URguide

Hindari Hustle Culture, Ini Aturan Kerja Layak dan Adil

Ika Virginaputri, Kamis, 20 Januari 2022 13.10 | Waktu baca 7 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Hindari Hustle Culture, Ini Aturan Kerja Layak dan Adil
Image: ilustrasi orang bekerja (Foto Alamy)

Gaya hidup hustle culture yang super sibuk dan serba cepat ternyata nggak lepas dari sistem kerja yang dibuat perusahaan, guys. Sebagai bawahan, terkadang pegawai cuma bisa pasrah mengikuti aturan perusahaan. Padahal, belum tentu juga perusahaan mengikuti aturan ketenagakerjaan yang disusun pemerintah. Hal itu disampaikan oleh Arif Novianto, pengamat kebijakan publik dan peneliti muda Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 

Menurut Arif, hustle culture tak lain merupakan upaya perusahaan untuk mengeksploitasi karyawan demi keuntungan besar. Salah satu contohnya yaitu perusahaan yang sering 'memaksa' karyawan bekerja overtime di luar jam kerja yang diatur pemerintah. Soalnya menurut pasal 77 Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, 40 jam adalah maksimal durasi kerja per minggu. 40 jam tersebut bisa dibagi 7 jam selama 6 hari atau 8 jam dalam 5 hari. Aturan tersebut adalah standar kerja layak yang dicetuskan organisasi buruh internasional, ILO, yang kemudian diterapkan oleh pemerintah negara-negara di dunia. Atas nama kemanusiaan, Arif berpendapat setiap perusahaan wajib banget mengikuti aturan kerja layak ini.

"UU Ketenagakerjaan memuat poin-poin dalam konsep kerja layak yang diusung oleh International Labor Organization, ILO," ujar Arif saat diwawancara Urbanasia. "Kenapa kerja layak ini penting diterapkan? Karena menilai bahwa aktivitas kerja jangan sampai kemudian membuat dehumanisasi bagi pekerja. Hingga kemudian diatur bagaimana agar aktivitas kerja tetap bisa seiring atau sejalan dengan kehendak, keinginan atau cita-cita dari manusia itu," lanjut pria 29 tahun ini.

1642659076-Arif-N.jpgArif Novianto, peneliti di Institute of Governance and Public Affairs atau IGPA (Foto: Dok pribadi)

Yap. Jaman modern memang udah nggak selayaknya ya guys, ada perbudakan atau kerja paksa dalam bentuk apapun. Makanya aturan ketenagakerjaan juga mewajibkan pengusaha memenuhi hak-hak karyawan. Selain jam kerja yang masuk akal, hak-hak karyawan juga meliputi upah minimum, upah lembur jika harus bekerja di luar jam kerja, hak cuti, serta jaminan kesehatan atau kondisi kerja yang meminimalisasi adanya kecelakaan. 

Perusahaan mungkin memberikan hak-hak tersebut, namun tetap saja terkadang perusahaan secara tidak langsung 'menyiasati' aturan agar pekerjanya bekerja lebih keras dan lebih lama. Misalnya, menetapkan target yang harus dicapai si pekerja dan memberlakukan sanksi pemotongan upah jika target tersebut tidak terpenuhi. Sistem buatan perusahaan yang seperti ini lah yang menurut Arif melanggengkan hustle culture sebagai gaya hidup pekerja jaman sekarang.

"Pada konteks yang lebih ekstrem, upaya untuk membuat gila kerja kadang juga dijalankan dengan sanksi," kata Arif. "Seumpama ada target. Contoh, di bagian marketing ada target untuk menjual produk senilai 500 juta. Ketika tidak mencapai target maka upahnya akan dipotong. Sementara dia yang bekerja sampai di luar batas kerja bahkan sampai 12 jam perhari, akhirnya tidak mendapatkan upah lembur sebagai haknya atas target-target yang seringkali tidak sesuai dengan konteks undang-undang Ketenagakerjaan itu. Nah itu salah satu problem lainnya," sambung lulusan UGM jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik ini.

Revolusi Industri  

Seperti yang udah kita bahas tentang hustle culture ini, fenomena kerja berlebihan secara global sudah memakan korban jiwa hingga 745 ribu nyawa di tahun 2016. Organisasi kesehatan dunia WHO yang mengungkapkan data tersebut berpendapat bahwa trend hustle culture ini dipicu maraknya trend gig economy di zaman digital. Gig economy adalah sistem di mana perusahaan merekrut pekerja lepas yang dibayar setelah pekerjaan selesai. Jadi bukan berdasarkan gaji tetap yang dibayar bulanan seperti yang diterima pekerja kantor full time.

Gig economy idealnya bisa membuat pekerja lebih fleksibel menentukan lokasi dan waktu kerja. Namun, nyatanya bukan begitu yang terjadi di lapangan, guys. Salah satu contohnya Arif temukan lewat penelitian di tahun 2020 yang dia lakukan bersama rekan-rekannya dari UGM. Arif menemukan fakta bahwa pengemudi ojek online harus taat pada algoritma aplikasi dengan bekerja 13 jam sehari alias 87 jam seminggu. Selain itu, gig economy juga menimbulkan masalah lain. Karena hubungan perusahaan penyedia kerja dan si pekerjanya dikategorikan hubungan kemitraan dan bukan hubungan kerja, maka perusahaan jadi nggak wajib memberikan hak-hak kepegawaian seperti yang tercantum di UU Ketenagakerjaan. Maka nggak heran jika akhirnya pekerja gig economy rentan eksploitasi.

"Dalam konteks pekerjaan gig, kerja itu kan bukan berdasarkan waktu kerjanya, tapi berdasarkan layanan yang selesai mereka kerjakan. Contoh di ojol atau taksi online," Arif menjelaskan. "Mereka pengemudi dibayar bukan mereka kerja 8 jam perhari, tapi berdasarkan berapa jumlah orderan yang selesai mereka lakukan. Ini menjadi problem. Atas nama untuk mendapat pendapatan yang cukup kadang mereka harus bekerja di atas 8 jam itu. Karena ketika bekerja hanya 8 jam, bisa jadi mereka cuma dapat 5 orderan dan itu hanya sekitar Rp 50 ribu dan nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Maka mereka bekerja lebih lama lagi. Kalau dalam konteks kerja kayak gini, perlu aturan dari pemerintah untuk meregulasi agar jangan sampai kerja yang seperti ini kemudian menciptakan kondisi kerja yang rentan bagi pengemudi ojek online itu," Arif menuturkan.  

Gig economy memang istilah baru ya, guys. Perkembangan teknologi dan pergeseran model kerja yang terjadi saat pandemi bikin banyak orang mulai memilih jadi pelaku gig economy ini. Meski begitu, ini nggak berarti bahwa hustle culture adalah masalah baru, guys. Menurut Arif, budaya kerja yang merugikan pekerja ini udah terjadi bahkan sejak abad 18 ketika revolusi industri pertama mulai masuk ke Inggris. Arif bilang waktu itu bukan pekerja dewasa aja yang harus kerja overtime. Anak-anak di bawah umur pun, terjerat hustle culture.

"Itu sudah ada sejak lama. Bahkan sejak abad 18-an ketika revolusi industri pertama mulai masuk ke Inggris," cerita Arif tentang hustle culture di masa lalu. "Para pekerja bahkan nggak ada lagi batasan kerja 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, itu belum ada. Sehingga orang bisa sampai 18 jam per hari. Pekerja anak pun dilegalisasi. Mereka bekerja sampai 14 jam per hari di pabrik-pabrik. Rata-rata budaya itu disampaikan oleh kelas-kelas penguasa atau pengusaha, agar membuat pegawai atau pekerjanya bekerja lebih keras dan lebih lama,” imbuh Arif lagi.

Arif melanjutkan kebiasaan bekerja dengan jam panjang tersebut kemudian memunculkan tuntutan dari kaum pekerja bahwa kerja lebih lama dan kondisi yang keras, memicu persoalan kesehatan. Selain itu, kehidupan mereka pun jadi seolah-olah hanya untuk bekerja. Tidak ada waktu untuk keluarga, rekreasi, dan istirahat. Maka, muncullah banyak protes besar-besaran hingga lahirlah kesepakatan internasional, salah satunya konsep kerja layak yang dikeluarkan oleh ILO.

Meski secara teori sudah ada peraturan kerja layak dari ILO sejak awal abad 20, pada praktiknya, sampai sekarang nggak sedikit karyawan yang 'tunduk' pada sistem kerja perusahaan dan mengorbankan kehidupan pribadi demi karir cemerlang. Jadi, gimana dong solusinya?

Perlindungan Minimum

Sebagai budaya kerja yang dikembangkan selama berabad-abad, memang nggak akan mudah menghapus hustle culture ini ya, guys? Manusia bisa melakukan apapun demi memenuhi tuntutan hidup. Termasuk kerja di luar standard dengan menjalani gaya hidup hustle yang bersifat merusak. 

Arif berpendapat, hal ini bisa terjadi karena ketidaktahuan para pekerja akan hak-haknya yang seharusnya mereka terima. Ketidaktahuan ini disebabkan salah satunya oleh rendahnya angka partisipasi dalam serikat pekerja. Padahal, serikat pekerja punya peran yang cukup besar untuk mengedukasi hubungan pekerja dan perusahaan, termasuk urusan hak dan kewajiban kedua pihak tersebut. Arif mengungkapkan, saat ini paling banyak hanya sekitar 15 persen aja pekerja formal di Indonesia yang tergabung dengan serikat pekerja.

"Problem di lapangan, seringkali banyak pekerja yang tidak mengetahui bahwa ada hak-hak yang harusnya diterima," Arief menegaskan. "Nah, itu problemnya sehingga ketika mereka harus bekerja dan itu melanggar undang-undang yang mereka tidak mengetahuinya dianggap itu sebagai sebuah kewajaran. Apalagi dibumbui dengan mimpi-mimpi nanti untuk meniti karir biar CV jadi lebih bagus, bisa menjadi batu loncatan, dan sebagainya," lanjut Arif yang tergabung di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) milik UGM.

Lebih jauh lagi soal pemenuhan hak-hak pekerja, Arif berharap pemerintah juga mengambil tindakan tegas jika ada perusahaan yang kedapatan melanggar konsep kerja layak dan adil atau UU Ketenagakerjaan. Pemberian sanksi bisa jadi penegakan hukum untuk memastikan pekerja punya perlindungan minimum dan keamanan kerja. Nggak hanya untuk pekerja konvensional alias pekerja full time kantoran, tapi juga pekerja lepas yang mendapat penghasilan dari sistem gig economy. Dengan begitu, maka hustle culture nggak lagi jadi relevan.

Konsep kerja layak dan adil ini menurut Arif adalah bentuk perlindungan minimum yang perlu diperoleh pekerja agar mereka tetap bisa menjalankan aktivitas kerja tanpa mendegradasi persoalan kemanusiaannya. Artinya, mereka bisa mendapatkan keamanan kerja. Dengan kerja layak dan adil itu, para pekerja bisa bekerja 8 jam per hari untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Kemudian, waktu sisanya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan diri mereka, meniti karir di bidang lain, ataupun beraktivitas lain seperti hobi. 

Menjaga work-life balance ini, berarti kita juga mesti tegas membagi waktu antara kehidupan profesional dengan kehidupan pribadi. Bekerja itu wajib, tapi hidup seimbang juga penting kan buat recharge energi dan meningkatkan produktivitas kita, kan? 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait