URtainment

Fenomena Hikikomori, Wujud Depresi Orang Muda Jepang Dengan Mengurung Diri

Itha Prabandahani, Sabtu, 29 Februari 2020 16.00 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Fenomena Hikikomori, Wujud Depresi Orang Muda Jepang Dengan Mengurung Diri
Image: istimewa

Jakarta - Tuntutan kehidupan sosial yang sangat tinggi, seringkali membuat banyak orang di Jepang merasa tertekan. Utamanya para generasi muda.

Ditengarai jutaan orang muda berusia 18-35 tahun di Jepang, terjebak dalam depresi mendalam. Mereka mengurung diri di kamar selama bertahun-tahun, sebagai bentuk pengasingan dirinya terhadap kehidupan sosial. Mereka ini disebut Hikikomori atau orang yang menarik diri dari kehidupan.

Jumlahnya Mencapai Jutaan Orang

Seorang Psikolog yang meneliti fenomena Hikikomori, Tamaki Saito mengatakan bahwa fenomena ini sangat umum di Jepang. Jumlah Hikikomori diperkirakan mencapai lebih dari 1 juta orang. Bahkan, tidak hanya di Jepang, fenomena serupa juga terjadi di negara lain seperti Amerika, Italia, Korea Selatan, dan Inggris, di mana para generasi muda merasa kewalahan dengan standar umum kesuksesan finansial. “Banyak orang menganggap Hikikomori adalah orang yang malas atau orang yang berbahaya, tapi sebenarnya tidak seperti itu,” jelas Saito seperti dikutip BBC One.

Baca Juga: Fenomena Crosshijaber, Apa Sih Motif Sebenarnya?

Belum Diakui Sebagai Penyakit Mental

Para Hikikomori ini mengurung dirinya karena berbagai alasan, seperti marah dengan dirinya sendiri, orang tuanya, atau masyarakat, merasa gagal, dan tidak tahan dengan tuntutan sosial. Hal ini membuat mereka merasa sangat tidak bahagia dan kehilangan jati dirinya.

Sayangnya, kondisi ini belum diakui sebagai sebuah penyakit mental atau psikologis, sehingga belum ada penanganan yang khusus secara medis. Para orang tua dengan anak Hikikomori, biasanya juga merasa malu untuk mengakui bahwa ada anggota keluarganya yang mengalami hal ini.

Kakak Sewaan

Karena belum ada tindakan medisnya, para orang tua mencari cara alternatif untuk mengatasi para Hikikomori, yaitu dengan membayar seseorang untuk menjadi “kakak”. Kakak sewaan ini dibayar sekitar ¥100,000 atau sekitar Rp 13,000,000 per bulan untuk bertemu dan berbicara dengan mereka selama beberapa jam setiap minggunya.

Baca Juga: Indonesia Alami Fenomena Hari Tanpa Bayangan, Catat Wilayah dan Waktunya!

Tidak semua Hikikomori menerima kakak sewaan ini dengan mudah. Tak jarang, butuh waktu sekitar 6 bulan hingga 2 tahun untuk bisa membuat mereka mau membuka diri kepada sang kakak. Tidak sedikit juga kasus kegagalan di mana sang kakak ditolak dan diperlakukan kasar oleh si Hikikomori.

Seorang kakak dikatakan berhasil, jika bisa membuat si Hikikomori kembali ke dunia sosial bahkan bisa hidup secara mandiri. Ayako yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi kakak, menuturkan, dirinya tidak punya metode khusus untuk menangani pasien Hikikomorinya. “Saya hanya mencoba untuk berhubungan dengan mereka secara wajar sebagai teman dan tidak berpura-pura,” jelasnya.

Akibat Dibully di Sekolah

Salah satu pasien Ayako bernama Kenta, menjadi Hikikomori karena menjadi korban bully di sekolahnya. Kenta yang kini berusia 20 tahunan, sering diejek di sekolah karena suaranya seperti perempuan dan banyak bergaul dengan perempuan. Ejekan inilah yang awalnya membuat Kenta menutup diri. Setelah berbulan-bulan berbicara dengan Ayako, Kenta kini sudah mau meninggalkan kamarnya untuk pergi ke luar, meskipun dia belum mau bekerja atau berhubungan sosial dengan orang lain.

Orang yang bekerja sebagai kakak seperti Ayako, telah menolong ribuan Hikikomori di Jepang. Namun sayangnya, diperkirakan ratusan ribu hingga jutaan orang muda masih menjalani hidupnya sebagai Hikikomori.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait