Beautydoozy

Green Beauty, Save the Planet

Ika Virginaputri, Senin, 30 Mei 2022 17.04 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Green Beauty, Save the Planet
Image: Green beauty save the planet (Foto: Hairdresserjournal)

Krisis air sudah di depan mata nih, Guys. Senada dengan PBB yang menyebut krisis air bersih di dunia pada tahun 2030, WHO dan WWF bahkan memberi peringatan lebih dini. Menurut WHO dan WWF, lebih dari 1 miliar penduduk bumi bakal kekurangan air bersih di tahun 2025.

Nggak disangka-sangka, salah satu pihak yang tergerak menanggapi hal itu adalah industri kecantikan dengan mengembangkan produk minim kandungan air. Sebagai gantinya, produk waterless itu diisi berbagai bahan aktif yang lebih efektif buat masalah kulit. Karena lebih efektif, berarti konsumen nggak perlu beli banyak produk, sehingga bisa mengurangi sampah kemasan.

Langkah ini tentu diapresiasi para aktivis lingkungan. Salah satunya Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta, Suci Fitriah Tanjung. Menurut Suci, organisasi yang dipimpinnya sudah menerima laporan masalah kekurangan air bersih, khususnya dari warga Jakarta Utara.

“Jakarta udah krisis (air bersih) dan ada kajian bahwa air 50 meter di bawah tanah itu sudah terkontaminasi bakteri dan logam-logam berat,” papar Suci kepada Urbanasia.

“Disedot untuk kebutuhan industri dan itu sudah menurunkan tanah Jakarta sampai 4-12 meter. Sekarang kan pemerintah lagi ngeluarin aturan pelarangan penyedotan air tanah,” lanjut Suci.

1653904847-SuciTanjung.jpgSumber: Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta (Foto: Dok pribadi)

Suci memberi gambaran, dengan tingkat aktivitas yang tinggi, satu warga Jakarta bisa menghabiskan 60 hingga 150 liter air per hari. Jadi jika ada upaya penghematan air lewat produk waterless, menurut Suci, ini adalah hal yang positif karena sedikit banyak pasti akan menghasilkan dampak.

“Jadi, kalau ada produk yang bisa digunakan dengan sedikit air, manfaatnya buat konsumen menurut saya, tidak terlalu banyak konsumsi air yang digunakan,” kata Suci.

“Kalau ada produk-produk semacam itu, sedikit banyak pasti ada efeknya juga. Mungkin pencemarannya akan berkurang, penggunaan air juga akan berkurang di tengah krisis. Apalagi BPBD udah bilang nih, beberapa bulan ke depan kita akan masuk ke musim kering. Jadi potensi kelangkaan air juga akan terjadi,” jelas Suci.

Mulai Bahan Hingga Proses Produksi

Suci mengapresiasi konsumen zaman sekarang yang sudah makin peduli akan isu lingkungan hidup. Namun, tak berhenti di situ, kita juga mesti lebih teliti dan kritis lagi, Guys. Nggak hanya memperhatikan kandungan dari produk, namun juga sampai proses produksinya.

“Kalau mau dilihat dari trennya, kita harus positif dulu, nih. Artinya, sudah ada concern dari konsumen untuk memilih produk yang ramah lingkungan,” kata Suci.

“Walaupun kemudian kita perlu menguji lagi apakah itu betul-betul ramah lingkungan. Karena bicara lingkungan hidup kan spektrumnya luas. Artinya dalam proses konsumsi, akan sangat merepotkan kita sebagai konsumen untuk melihat ingredients sampai proses produksinya,” lanjutnya.

Saking luasnya spektrum lingkungan hidup, Suci menambahkan bahwa di kalangan aktivis sendiri pun klaim ramah lingkungan dalam suatu produk masih menjadi bahan perdebatan. Suci mencontohkan kendaraan listrik yang walau nggak menggunakan fossil fuel sebagai bahan bakar, namun bahan pembuatan baterainya yang dari lithium dan aluminium ternyata juga bisa merusak lingkungan. Contoh lain adalah penggunaan minyak sawit sebagai salah satu bahan di sebuah produk kecantikan.

“Di Eropa, konsumsi minyak sawit udah nggak ada di sana. Lebih banyak ke minyak bunga matahari atau biji-bijian lain,” kata Suci.

“Minyak sawit kan produk turunannya banyak banget, termasuk kosmetik-kosmetik. Misalnya produk itu nggak water-based, tapi kalau masih menggunakan minyak sawit, ternyata sawit juga punya masalah lingkungan hidup. Selain deforestasi, kajian akademisi dan aktivis-aktivis lingkungan mengatakan sawit itu sangat rakus air. Itu yang membuat lahan gambut di Kalimantan jadi sangat kering,” tuturnya.

Itulah kenapa kita harus lebih kritis lagi sebagai konsumen, Guys. Nggak cukup hanya dengan melihat bahan dasar suatu produk, kita juga harus mencermati proses produk itu dari hulu ke hilir. Mulai dari mencermati bahan dasar, proses bikinnya, sampai produk itu dijual ke pasaran. Suci juga berharap, produk green beauty yang lagi digemari, bisa membuat produsen lebih transparan. Soalnya nggak sedikit produsen yang memanfaatkan tren green lifestyle demi profit.

“Karena tren green konsumen naik, memang banyak sekali label-label green di produk konsumsi dan itu jadi bahan promosi buat produsen untuk bisa meluaskan pasarnya,” Suci memberi gambaran.

“Tapi kalau mau diperiksa lagi, green-nya itu cuma ala-ala aja. Pokoknya yang penting di permukaan oke, tapi ketika dicek lagi, ternyata banyak implikasinya ke lingkungan hidup,” lanjutnya.

Refill, Reduce, Reuse dan Recycle 

Suci mengakui memang nggak mudah untuk membuat sebuah produk ramah lingkungan. Misalnya bicara soal sampah kemasan. Melansir laman Forbes, industri kecantikan memproduksi sedikitnya 120 miliar kemasan setiap tahun. Dari jumlah tersebut, sebagian besar nggak didaur ulang. Suci nggak menampik biaya produksi akan lebih murah jika produsen memakai kemasan baru dibanding harus melewati proses daur ulang. Makanya Suci juga mengapresiasi brand yang mengkampanyekan program refill, reduce, reuse dan recycle ke masyarakat. Salah satunya dengan mengajak konsumen mengembalikan kemasan kosong jika produk sudah habis terpakai.

“Untuk produk-produk kecantikan, dari iklan-iklan yang ditayangkan, saya sudah lihat ada upaya menuju ke situ. Misalnya konsumen diminta mengembalikan kemasan sehingga bisa didaur ulang. Memang hanya sebagian kecil, tapi paling tidak, upaya itu sudah ada dan perlu diapresiasi. Walaupun belum masif, tapi pemerintah harus bisa menggenjot itu. Kan sudah diatur dalam perundang-undangan kita. Jadi, tinggal bagaimana kita punya itikad baik, saling mengawasi, saling bertanggung jawab, sesuai ranahnya masing-masing,” kata Suci.

Edukasi Masyarakat

Di Indonesia, meski kampanye ramah lingkungan ramai disuarakan banyak pihak, namun nyatanya masih butuh edukasi yang gencar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan hidup.

“Ini kekurangan pemerintah kita. Partisipasi masyarakat kurang, ruangnya sangat terbatas,” ungkap Suci soal edukasi lingkungan.

“Menurut saya, yang pertama perlu ditingkatkan adalah awareness-nya dulu. Bukan pekerjaan mudah, Jepang saja butuh dua generasi untuk mengelola sampah dengan baik. Tapi artinya dalam dua generasi itu sudah menyiapkan kebijakan yang baik, dan pada praktek di lapangan juga terus menerus tidak programatik. Memang tugas pemerintah untuk mengedukasi masyarakat. Semua pihak harus dilibatkan, bahkan sampai ke RT-RT,” usul Suci. 

Suci juga mengimbau agar kita ambil bagian dalam edukasi gaya hidup ramah lingkungan ini. Salah satu caranya dengan banyak mencari informasi soal isu lingkungan.

“Kita memang ngomongin kosmetik nih, tapi pengetahuan kita terhadap yang lain juga perlu ditambah,” Suci menyarankan.

“Kritisnya jangan asal beli produk ya. Di Belanda, orang kalau masuk ke supermarket yang dilihat pertama ketika mencari produk adalah komposisi bahannya. Kemudian dilihat juga perjalanan dari produk itu. Jadi, sangat kritis. Gerakan konsumen yang seperti ini juga akan mendorong produsen karena dia pasti lihat pasar, kan? Ketika pasarnya sangat kritis, mereka juga pasti akan berhati-hati untuk bisa memperbaiki produknya dan menghasilkan produk-produk ramah lingkungan,” pungkas Suci.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait