selain lewat media sosial. Kita ngelihat media sosial sebagai satu-satunya sarana untuk promosi. jadi bener-bener dimaksimalkan sebisa mungkin," kata pria berusia 41 tahun ini.
Konsep Minimalis
Berbekal pengamatannya saat kuliah di University of New South Wales, Australia, Siva membangun Amstirdam dengan konsep minimalis. Sama seperti kebanyakan pengamat kopi di Indonesia, Siva juga melihat di luar negeri orang-orangnya memandang kopi bukan lagi sekadar gaya hidup tapi sudah jadi kebutuhan sehari-hari, Guys. Nggak heran deh, kalau satu cofee shop di sana bisa menjual hingga 2.000 cangkir per hari.
"Jadi kadang di sana buka coffee shop tanpa papan nama itu juga bisa rame," Siva bercerita. "Mereka nggak peduli interior, bukan untuk nongkrong. Kalo di sini kan (ngopi) kayak untuk hiburan. Jadi tingkat konsumsinya di sana juga lebih besar. Satu coffee shop itu bisa (menjual) 1.000 sampai 2.000 cangkir sehari," tambahnya lagi.
Sumber: Sivaraja, owner Amstirdam Coffee Malang (Foto: Instagram @AmstirdamCoffee)
Konsep minimalis low-cost yang dipakai Amstirdam juga nggak lepas dari target pasarnya yang kebanyakan mahasiswa. Di awal Amstirdam berdiri sebagai roastery yang hanya menjual biji kopi, para mahasiswa lah yang tanpa sengaja jadi konsumen pertama. Saat itu Amstirdam cuma punya satu ruangan dengan meja dan kursi biasa.
"Konsep kita dari awal memang low-cost budget coffee, cuma kualitas dan experience-nya tetap sama dengan coffee shop lain," Siva memaparkan. "Dulu awalnya kita adalah roastery yang jual biji kopi ke kafe-kafe. Cuma tempat duduk-duduk untuk para pembeli nyobain kopi, mereka kemudian beli minimal sekilo untuk dijual di kafe mereka. Seiring berjalannya waktu, mulai banyak penikmat kopi yang duduk-duduk untuk minum di tempat. Kebetulan kebanyakan mahasiswa," ungkap Siva tentang coffee shop-nya yang sekarang sudah berdiri di 5 lokasi di Malang.
Tampil Berbeda
Berbeda dengan Dua Coffee yang sangat general, Siva mengaku Amstirdam justru lebih memilih kopi-kopi yang sangat spesifik dalam urusan menu. Hal itu dilakukan sebagai poin pembeda karena di Malang sudah cukup banyak bermunculan tempat ngopi. Jadi diferensiasi dalam bisnis itu juga penting ya, Guys.
"Kita sadar mulai banyak coffee shop yang berdiri di Malang. Semuanya menyajikan kopi. Jadi kita spesifik cuma menyajikan menu yang kita suka. Contohnya moka. Moka itu menu wajib di coffee shop sekarang, cuma kita tuh baru ada mungkin setelah 3 tahun, karena kita bener-bener nyari dan nyoba sampai ketemu yang kita suka, baru kita luncurkan," Siva menjelaskan.
Siva memberikan kebebasan kepada timnya di Amstirdam untuk bereksperimen dengan menu. Namun satu hal yang pasti, kopi produksi Malang harus tetap mendominasi daftar menu. Nggak lain karena nama Amstirdam merupakan singkatan dari 4 kecamatan di Malang yaitu Ampelgading, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo, dan Dampit. Namun Siva menambahkan, pelanggan masih bisa memesan kopi Indonesia lainnya karena Amstirdam punya koleksi kopi mulai dari produksi Aceh sampai Papua.
Nah, kamu tim yang mana nih, Guys? Yang general seperti Dua Coffee atau yang spesifik kayak di Amstirdam?