URstyle

Dulu Nongkrong di Warkop, Kini Work from Coffee Shop

Ika Virginaputri, Sabtu, 26 Maret 2022 18.04 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dulu Nongkrong di Warkop, Kini Work from Coffee Shop
Image: ilustrasi secangkir kopi (Foto: Freepik)

Dulu, ngopi identik dengan kebiasaan bapak-bapak yang duduk santai sambil membaca koran di pagi atau sore hari. Nggak cuma di rumah, kebiasaan ngopi juga dilakukan di warung-warung kopi atau biasa disebut warkop.

Tapi, sejak pop culture atau budaya pop mulai merebak, ngopi tak lagi menjadi aktivitas biasa, melainkan sebagai bagian dari aktivitas sosial. Sebut saja ketika Starbucks mulai masuk ke Indonesia pada tahun 2002.

Hadirnya gerai kopi yang berasal dari Negeri Paman Sam ini turut menghadirkan konsep baru ngopi sebagai sesuatu yang lebih urban, gaul, dan modern. Alhasil, kopi hitam di warkop jadi tak sama lagi nilainya dengan Americano di gerai kopi. Pengunjung pun tak hanya menikmati kopi, namun juga ‘membeli’ lifestyle, vibe, bahkan status sosial.

Budaya Pop

Pergeseran budaya inilah yang menurut Sosiolog Universitas Udayana Wahyu Budi Nugroho, membuat budaya ngopi berkembang pesat, khususnya di kalangan anak muda.

"Saya melihat ini lebih banyak dipengaruhi oleh budaya pop, terutama film," kata Wahyu kepada Urbanasia. "Kita sering melihat di film-film bagaimana meminum kopi seolah ditempatkan sebagai ‘ritual’, suatu keharusan sebelum memulai sesuatu. Sesuatu yang juga seakan wajib ada dalam aktivitas diskusi, kumpul-kumpul, saat sedang menyelesaikan pekerjaan atau dalam pertemuan-pertemuan penting," katanya lagi.

1648292374-Wahyu-Budi.jpgSumber: Wahyu Budi Nugroho, Sosiolog Universitas Udayana, Bali (Foto: Dok pribadi)

Kepopuleran ngopi ini pun ikut didukung oleh pesatnya era media sosial, di mana muncul kebutuhan ngopi yang baru, yaitu demi konten di media sosial.

“Bagaimana aktivitas meminum kopi ini dicitrakan dan ditampilkan di media-media, memunculkan demonstration effect atau ‘efek peniruan’ oleh audiens, sehingga menjadi sebuah praktik sosial. Ketika praktik sosial ini—meminum kopi—diunggah di media sosial, maka ia akan semakin meluaskan skalanya. Dalam arti, akan semakin banyak orang yang meniru atau mempraktikkannya,” jelas Wahyu.

Minuman Pergaulan

Kebutuhan posting di media sosial serta aktualisasi lifestyle kaum milenial ini, dengan sigap dijawab oleh para pengusaha kedai kopi kekinian.

Menurut pakar kopi Indonesia, Adi Wicaksono Taroepratjeka, tren ngopi ini telah mendorong banyak pengusaha untuk menjajal bisnis kedai kopi.

“Benar bahwa tren ini dampaknya bikin banyak orang buka usaha kedai kopi. Daerah yang tadinya cuma satu kedai kopi atau kalo mau ke kedai kopi butuh usaha, jalan kaki, naik kendaraan, sekarang di satu daerah bisa ada beberapa kedai kopi. Banyak orang yang mencoba, mem-follow passion dia jadi pengusaha, karena ngeliat bisnis warung kopi ini sedang trendy,” papar pria 46 tahun yang juga merupakan Q-grader pertama di Indonesia.

Selain itu, menurut pendiri 5758 Coffee Lab di Bandung ini, bisnis kedai kopi juga menjawab kebutuhan orang untuk bergaul dan bersosialisasi. Terutama, karena kopi memiliki karakter sosial dibandingkan dengan minuman lain seperti teh atau boba.

“Kalau saya perhatikan dari temen-temen saya yang penggiat teh, rata-rata saya melihat bahwa teh itu adalah minuman yang personal. Sementara kopi adalah minuman bersosialisasi, sebuah minuman yang entah kenapa mendorong kita untuk ngobrol,” ujar Adi.

“Kopi membuat diri saya lebih nyaman. Rasa nyaman itu yang membuat saya akhirnya mudah bercerita, kemudian belum lagi interaksi yang ada di kedai-kedai kopi di mana ada interaksi antara barista dengan pelanggan. Kalau misalnya di boba, saya sibuk memancing bobanya supaya pada saat yang pas bobanya dan larutannya akan habis, seakan fokusnya ke bobanya,” lanjut pria yang sudah 23 tahun mendalami perkopian ini.

1648292465-Adi-Taroepratjeka.jpgSumber: Adi Taroepratjeka, pakar kopi pendiri kampus 5758 Coffee Lab (Foto: Dok pribadi)

Ruang Sosial

Jika dilihat dari statusnya, Indonesia nggak pernah absen dari 5 besar negara penghasil kopi di dunia. Walau nggak masuk di daftar 10 negara peminum kopi terbanyak, namun angka konsumsi kopi kita cenderung naik terus dari tahun ke tahun. Begitu pun pertumbuhan kedai kopinya.

Menurut riset Toffin, pada tahun 2019, kedai kopi di Indonesia mencapai lebih dari 2.950 gerai, naik hampir tiga kali lipat dibanding tahun 2016 yang hanya sekitar 1.000. Angka tersebut hanya di kota besar aja loh, Guys. Belum termasuk yang tradisional atau yang ada di daerah.

Dari kacamata sosiologi, menjamurnya tempat ngopi, dijelaskan Wahyu, bisa dikaitkan dengan istilah fastamorgaria dalam kajian sosiologi ruang. Istilah ini merujuk pada ruang-ruang yang sengaja dibikin dengan tema-tema tertentu, sehingga menunjukkan simbol-simbol.

Misalnya, tempat ngopi udah jadi simbol produktivitas, kehidupan anak muda yang dinamis, gaul, asyik, meriah, atau bahkan menjadi simbol kemapanan. Kafe atau coffee shop nggak cuma sekadar tempat nongkrong aja. Milenial juga datang ke tempat ngopi untuk belajar, ngerjain pekerjaan, meeting sama klien, sampai reuni dan arisan yang personilnya bisa banyak banget. Apalagi ditambah dengan interiornya Instagramable banget buat selfie.

"Dengan begitu, konsumsi atas kafe ini sebetulnya tidak bisa direduksi sebagai konsumsi atas kopi semata, tetapi juga konsumsi atas ruang. Karena, ruang tersebut dapat memperkuat modal simbolik pengonsumsinya," tambah Wahyu.

Bangga Produk Sendiri

Nah, terkait sama produk kopinya sendiri, Adi berpendapat bahwa kebanggaan akan produk lokal menjadi faktor penting yang bikin kopi punya tempat spesial di hati para milenial. 

"Bagaimanapun juga kita negara penghasil, ada sedikit sentimen kedaerahan yang bermain di sini," ungkap Adi. "Berpikir bahwa kopi kita terbaik dan sentimen pribadi ini mendorong orang jadi konsumen yang royal dan mendorong orang mengeksplorasi lebih lanjut mengenai kopi yang ada di negeri ini. Jadi, kombinasi dari doyan nongkrong, doyan ngopi, bangga sama produk sendiri, akhirnya membuat pertumbuhan kedai kopi semakin banyak dan jumlah orang yang nongkrong makin lama makin banyak," lanjutnya.

Gaya Hidup Semata

Dalam kalimat yang berbeda, Adi dan Wahyu sama-sama sepakat bahwa tempat ngopi seperti kafe dan coffee shop melahirkan simbol-simbol yang bikin image kopi semakin lekat dengan gaya hidup milenial. Bagi Adi, konsumsi kopi di kalangan milenial didasari oleh dorongan untuk terlihat kekinian.

"Kalau saya liat sekarang masih dalam fase gaya hidup. Banyak orang yang ke warung kopi sebenernya demi gaya. Belum sampai suatu kebutuhan hidup di mana bisa satu-dua gelas sehari dan dia akan jadi regular customer dan mesen banyak," Adi berujar.

Sementara itu, Wahyu berpendapat bahwa tren ngopi bisa mewakili dua sisi milenial. Yang pertama, adalah sisi mereka yang santai, namun selalu siap menghadapi segala sesuatu dalam hidup. Sedangkan yang kedua adalah sisi mereka yang serius dan mapan. Selain itu, mengonsumsi kopi di kafe juga menandakan kelas sosial tertentu.

"Dewasa ini, meminum kopi memuat representasi ganda. Pertama, sebagai representasi kaum profesional. Dengan kata lain, kini meminum kopi tidak bisa dilepaskan dari aktivitas produktif dan profesional harian. Kedua, sebagai simbol bohemian. Citra peminum kopi yang santai mengandaikan 'semuanya dalam kendali', tidak ada kekhawatiran," tutur Wahyu.

"Anak muda yang mengonsumsi kopi di cafe bukan untuk kopi itu sendiri, tetapi sekadar untuk diunggah di media sosial, check in, atau agar seolah merepresentasi kelas sosial tertentu. Besar kemungkinan bakal terjebak pada gaya hidup konsumtif dan boros," pungkas Wahyu. 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait