Cerita Pembaca: Putus karena Dapat Kerja dengan Gaji Lebih Tinggi dari Pacar
Jakarta - Dengan penuh semangat gue mengabari Ridho, calon suami gue melalui Whats App. Gue ingin berbagi kebahagiaan dengannya bahwa gue baru saja ditawari sebuah pekerjaan dengan gaji yang cukup menggembirakan.
Gue sudah membayangkan Ridho akan senang karena dengan gue bekerja, rencana pernikahan kami dapat lebih cepat terwujud. Hal itu karena gue bisa membantunya menabung untuk biaya pernikahan.
Pekerjaan ini sudah lama gue nanti-nantikan. Sebelumnya gue memang sudah bekerja tapi gue kena pemutusan hubungan kerja (PHK) saat pandemi COVID-19 tahun 2020 lalu.
Sejak itu, gue belum mendapat pekerjaan lagi. Padahal gue nggak pilih-pilih kerjaan. Mungkin memang belum rezeki saja. Maka ketika siang ini gue mendapatkan telepon dari sebuah kantor dan menawari gue kontrak kerja, gue begitu senang.
Apalagi, pekerjaan yang ditawarkan ke gue adalah pekerjaan yang selalu gue idam-idamkan. Tanpa terlalu pikir panjang, gue pun menerima pekerjaan itu dan segera memberitahu kepada Ridho.
“Alhamdulillah aku dapat tawaran pekerjaan, akhirnya,” tulis gue di Whatsapp.
Tak lama, Ridho pun membalas pesanku. “Oh iya, akhirnya dapat dari mana?” tanya dia.
“Di kantor yang kemarin, yang aku interview terakhir itu. Alhamdulillah banget. Gajinya juga bagus. Aku dapat Rp 8 juta belum termasuk uang makan dan transport. Alhamdulillah,” tulis gue yang terus menerus mengucap syukur.
“Nggak usah diambil, gajinya gede banget. Aku aja gajinya cuma Rp 5,5 juta, masak kamu Rp 8 juta. Nanti apa kata orang,” tulis Ridho.
Beberapa detik gue tak bisa berkata-kata. Gue tak percaya kalimat semacam itu ditulis oleh Ridho. Dia menyuruh gue tidak mengambil pekerjaan karena gajinya lebih besar dari gaji dia.
Logika macam apa itu? Bukankah harusnya dia mendukung gue dengan pekerjaan baru dan gaji yang lumayan itu? Bukankah harusnya dia senang karena gaji gue lumayan sehingga kehidupan kami nanti ketika berumah tangga akan lebih baik?
“Ngapain kamu gajinya tinggi-tinggi? Lagian nanti juga kalau nikah bakalan resign dan jadi ibu rumah tangga,” tulis Ridho lagi.
Lagi-lagi gue terdiam dengan jawaban Ridho. Gue tidak tahu harus menjawab apa karena kalimat-kalimat tersebut sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran gue akan keluar dari Ridho.
“Tapi kan sayang kalau nggak ambil pekerjaan itu. Pekerjaan itu benar-benar yang aku inginkan selama ini dan sekarang aku dapat. Masak nggak diambil?” jawabku.
“Lagipula, tadi aku sudah bilang kalau aku menerima pekerjaan itu,” lanjut gue.
Mendengar jawaban itu, Ridho langsung marah. “Kenapa kamu menerima pekerjaan tanpa ngobrol dulu, aku ini calon suami kamu. Masak nggak tahu???” katanya.
Gue mencoba membela diri bahwa menerima pekerjaan bukan hal yang buruk. Lagipula, pekerjaannya di dalam kota sehingga gue tak perlu pindah keluar kota jika mengambil pekerjaan itu.
"Jadi seharusnya kan nggak masalah,” kata gue lagi.
Namun Ridho tetap marah. Dia mengatakan bukan soal pekerjaannya yang bikin dia keberatan, tapi soal gajinya yang lebih besar dari gajinya. Dan dia menekankan bahwa dia tidak mau kalau gue bekerja dengan gaji lebih besar dari dia.
“Pokoknya kalau kamu mengambil pekerjaan itu, kita putus ya. Aku nggak mau punya calon istri pembangkang kayak kamu,” kata Ridho.
Air mata gue sudah menggenang dan siap mengalir di pipi. Gue benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir Ridho. Gue lalu mengajak Ridho bertemu untuk membicarakan hal ini dengan baik-baik.
Malam harinya, kamu bertemu di sebuah tempat makan di dekat rumah. Muka Ridho terlihat masam saat pertama kali melihat gue. Gue pun mencoba tersenyum tapi tidak dibalas.
Dalam pertemuan itu, Ridho tetap ngotot agar gue tidak menerima pekerjaan itu. Dia mengaku malu kalau memiliki gaji yang lebih kecil daripada gue.
“Kamu nanti pasti jadi merasa lebih punya power karena punya gaji lebih besar,” katanya.
“Enggaklah, justru kalau aku punya gaji besar, rencana-rencana kita akan lebih cepat terwujud. Nggak usah berpikir macam-macam,” kata gue.
Namun Ridho tetap pada pendiriannya. Dia mengatakan tidak ingin memiliki istri yang memiliki penghasilan lebih besar. Dia pun memberi gue pilihan, Ridho atau pekerjaan itu.
Gue benar-benar tidak bisa memilih karena keduanya penting bagi gue. Karena diskusi kami deadlock alias tak menemukan titik temu, gue pun meminta waktu untuk memikirkan hal itu.
Gue pulang ke rumah dengan hati galau. Orang tua gue yang melihat raut wajah gue pun bertanya. “Kamu kenapa, kok pulang-pulang loyo,” kata Bapak yang sedang duduk di teras rumah.
Gue pun duduk lunglai di sebelah Bapak. “Sani dapat pekerjaan, Pak. Gajinya Rp 8 juta belum termasuk uang makan dan uang transport,” jawabku yang disambut sumringah Bapak.
“Wah, bagus dong. Tapi kenapa mukamu kayak orang sedih begitu?” tanya Bapak lagi.
“Ridho ternyata nggak senang Sani dapat kerja dengan gaji segitu, Pak. Kata dia, gaji Sani lebih besar dari gaji Ridho. Kata dia ngapain kerja gaji tinggi-tinggi, nanti juga jadi ibu rumah tangga,” jawabku.
Bapak menatap gue tajam. “Kok dia mikirnya gitu ya? Bapak saja yang sudah tua kayak begini, senang kalau istri punya penghasilan, kalau gajinya tinggi berarti dia bisa bagus, dong,” katanya.
“Lagipula, kamu kan belum jadi istrinya, masih ada banyak kemungkinan yang terjadi. Kalaupun kamu nanti jadi istrinya, kamu juga perlu punya penghasilan sendiri karena apa saja bisa terjadi,” lanjut Bapak.
Baca Juga: Pacaran Beda Usia, Baik atau Buruk?
Menurut Bapak, sebagai manusia biasanya, kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Sebagai perempuan, Bapak mewanti-wanti agar gue tetap bisa menghidupi diri sendiri jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu.
Gue setuju dengan pendapat Bapak. Ini bukan soal membangkang tapi semestinya Ridho mendukungku dan mungkin mengupgrade dirinya agar memiliki penghasilan yang lebih.
Besoknya, gue bertemu Ridho. Gue mengatakan akan tetap mengambil pekerjaan itu. Gue juga menyampaikan ke Ridho bahwa seharusnya hubungan kami tidak putus hanya gara-gara ini.
Tapi Ridho tetap ngotot pada keputusannya. Akhirnya kami putus dan rencana pernikahan kami pun otomatis gagal.
* Cerita ini berdasarkan kisah nyata namun demi menjaga privasi, nama-nama tokoh dalam cerita ini kami samarkan.