Digital Nomad, Kerja Bebas Tanpa Aturan?

Pandemi COVID-19 sejak awal tahun 2020 memang sudah mengubah drastis hidup seluruh manusia di bumi ya, Guys? Karena pandemi, kita pun jadi lebih akrab dengan istilah remote working, work from anywhere (WFA) dan work from home (WFH) demi menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas. Walau sebagian netizen sempat mengeluhkan kebiasaan baru ini, namun nyatanya kini banyak juga yang lebih memilih kerja tanpa ngantor. Baik untuk alasan kesehatan supaya terhindar dari virus, maupun untuk efisiensi. Dengan bantuan teknologi, pekerjaan bisa diselesaikan dari mana saja.
Lebih Fleksibel
Saat situasi pandemi mulai sedikit membaik, ingat nggak Guys, pemerintah kita sempat menggalakkan program Work from Bali? Tujuannya untuk membangkitkan lagi sektor pariwisata yang 'tiarap' karena kebijakan lockdown. Dari sini, masyarakat pun jadi kenal dengan istilah baru selain remote working dan WFH, yaitu digital nomad. Apa tuh, digital nomad? Memang nggak ada definisi baku yang menjelaskan sistem kerja tanpa ngantor ini. Tapi menurut kamus Merriam-Webster yang sering jadi rujukan para penulis, digital nomad adalah orang yang bekerja lewat internet sambil traveling.
Merriam-Webster resmi memasukkan 'digital nomad' ke dalam perbendaharaan kata di kamus mereka akhir Oktober 2021 lalu, Guys. Bisa jadi karena kerja sambil jalan-jalan ini udah jadi trend yang makin meluas. Contohnya kayak cerita pebisnis muda, Agnes Friska Cyntia. Berawal dari mimpi merintis usaha sendiri, Agnes memberanikan diri berhenti jadi pegawai kantoran dan mendirikan bisnis creative agency di bidang digital marketing. Meski punya kantor di kawasan Tangerang Selatan, cewek 26 tahun ini lebih suka menjalankan bisnisnya sambil jalan-jalan.
"Setelah bertahun-tahun kerja di corporate, ternyata kerja 24/7 untuk bangun mimpi sendiri tuh bener-bener lebih menyenangkan buat aku pribadi," jawab Agnes saat Urbanasia menanyakan pilihannya menjadi digital nomad. "Walau aku sekarang nggak punya bos nih, tapi aku punya tujuan sendiri dan punya goals, pencapaian, kira-kira dalam 5 tahun ke depan target aku apa. Karena sebenernya ketika jadi digital nomad aku bisa lebih banyak eksplor dunia sekitar aku, bisa lebih banyak belajar hal-hal baru," sambung Agnes.
Menjalani gaya hidup digital nomad sejak akhir 2019, Agnes nggak hanya berkeliling tujuan wisata dalam negeri aja, Guys. Beberapa negara Eropa seperti Belanda, Prancis dan Jerman juga sudah dia singgahi. Meski begitu, nggak berarti keseharian Agnes jadi santai kayak lagi liburan, loh. Jadwal meeting dengan klien dan ngajar kelas online selalu ada di agenda hariannya. Saking padatnya jadwal kerja Agnes, lulusan Universitas Atmajaya Yogyakarta ini pun meng-hire personal assistant untuk menyusun kegiatannya. Agnes mengakui memang dia sudah terbiasa dengan ritme kerja kantoran. Bedanya, sejak jadi digital nomad, nggak ada tuh istilah bosan atau jenuh, mengingat suasana kerja yang selalu berubah-ubah. Selain membantu menyegarkan pikiran, kerja tanpa ngantor membuat Agnes bisa lebih leluasa mengatur waktu.
"Kita pindah ke suatu tempat yang baru itu bener-bener bisa refresh otak kita," kata Agnes.
Meski jenis kerjaan ini menjanjikan fleksibilitas dalam pengaturan waktu, Agnes juga tetap menjaga etos kerja yang baik, loh. Salah satunya dengan membiasakan hal positif dalam kesehariannya.
Agnes Friska Cyntia sudah 2,5 tahun menjalankan bisnis digital marketingnya sebagai digital nomad (Foto: Dok pribadi)
"Fleksibel secara waktu iya, tapi gimana caranya supaya tetep punya habit yang positif. Jangan sampe kita ketinggalan nih sama orang lain. Mungkin kita nggak punya bos, kita nggak punya semacam rules kita harus ngapain setiap pagi, tapi diusahain kita punya habit yang selalu positif yang bisa kita bangun. Kayak misalnya pagi kita perlu sarapan dulu, atau kita eksplor dulu, me-time dulu," ujar Agnes.
Kebebasan mengatur waktu ini juga jadi alasan Dada Sabra Sathilla berhenti dari kantor dan memulai petualangannya sebagai digital nomad. Jauh sebelum pandemi yaitu di awal tahun 2017, Dada yang semula bekerja sebagai marketing communication di wilayah SCBD Jakarta lantas memutuskan pindah ke Hanoi, Vietnam. Istilah digital nomad dia ketahui dari teman-teman baru yang ia temui saat traveling, Guys. Dada yang saat itu lagi jenuh banget sama kerja kantoran, terus ‘banting setir’ dan memilih digital nomad sebagai gaya hidupnya.
"Saya waktu itu kayak lagi senang banget traveling," ucap Dada mengawali cerita. "Terus ketemu traveler-traveler lain kayak ngebuka pikiran saya gitu. Ternyata ada gaya hidup lain yang menarik karena selama ini saya pikirnya kan kerja nine to five 40 jam seminggu di kantor. Nah, ternyata banyak tuh teman-teman traveler yang kerjanya nggak sebanyak itu, jadi banyak waktu luangnya. Terus saya mulai mencoba ingin gabung dengan mereka gitu. Akhirnya saya resign, terus nyoba tinggal di luar negeri," lanjut cewek yang bekerja di bidang komunikasi ini.
Mencari nafkah sambil traveling membuat Dada menjalani banyak pekerjaan. Mulai dari mengajar bahasa Inggris, jadi kontributor untuk media-media di Indonesia dengan menulis artikel dan bikin video traveling, sampai buka bisnis jasa titip alias jastip. Sampai tahun 2021, Dada sudah berhasil mengunjungi 34 negara di benua Asia, Eropa dan Amerika. Sebut saja Cina, Jepang, Qatar, Turki, Belgia, Ceko dan Amerika Serikat. Nggak hanya menambah cap imigrasi dari banyak negara di paspornya, Dada mengaku pengalaman kerja sambil traveling juga berdampak positif buat upgrade skill dan self-growth. Terutama untuk urusan adaptasi dengan lingkungan baru dan berpikir kreatif.
"Yang pasti kepercayaan diri meningkat pesat karena terbukti bisa mengatasi tantangan-tantangan yang sebelumnya nggak pernah dihadapi," Dada menuturkan. "Jadi secara internal lebih pede sama diri sendiri ya. Courage-nya jadi meningkat pesat juga. Jadi orang yang lebih berani. Mentalnya udah terasah gitu," tambah Dada yang juga pernah tinggal di Wisconsin, Amerika Serikat.
Tak Seindah Harapan
Nah seru banget kan, Guys, cerita Agnes dan Dada tentang kerja sambil traveling? Apakah Urbanreaders mulai tergoda pengen jadi digital nomad juga? Tunggu dulu, cerita Agnes dan Dada masih terus berlanjut nih, Guys. Soalnya selain punya seabrek keuntungan, gaya hidup digital nomad ternyata juga ada ‘nggak enaknya’. Yap, digital nomad memang nggak melulu 'berhiaskan' pemandangan indah dan gelas cantik di samping laptop, loh. Menurut Agnes, nggak jarang juga ekspektasi kayak gitu dipatahkan realita karena tempat yang semula dibayangkan bisa bikin nyaman bekerja, justru malah banyak gangguannya. Misalnya beach club yang musiknya terlalu berisik atau coffee shop yang koneksi wifi-nya nggak bagus. Nah, di sini lah Agnes menekankan pentingnya mengeksplor tempat tujuan kita.
"Misalnya kita kayak expect di suatu tempat 'Wah enak nih bisa kerja di pinggir pantai anginnya sepoi-sepoi’ gitu kan?" Agnes mencontohkan. "Tapi ternyata pas sampai sana, ekspektasi tuh hilang semua. Ternyata di sana wifi-nya nggak bagus, terlalu banyak noise, suara-suara musik atau suara orang-orang sekitar yang mengganggu. Itu yang perlu diantisipasi juga sebenernya. Jadi ketika kita dateng ke suatu tempat, kita make sure memang suasananya juga proper buat kerja," ujar Agnes.
Agnes beranggapan inilah salah satu tantangan digital nomad. Untuk mengantisipasi gangguan seperti ini, sebaiknya memang perlu survey tempat lebih dulu atau mencadangkan lebih banyak waktu sebelum benar-benar mulai bekerja. Bukti bahwa pekerja yang nggak ngantor pun tetap butuh disiplin diri supaya tetap profesional. Nggak lucu kan Guys, gara-gara kurang persiapan, kita jadi telat join meeting atau kirim email? Salah-salah kita bisa kehilangan job atau klien, tuh.
Lain lagi dengan masalah yang dihadapi Dada. Walau traveling jadi hobi utamanya, Dada mengaku hidup nomaden pernah juga membuatnya lelah secara mental.
Memilih gaya hidup digital nomad sejak 2017, Dada Sabra Sathilla sudah mengunjungi 34 negara di dunia (Foto: Dok pribadi)
"Mungkin lama-kelamaan agak capek juga secara mental kalau pindah-pindah gitu ya," Dada berujar. "Di awal-awal saya di Hanoi, Vietnam, saya tinggal di sana kan cuma base aja. Setiap minggu pasti traveling ke mana-mana sekitar Asia. Setelah itu tahun 2018 balik ke Indonesia karena ada pekerjaan beberapa bulan. Setelah itu traveling lagi ke Eropa dan ke Amerika. Jadi, pada akhirnya tuh sempet capek juga sih. Karena kalau kayak ngebangun pertemanan kan jadinya singkat doang karena selalu pindah-pindah," imbuhnya lagi.
Di saat-saat merasa lelah itu memang nggak ada cara lagi selain rehat sejenak dengan menetap di satu tempat. Dada mengusulkan untuk membangun sebuah rutinitas dalam jangka waktu tertentu sampai pikiran kembali segar dan siap bepergian lagi.
Salah Kaprah Kerja Nomad
Bagi sebagian orang yang mengidam-idamkan kerja lepas tak terikat aturan kantor, cerita Agnes dan Dada tentang sisi nggak enak digital nomad mungkin nggak pernah terbayangkan sebelumnya. Agnes mengaku bahwa salah kaprah yang menganggap digital nomad sebagai gaya kerja santai ala liburan panjang, merupakan salah satu concern yang ingin dia luruskan. Untuk memulai sistem kerja sambil jalan-jalan, baik Agnes maupun Dada sama-sama menilai mindset dan disiplin diri adalah hal terpenting yang harus kita siapkan. Karena banyaknya kejadian tak terduga saat traveling, dua hal ini bisa membantu digital nomad menghindari kejadian nggak enak. Salah satunya menurut Agnes demi mengantisipasi gaya hidup boros.
"Aku kadang concern juga sama orang-orang yang pengen work from Bali, work from mana, tapi mindsetnya masih orang yang berwisata," ungkap Agnes "Ketika kita move ke suatu tempat, jangan mikir kita lagi wisata. Karena, orang yang lagi wisata ngabisin duitnya sangat banyak. Tapi kita mikir kayak kita mau move ke suatu tempat dan kita mau tinggal di sana. Konsepnya tuh konsep tinggal, bukan konsep wisata. Jadi kalau kita punya konsep tinggal, kita hidup dengan pengeluaran sehari-hari kita, seperlunya aja," kata Agnes meluruskan.
Jika mindset dan disiplin yang ditekankan Agnes tersebut menyangkut urusan finansial, cerita pengalaman Dada sebagai freelancer sambil traveling lebih ke soal produktivitas. Soalnya menurut Dada, tanggung jawab digital nomad sama aja dengan orang kantoran yang kerja diawasi bos. Bedanya mungkin di beban kerja yang menentukan penghasilan, terutama bagi mereka yang entrepreneur. Nah di sini nih Guys, mindset dan disiplin diri itu menentukan produktivitas. Semakin banyak kerjaan yang diambil, tentu makin banyak juga income yang kita dapat.
"Jadi digital nomad entrepreneur lebih gede tantangannya karena memang semua dari A sampai Z diurusin sendiri, kan?" kata Dada. “Bener-bener nggak ada manajer atau bos yang ngatur. Tantangannya jauh lebih tinggi karena seberapa banyak income yang kita hasilkan itu benar-benar bergantung ke diri sendiri. Kalau saya nggak ngapa-ngapain, saya males, yaa income-nya 0. Tantangan yang gedenya di situ. Nggak ada yang nge-push sehebat ketika kita bekerja di perusahaan," Dada memaparkan.
Dari kisah Agnes dan Dada, ternyata digital nomad nggak sesantai yang kita bayangkan, ya? Namun, kerja sebagai digital nomad bisa jadi ajang latihan kita lebih disiplin dalam segala hal. Dari segi pemanfaatan waktu, mengatur keuangan, sampai latihan profesionalitas. Jadi mendingan ngantor atau kerja sambil traveling?