Sisi Gelap Kekerasan Gender: Menanti Keadilan bagi Korban

Jakarta - Kekerasan adalah tindak kejahatan. Sayangnya, nggak semua tindak kekerasan di Indonesia bisa dihukum. Bahkan, tak sedikit kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) diselesaikan dengan jalur non-hukum. Namun, apakah penyelesaian ini cukup memberikan keadilan buat si korban?
Dalam Catatan Tahunan yang dirilis Maret 2021, Komnas Perempuan mencatat adanya kenaikan aduan kasus KBGO yang dilaporkan. Dari 241 kasus di 2019, jumlahnya naik menjadi 940 kasus di tahun 2020.
Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani menuturkan, dari ratusan kasus tersebut, sangat sedikit yang bisa diproses secara hukum. Pasalnya, tidak ada dasar hukum yang bisa dijadikan alat untuk menjerat si pelaku.
“Banyak kasus KBGO diselesaikan dengan jalur non-hukum. Keterbatasan payung hukum yang melindungi dan memberikan akses keadilan bagi korban, menjadi kendala dalam proses penyelesaian melalui jalur hukum,” ungkap Tiasri kepada Urbanasia.
Sumber: Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024 (Foto: Dok pribadi)
Lemah Landasan Hukum
Tiasri menjelaskan sejumlah kendala yang dihadapi dalam proses penyelesaian kasus KBGO, yaitu lemahnya alat bukti dan potensi kriminalisasi terhadap korban. Selain itu, perspektif aparat penegak hukum dan masyarakat yang masih menyalahkan korban, juga menjadi penghalang bagi tegaknya hukum yang seharusnya bisa melindungi kepentingan korban.
Akibatnya, kendala tersebut menjadi hambatan bagi korban dan pendamping untuk menempuh penyelesaian kasus dengan litigasi.
Kepala Subdivisi Digital At-Risks di SAFEnet, Ellen Kusuma, juga mengamini bahwa Indonesia belum punya payung hukum untuk kekerasan seksual yang komprehensif. Menurut Ellen, saat ini payung hukum yang ada hanya mampu menjerat pelaku yang melakukan kekerasan secara fisik. Padahal, ada banyak bentuk kekerasan lain yang tak kalah berbahaya, seperti kekerasan verbal di dunia maya.
"Di Indonesia sampai saat ini kita belum memiliki perangkat hukum terkait pelecehan seksual secara verbal. (Hukum) Yang ada di Indonesia saat ini, pelecehan seksual dalam bentuk pencabulan atau pemerkosaan yang sifatnya sangat physical. Tidak memperhatikan bahwa kekerasan itu macem-macem, tidak hanya physical," ucap Ellen.
Karenanya, baik Ellen maupun Tiasri setuju bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sudah digagas sejak tahun 2012, sebaiknya segera disahkan. Jika tidak, kasus-kasus kekerasan seksual seperti KBGO hanya akan menggantung dan menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung terselesaikan.
Tak hanya untuk melindungi korban sekaligus menghukum pelaku, Psikolog Lucy Savitri pun ikut mengungkapkan dampak negatif dari minimnya landasan hukum tersebut.
Menurut Lucy, tidak adanya hukum yang bisa membuat pelaku kapok melakukan kekerasan, berakibat pada munculnya anggapan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan adalah hal yang biasa.
"Karena belum ada hukumnya dan belum prioritas, KBGO yang muncul dalam pergaulan sehari-hari akhirnya menjadi hal yang dianggap biasa," ujar Lucy kepada Urbanasia.
"Terkait kejahatan siber, kita tetap bisa melaporkannya walaupun tidak semua orang tahu bahwa KBGO dapat dilaporkan. Dalam beberapa kasus juga bisa dikaitkan dengan UU ITE, seperti peretasan data dan penyebaran konten pornografi. Tentunya dengan tidak adanya payung hukum yang pasti, serta sistem pengawasan siber yang memadai, membuat pengawasannya menjadi lebih sulit," lanjut Lucy.
Meningkat Selama Pandemi
Tak hanya Komnas Perempuan, lembaga pendampingan korban kekerasan Rifka Annisa, juga menyoroti naiknya aduan kasus KBGO, khususnya selama pandemi.
Konselor psikologi di Rifka Annisa, Amalia Rizkiyani, menyebutkan adanya 37 kasus KBGO yang ditangani lembaganya selama tahun 2020. Jumlah ini terbilang naik secara signifikan dari tahun-tahun sebelumnya, yang masih dalam hitungan jari.
"Ini jumlahnya jelas nambah drastis, karena di tahun-tahun sebelumnya paling cuma kayak lima atau empat (kasus). Nggak pernah sampai sepuluh (kasus). Tapi pas tahun 2020 naiknya jadi 37 kasus gitu," ujar perempuan yang akrab disapa Lia.
Dari 37 kasus tersebut, Lia menyebut hanya ada 2 kasus yang berhasil maju ke persidangan. Dua-duanya terkait penyebaran konten intim non-konsensual, yang merupakan kasus KBGO terbanyak yang dilaporkan kepada Rifka Annisa.
Minim Bukti
Lia juga menjelaskan bahwa kasus lain akhirnya tidak bisa dibawa ke ranah hukum karena ‘hanya’ berupa ancaman, belum ada penyebarannya.
"Kalo yang lain itu tidak banyak yang masuk ke hukum karena biasanya belum disebar (kontennya). Jadi bentuknya baru berupa ancaman gitu. Korban yang (konten intimnya) sudah disebar, itu yang biasanya baru bisa lapor dan ditindaklanjuti," kata Lia.
Lia juga mengakui bahwa minimnya bukti dalam pelaporan kasus KBGO bukan saja jadi kendala dalam proses hukum, namun juga jadi tantangan buat pendampingan korban. Banyak KBGO terjadi karena korban tak punya literasi digital yang memadai, sehingga konselor harus mengedukasi mereka.
"Masalah pendampingan di KBGO yang teknis itu kebanyakan nggak ada buktinya. Jadi, misalnya kita diancam di chat, wah ancamannya banyak banget. Tapi, karena kita stres dengan ancaman itu, akhirnya (pesannya) dihapus. Jadi, nggak ada jejak digital yang tersisa di ponsel,” papar Lia.
Padahal, lanjut Lia, untuk dapat diproses secara hukum, korban harus menyertakan bukti berupa jejak digital tersebut.
Kendala lain yang sering dihadapi dalam kasus KBGO adalah minimnya informasi tentang pelaku. Tak jarang, pelaku menggunakan fake account atau akun palsu, di mana tidak ada informasi akurat seputar identitas pelaku. Dengan begitu, pelaku sulit dilacak keberadaannya dan polisi juga kesulitan untuk menangkap si pelaku.
Jadi Korban Dua Kali
Celah hukum dalam KBGO ini telah membuat siapapun yang mengalaminya menjadi korban dua kali. Tengok saja kasus selebgram, Revina VT. Revina yang mengaku sering jadi sasaran KBGO juga mengisahkan pengalamannya pahitnya saat melaporkan kasus pelecehan yang diterimanya.
"Aku pernah berhubungan dengan hukum tentang pelecehan seksual yang nggak end up really well. Jadi, aku tahu gimana sih hukum di Indonesia tentang korban pelecehan seksual. Aku tahu banget," ujar Revina.
"Nah, pertanyaan polisi selanjutnya adalah 'Lu cuma dikirimin foto (tidak senonoh), emang lu rugi apa?' Tanpa nyadarin kayak betapa jijiknya kita, betapa bersalahnya kita, kayak gue pake baju apa, nih? Gue ngapain lagi nih, sampai gue berhak dapet pelecehan kayak gini? Aku udah pernah kayak gitu. Aku dateng (melapor) dan ujung-ujungnya nggak cukup bukti, nggak ada saksi, nggak ada kerugian material apa-apa, dan segala macemnya. Pembuktiannya susah banget," papar Revina.
Berangkat dari pengalaman kurang menyenangkan tersebut, Revina yang merupakan lulusan Fakultas Hukum sebuah kampus di Surabaya itu, menyelesaikan kasus pelecehan yang diterimanya dengan caranya sendiri. Menurutnya, selama belum ada dasar hukum yang jelas untuk melindungi korban, sanksi sosial bisa diterapkan untuk membuat jera si pelaku.
"Sebelum ada hukum yang melindungi para korban, permalukan aja si pelaku. Lakukan apa yang lu bisa untuk ‘menghukum’ pelaku. Kita harus bener-bener sadar bahwa kekerasan seksual berbasis online itu ada. Dan bukan salahnya siapa-siapa selain salahnya pelaku. Jadi, tolong jangan salahkan korban," pungkas Revina.