URguide

Dari Diporotin sampai Self-Harm, Dampak KBGO Tak Bisa Disepelekan

Ika Virginaputri, Senin, 6 September 2021 22.18 | Waktu baca 7 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dari Diporotin sampai Self-Harm, Dampak KBGO Tak Bisa Disepelekan
Image: ilustrasi korban kekerasan online (Foto: iStock)

"Ada korban yang melakukan self-harm, menyakiti dirinya sendiri. Itu yang secara fisik, yang kelihatan. Yang secara psikologis ada yang suicide thoughts, jadi kepikiran untuk bunuh diri. Bahkan, sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri, tapi gagal. Ada pula dampak ekonomi. Jadi, si korban yang kebetulan seorang influencer ini, diancam akan dirusak nama baiknya oleh pacarnya. Kemudian, pelaku memanfaatkan situasi itu dengan morotin korban. Ya, lumayan lah bisa buat beli 2 motor."

Itulah sepenggal cerita dari Amalia Rizkiyani, seorang konselor psikologi di Rifka Annisa, lembaga pendampingan perempuan korban kekerasan di Yogyakarta.

Dari perbincangan dengan Urbanasia, perempuan yang akrab disapa Lia ini membagikan sejumlah pengalamannya mendampingi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO). Selama tahun 2020, Rifka Annisa mencatat ada 37 kasus KBGO yang dilaporkan. Menurut Lia, jumlah ini lebih dari 5 kali lipat jumlah kasus-kasus KBGO di tahun-tahun sebelumnya, loh. Dengan kata lain, selama pandemi ini, kasus KBGO makin marak terjadi, bahkan udah meningkat berkali-kali lipat. Duh!

Sebagai seorang konselor psikologi, bergelut dengan kesedihan, trauma, dan kegalauan hati para korban kekerasan, udah menjadi ‘makanan sehari-hari’ buat Lia. Lia mengerti betul bahwa dampak kekerasan terhadap korban dan cara korban menghadapi permasalahannya, sangatlah tergantung dari kondisi tiap-tiap korban. Tak pernah ada satu metode dan solusi yang dapat diterapkan untuk semua orang. Karena itu, setiap konselor termasuk Lia, biasanya melakukan pendekatan secara pribadi terhadap korbannya.

1630941000-Amalia.jpgSumber: Amalia Rizkiyani, konselor psikologi lembaga pendampingan perempuan korban kekerasan, Rifka Annisa, di Yogyakarta (Foto: Dok. pribadi)

Selain konseling dan pendampingan proses hukum, konselor juga membentuk support system dari orang-orang terdekat korban, misalnya keluarga, kerabat, hingga teman. Dan yang terpenting, selalu berada di pihak korban, alias nggak victim blaming.

“Kalau konselingnya, kami menggunakan konseling dengan pendekatan feminisme. Jadi, ketika ada kasus-kasus apapun, kekerasan seksual, KBGO, jadi kita tidak victim blaming ke korban dan memahami dinamika dia sebagai perempuan yang berada di budaya patriarki yang rentan menjadi korban kekerasan,” tutur Lia.

Jika dalam kasus kekerasan fisik biasa dilakukan visum et repertum sebagai salah satu bukti terjadinya tindak kekerasan, Lia mengungkapkan bahwa dalam kasus KBGO diperlukan visum psikologikum.

“Kalau korban membutuhkan (bukti pendukung) untuk proses hukum, kami ada satu orang psikolog yang bertugas untuk mensupervisi, membuat hasil pemeriksaan psikologis atau kita sebut visum psikologikum,” kata Lia.

“Nah, visum psikologikum di kasus kekerasan berbasis gender online ini perannya penting, karena kalau kekerasan yang tidak berbasis online itu dipukul ada bekasnya. Visum psikologikum perannya seperti itu, cuma bedanya secara psikis. Ada nggak sih, dampak-dampak psikologis yang dialami si korban kekerasan berbasis gender online ini?” lanjut Lia.

Lebih lanjut, Lia menjelaskan bahwa dampak psikologis yang sering dialami korban antara lain stres, depresi, mengalami kecemasan berlebihan, mengalami halusinasi, gangguan tidur, hingga penurunan berat badan yang drastis.

Ketika dampak psikologis yang dialami korban sangat besar dan tidak bisa diselesaikan dengan konseling, maka langkah selanjutnya adalah membawa korban untuk menjalani terapi psikologi, hingga berkonsultasi dengan psikiater.

Dampaknya Nyata

Sementara itu, menurut psikolog Lucy Savitri, meski dilakukan melalui media, dampak KBGO nggak jauh beda sama kekerasan fisik, loh. Pasalnya, efeknya juga dirasakan secara langsung dan nyata oleh korban.

“Sebenarnya KBGO juga memang terjadi di dunia nyata, loh. Bukan berarti karena kekerasannya dilakukan secara virtual atau online, maka dianggap tidak nyata. Padahal, dampaknya bisa dirasakan dengan jelas dan secara langsung bagi si korban, apalagi di era online seperti saat ini,” ucap Lucy.

1630941217-Lucy.jpgSumber: Psikolog Lucy Savitri mengungkapkan, dampak psikologis KBGO tak bisa dianggap remeh karena sama dengan kekerasan yang terjadi di dunia nyata (Foto: Dok pribadi)

Menurut Lucy, dampak psikologis korban KBGO sangat beragam, tergantung kedalaman kasus serta kondisi pribadi masing-masing korban. Bentuk perilaku yang mungkin muncul antara lain kecemasan, isolasi diri, bungkam, menyerahkan diri pada kontrol, ketakutan dan trauma, depresi, bahkan hingga bunuh diri.

Tentunya, hal tersebut tidak serta merta langsung muncul setelah korban mengalami kekerasan. Dampaknya bisa meningkat seiring akumulasi dari pengalaman yang didapatkan, wawasan yang dimiliki, serta bagaimana lingkungan sekitarnya merespons peristiwa ini.

Perlu Dukungan Orang Terdekat

Nah, ngomongin tentang respons lingkungan nih. Sayangnya, masih banyak tuh dari kita-kita yang nggak teredukasi secara baik tentang gimana sih caranya menanggapi korban kekerasan. Contohnya, masih banyak loh dari kita yang melakukan victim blaming, nge-spill cerita kekerasan orang lain di media sosial tanpa ijin, maupun mengungkap jati dari pelaku secara tidak hati-hati. Akibatnya, banyak yang jadi tersandung kasus hukum, menghadapi risiko cyber bullying, hingga memperparah kondisi si korban. Padahal, korban membutuhkan dukungan dan keadilan, loh. Tapi, dalam banyak kasus, justru korban malah disalahkan, dihakimi, diintimidasi, bahkan dikriminalisasi. Alhasil, makin parah deh kondisi psikologisnya.

Terus, sebagai circle terdekat korban, gimana sih kamu bisa membantu? Menurut Lucy, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan, saat orang terdekatmu mengalami KBGO.

Pertama, kamu bisa menunjukkan dukungan dengan cara menerima dia apa adanya. Buat dia merasa nyaman untuk menceritakan pengalaman sekaligus menyalurkan perasaan. Hadirlah untuk mendengarkan, tanpa judgement!

Kedua, bantulah dia untuk melindungi diri dari si pelaku. Caranya, kamu bisa mulai dari menutup semua akses yang memungkinkan pelaku untuk berinteraksi dengan korban. Blok akun media sosialnya, jangan berikan kesempatan untuk berbicara apalagi bertemu. Lindungi korban secara online maupun offline.

Ketiga, bantu korban menghadapi masalah ini. Coba diskusikan bentuk bantuan yang bisa kamu lakukan. Ajak korban untuk berpikir rasional tentang keadaan yang sedang dihadapinya. Bantu korban untuk mendokumentasikan secara detail kejadian yang dialami, serta coba cari bantuan profesional dan melaporkannya kepada pihak berwajib. Dengan begitu, korban tidak akan merasa sendiri dan lebih nyaman dalam menyelesaikan masalah ini.

Di sisi lain, meski tindak kekerasan berbasis online terbukti berdampak serius, nyatanya nggak semua kasus KBGO bisa dimejahijaukan loh, guys. Komnas Perempuan mencatat, selain karena lemahnya payung hukum di Indonesia, kasus KBGO sering mandeg gara-gara kurangnya alat bukti. Alhasil, dari ratusan kasus KBGO yang dilaporkan, jumlah kasus yang berhasil masuk ke jalur hukum dan menjerat pelaku hanya segelintir.

Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendampingan korban kekerasan, menurut Lia dan Lucy, ada beberapa hal yang perlu dilakukan korban saat mengalami KBGO, yaitu:

1. Mengumpulkan bukti pendukung.

Bukti kekerasan atau pelecehan akan diperlukan untuk membawa kasus ini ke jalur hukum. Karena itu, kalau kamu menerima foto-foto yang tidak senonoh, jangan dihapus. Kalau kamu menerima ancaman lewat chat, simpanlah tangkapan layar yang berisi pesan ancaman, termasuk tanggal pesan tersebut dikirimkan. Selain itu, untuk membantu penyelidikan, kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang latar belakang si pelaku, seperti nama, alamat, tempat kerja atau kuliah, dan lain-lain.

2. Hati-hati jika ingin nge-spill cerita kekerasan yang dialami.

Sebelum membagikan cerita KBGO di media sosial, kamu perlu menyadari beberapa risiko yang mungkin muncul. Seperti, risiko bahwa kita dilaporin balik sebagai pencemaran nama baik, hujatan dan penghakiman dari netizen, serta orang-orang yang victim blaming. Selain itu, tentu saja pengalaman pahit yang sangat pribadi itu akan terekspos.

3. Dekatkan diri pada circle yang positif dan mendukung.

Menjadi korban kekerasan tentunya akan memengaruhi kondisi psikologismu. Karenanya, dekatkan diri pada keluarga, sahabat, atau orang-orang yang bisa kamu percaya. Dukungan dari orang terdekat akan mempercepat pemulihan kondisimu secara psikologis.

4.  Speak up.

Kekerasan dan pelecehan nggak boleh dibiarkan. Karena itu, speak up! Minimal, ceritalah sama orang yang bisa kamu percaya. Lalu, carilah bantuan profesional untuk mendapatkan pendampingan langkah-langkah selanjutnya.

5. Terus mengedukasi diri sendiri.

Saat menghadapi kekerasan, terus perkaya diri dengan berbagai informasi yang mendukung. Carilah informasi dari sumber yang terpercaya, baik dari media masa, podcast, YouTube, saluran informasi digital, maupun grup-grup pendampingan dengan aplikasi.

6. Lakukan Self-healing.

Maafkan diri sendiri dan terima dengan lapang dada apa yang sudah terjadi. Selanjutnya, fokus pada hal yang membuat kamu merasa nyaman dan bahagia. Cobalah untuk membangun lagi harapan, mimpi dan cita-cita yang ingin kamu capai. Kamu masih berharga!

Yang tak kalah pentingnya, kamu mesti bisa melindungi diri dari risiko KBGO, guys. Salah satunya dengan cerdas dalam menyaring informasi di internet. Pahami bahwa penyalahgunaan serta rekayasa data di internet sangat mungkin terjadi. Sehingga, informasi yang kita dapat tidak selalu benar.

Selain itu, bersikap selektif dalam memilih pertemanan di dunia maya. Hindari berteman dengan orang yang menggunakan fake account, nggak jelas asal usulnya, nggak pernah diketahui di mana posisinya, dan sebagainya. Juga, jangan mudah percaya dengan rayuan atau iming-iming, untuk mengirimkan hal-hal pribadi seperti data diri hingga foto-foto diri.

 

* Apabila saat ini Urbanreaders mengalami depresi atau keinginan bunuh diri, jangan putus asa. Depresi dan gangguan kejiwaan dapat pulih dengan bantuan profesional kesehatan mental. Jangan ragu untuk menghubungi layanan profesional demi kesehatan mental yang lebih baik.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait