9 Puisi Romantis Sapardi Djoko Damono 'Yang Fana Adalah Waktu'
Jakarta – Indonesia baru saja kehilangan salah satu penyair romantisnya, Sapardi Djoko Damono. Sastrawan yang meninggal di usia 80 tahun tersebut telah banyak menciptakan karya-karya sastra yang luar biasa.
Sebagaimana sastrawan lainnya, Sapardi memiliki ciri khas tersendiri yang menjadi candu bagi setiap penikmat karyanya.
Pencipta “Hujan Bulan Juni” tersebut terkenal dengan penggunaan diksi yang sederhana namun memiliki makna yang dalam.
Meski demikian, mengutip salah satu karyanya, “Yang Fana Adalah Waktu”, sementara karya-karya Sapardi, tetap abadi.
Untuk kalian pecinta puisi romantis, Urbanasia telah merangkumkan 9 karya Sapardi yang menyentuh hati:
Salah satu karya Sapardi Djoko Damono. (gramedia.com)
1. Aku Ingin
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
2. Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta
“Mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
mencintai-Mu
harus menjelma aku.”
3. Pada Suatu Hari Nanti
“Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.”
4. Hanya
“Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu.”
5. Dalam Doaku
“Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di
ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang
tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
dalam magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
perlahan dari nun jauh di sana, bersijingkat di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh- nyentuhkan
pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang
dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah
batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak pernah selesai
mendoakan keselamatanmu.”
6. Menjenguk Wajah di Kolam
“Jangan kauulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.
Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.
Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.
Baik, Tuan.”
7. Tentu. Kau Boleh
“Tentu. Kau boleh mengalir
di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.
Tetapi jangan sekali-kali
pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan percintaan ini
Sampai huruf terakhir
sajak ini, Kau-lah yang harus
bertanggung jawab
atas air mataku.”
8. Sajak Tafsir
“Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu.
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.”