URnews

Dikaitkan dengan Game Among Us, Yuk! Cari Tahu soal Impostor Syndrome

Nivita Saldyni, Senin, 19 Oktober 2020 12.01 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dikaitkan dengan Game Among Us, Yuk! Cari Tahu soal Impostor Syndrome
Image: Game Among Us. (Ilustrasi/Pixabay)

Yogyakarta - Urbanasia mungkin sudah tak asing dengan istilah impostor. Istilah impostor saat ini kembali dipopulerkan oleh game Among Us. Tapi tahukah kamu kalau ternyata dalam dunia psikologi ada impostor syndrome?

Psikolog Klinis Universitas Gadjah Mada (UGM), Tri Hayuning Tyas menjelaskan impostor syndrome atau impostor phenomenon adalah fenomena psikologis seseorang yang tidak mampu menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang ia raih. Mereka yang mengidap impostor syndrome akan selalu mempertanyakan diri sendiri atas pencapaian yang telah diraihnya.

Wanita yang akrab disapa Nuning ini mengatakan, seorang dengan impostor syndrome tak akan berhenti meragukan apakah keberhasilan yang diraih merupakan hasil kemampuannya.

Sebab, mereka akan selalu merasa bahwa keberhasilan tersebut adalah keberuntungan atau kebetulan semata, bukan karena kemampuan intelektual diri. Bahkan, mereka juga memiliki ketakutan jika kondisinya itu diketahui orang lain dan ia dianggap sebagai penipu. 

"Ada kekhawatiran ketahuan, sebab ia merasa selama ini melakukan penipuan atau berbuat curang. Padahal pencapaian atau prestasi itu nyata karena memang benar-benar mampu atau pintar," kata Nuning, dikutip dari rilis resmi Humas UGM, Senin (19/10/2020).

Nah, kondisi ini berbeda dengan istilah impostor dalam Bahasa Inggris yang berarti seseorang yang berpura-pura menjadi orang lain dengan tujuan untuk menipu atau melakukan kecurangan ya. Sebab dalam artian itu, impostor dinilai sebagai seorang yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan keuntungan dari kepura-puraannya.

Nuning pun menegaskan bahwa impostor syndrome tak masuk dalam kategori gangguan jiwa. Namun, kondisi ini cukup umum dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan cukup mengganggu. Sebab, jika kondisi ini terus menerus terjadi maka akan berpotensi menimbulkan kecemasan, stres, bahkan depresi.

"Sindrom ini bisa terjadi pada siapa saja, terutama pada orang yang harus menunjukkan performa pencapaian intelektual. Umum dijumpai saat seseorang memulai perjalanan intelektual atau karier baru juga pada orang dengan karakter perfeksionis," jelasnya.

Lalu apa saja faktor yang bisa memicu terjadinya impostor syndrome pada seseorang?

Nuning menyebutkan ada beberapa faktor pemicu terbentuknya impostor syndrome, salah satunya adalah pola asuh keluarga. Impostor syndrome bisa tumbuh dan berkembang pada anak dari keluarga yang terlalu mengedepankan suatu pencapaian intelektual. Apalagi orang tua tak cukup mengajarkan bagaimana harusnya merespons kesuksesan maupun kegagalan pada sang anak.

"Akan ada perbandingan antar anak/saudara dan ini menjadi bibit mengembangkan impostor syndrome dimana anak merasa apa yang dilakukan tidak pernah cukup baik," terangnya.

Selain itu, faktor tekanan dari masyarakat tentang pentingnya kesuksesan yang harus diraih juga bisa jadi pemicu nih. Menurutnya hal ini bisa memicu pemikiran yang keliru pada diri seseorang untuk menghargai dirinya jika hanya ia berhasil.

Nah, orang-orang dengan impostor syndrome juga tertekan nih kalau dilabeli sebagai orang cerdas. Sebab hal itu membuat dirinya harus selalu memenuhi ekspektasi tersebut. 

Tapi tenang guys, Nuning punya tips untuk mencegah terjadinya impostor syndrome nih. Menurutnya, kunci utama adalah harus ada upaya menumbuhkembangkan pemahaman atas diri sendiri jika kesempurnaan bukanlah hal yang utama. Kita harus belajar menanamkan bahwa melakukan yang terbaik adalah yang terpenting.

"Ini penting untuk ditumbuhkembangkan sejak dini," katanya. 

Langkah selanjutnya, kita harus mengenali dan menghargai kemampuan diri kita. Coba tuliskan hal-hal apa saja yang telah berhasil kita lakukan dan berikan apresiasi terhadap diri sendiri atas keberhasilan tersebut, sesederhana apapun pencapaian itu.

Selain itu, kita juga bisa loh membicarakan keraguan atas keberhasilan dan ketidakmampuan kita ini pada mentor atau orang yang dapat dipercaya. Tapi kalau memang merasa perlu, cobalah untuk konsultasi ke psikolog atau profesional kesehatan mental lainnya.

Menurutnya hal ini perlu karena fenomena intellectual self-doubt dapat meluas pada area fungsi mental lainnya dan dapat memicu munculnya gangguan mental lain, misalnya gangguan kecemasan dan depresi. 

"Kuatnya pemikiran yang keliru dari impostor syndrome memerlukan intervensi psikologis yang terstruktur, misalnya dengan terapi kognitif behavioral, untuk memperbaiki kekeliruan dalam berpikir dan merespon lingkungan," tutupnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait