URguide

Hukum Pincang, Konten Pornografi Makin Memberangsang

Ika Virginaputri, Selasa, 12 Oktober 2021 18.03 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Hukum Pincang, Konten Pornografi Makin Memberangsang
Image: ilustrasi konten negatif di ponsel (Foto: CharlesDeluvio/Unsplash)

Live streaming tanpa busana melalui aplikasi di ponsel, kini jadi menu baru konten pornografi di media sosial. Praktik penyalahgunaan media sosial ini, tentu saja bikin aplikasi penaungnya ‘kena semprit’ pihak berwajib.

Tengok saja kasus live bugil RR di Bali. Ini bukan pertama kalinya aplikasi live streaming jadi sorotan gara-gara konten berbau pornografi. Saat awal diluncurkan tahun 2016, Bigo Live langsung merasakan tajamnya sensor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lewat pemblokiran di akhir tahun itu.

Tak perlu waktu lama. Hanya berselang sebulan, blokir dibuka setelah pihak Bigo Live menyetujui syarat Kominfo untuk beroperasi di Indonesia. Salah satunya, dengan melakukan pengawasan terhadap konten-konten negatif.

Namun, janji hanyalah tinggal janji. Nyatanya, konten-konten pornografi masih saja berseliweran di berbagai apps penyedia siaran langsung. Apakah ini artinya perlu ada lembaga sensor khusus media sosial?

Tak Kebal Hukum

Menurut laporan Kominfo, pornografi masih berada di peringkat pertama sebagai konten negatif yang paling banyak diadukan masyarakat loh, guys. Melansir laman Antaranews, Kominfo bahkan sudah memblokir 1.096.395 konten pornografi sejak Agustus 2018 hingga September 2021.

Kepada Urbanasia, pengamat komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan Sujono, mengatakan era kebebasan di internet memang dimanfaatkan oleh semua kalangan. Termasuk oleh pembuat konten aplikasi live streaming seperti kasus RR di Bali. Sayangnya, di Indonesia sendiri memang belum ada lembaga sensor khusus media sosial seperti KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk siaran TV dan radio, serta LSF (Lembaga Sensor Film) untuk tayangan layar lebar. Namun, menurut Firman, hal ini tidaklah berarti konten-konten media sosial kebal hukum.

1634035366-Pak-Firman-2.jpegSumber: Firman Kurniawan Sujono, Pengamat Komunikasi Digital dan Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (Foto: Dok Pribadi)

Seperti yang kita tahu, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2008 lalu dan terus merevisi pasal-pasal yang dirasa belum cukup memberikan keadilan bagi korban. Meski tidak secara spesifik menyoroti aksi live bugil, undang-undang yang ada tetap bisa menjerat mereka yang bikin konten tak senonoh, seperti dalam kasus RR.

"Si RR ini mungkin tidak tahu atau justru tahu dan merasa ada kekosongan hukum. Dianggapnya tidak ada aturan tentang itu. Dulu ada sepasang suami-istri pasangan muda, baru menikah, kemudian membuat konten kehidupan intimnya terus disiarkan lewat Youtube. Ketika ditegur oleh publik, 'Loh ini kan akun saya dan kami adalah pasangan yang sah. Kami punya buku nikah dan nikahnya juga sah'," Firman mencontohkan.

"Nggak bisa seperti itu. Batasan umur dan juga jenis konten itu ada aturannya. Di UU ITE kan nggak boleh menyiarkan sesuatu yang sifatnya pornografi dan pornoaksi. Walaupun dalihnya 'akun saya', tapi kan implikasinya pada publik. Itu yang disebut dengan mass self-communication, medium yang dimiliki self tapi implikasinya pada mass," papar Firman.

Luasnya pengaruh pornografi yang dicontohkan Firman, juga disebut pihak kepolisian sebagai salah satu alasan pentingnya penegakan hukum terhadap kasus pornografi. Menurut AKP Waskitha dari bagian Tindak Pidana Siber Polda Metro Jaya, nggak hanya orang dewasa, anak-anak pun berpotensi terpapar pornografi. Apalagi Waskitha tak menampik bahwa bentuk dan jumlah kasusnya semakin berkembang di era digital ini.

"Kalau dibilang mengkhawatirkan ya mengkhawatirkan (jumlah kasusnya). Khususnya untuk anak-anak ya," ujar AKP Waskitha lagi.

"Yang membahayakan kan kalo pornografi ditonton anak-anak. Makanya kita biasa menindak (pelaku pornografi) gara-gara itu," kata pria yang bertugas di bagian cyber Polda Metro Jaya sejak tahun 2012 itu.

Waskitha juga memaparkan bahwa pihak kepolisian selalu melakukan patroli cyber untuk pengawasan di dunia maya. Pihaknya juga terus melakukan koordinasi dengan Kementerian Kominfo sebagai pemegang akses pemblokiran konten.

"Kalo memang sudah meresahkan, kita tindak. Kalau Kominfo kan cuma bisa memblok," ungkap Waskitha lagi.

"Biasanya kalau udah meresahkan kita tindak dulu, baru (kontennya) di-take down sama Kominfo. Kayak yang di Bali itu kan karena patroli. Dapet akunnya, terus dijerat pake undang-undang," jelasnya.

1634035504-PakSami.jpegSumber: AKP Waskitha, Unit Tindak Pidana Siber, Polda Metro Jaya (Foto: Dok Pribadi)

Banyak dari kita yang mungkin berpikir “Ah, ini kan akun gue sendiri. Terserah gue dong mau bikin konten kayak apa,” atau “Udah gue bikin private, kok. Jadi, cuma orang-orang terdekat gue aja yang bisa lihat kontennya.” Nah, pikiran semacam ini juga kurang pas, guys.

Meski akun milik pribadi dan digembok sekalipun, selalu ada kemungkinan konten tersebar luas. Masih ingat kan, postingan Adhisty Zara dan Nico Al Hakim yang viral walau udah dibatasi hanya untuk close friends? Terkait keamanan digital ini, Waskitha menyarankan kita lebih baik sama sekali nggak membuat, menyimpan, apalagi menyebarkan konten negatif.

"Mending nggak usah sama sekali. Kan kita nggak tahu tiba-tiba handphone kita disadap, diambil alih sama hacker atau apa, terus tiba-tiba di-share. Yang salah tetap yang membuat," Waskitha mengingatkan.

"Ancaman hukuman dari UU ITE pasal 27 ayat 1 sendiri penjaranya 6 tahun, dari UU no 44 tahun 2018 tentang Pornografi ancaman hukumannya 12 tahun," imbuhnya.

Perlu Revisi UU Penyiaran

Masih bicara soal hukum dan peraturan, jika berkaca dari kasus tertangkapnya RR di Bali, Firman menegaskan perlunya pengawasan terhadap konten media sosial dari segi kebijakan. Namun Firman kurang setuju jika media sosial disamakan dengan media konvensional seperti TV dan radio yang menggunakan frekuensi publik.

Sebagai jalan keluar, Firman beranggapan harus ada revisi Undang-Undang Penyiaran yang ada saat ini. Revisi harus dibuat sejelas mungkin dengan memasukkan media-media yang aksesnya lebih luas daripada media frekuensi publik. 

"Nah aturan publik itu masih belum jadi. Undang-Undang Penyiaran saat ini belum memadai atau harus direvisi untuk konten yang sifatnya over the top seperti dari media sosial, dari Netflix, podcast, dan sebagainya," ujar Firman.

Lebih lanjut, Firman mengungkapkan bahwa UU Penyiaran yang ada kurang memadai untuk memayungi kasus konten pornografi melalui media sosial.

"Nggak memadai kalo pake Undang-Undang Penyiaran yang selama ini ada. Itu kan amanat Undang-Undang Penyiaran hari ini tuh untuk medium-medium, konten-konten yang dilewatkan di frekuensi publik. Frekuensi publik itu TV, radio, itu punya publik. Jadi orang yang pake harus taat aturan negara, tidak boleh digunakan untuk pornografi, tidak boleh untuk kepentingan politik sebetulnya. Nah, tetapi kalau konten di media sosial tuh beda. Dia bukan frekuensi publik," ucapnya lagi.

Di samping itu, Firman menegaskan, pentingnya kesadaran diri untuk meningkatkan literasi digital. Apalagi sebagai masyarakat dengan kultur ketimuran, kita punya norma susila dan norma agama.

"Sekarang ini pemerintah lagi menjalankan 'makin melek digital'. Kominfo bekerja sama dengan Komisi I DPR keliling, seluruh Indonesia. Ngomong tentang budaya digital, percakapan digital, kewirausahaan digital,” jelasnya.

“Ketika kita melarang konten tertentu di dunia analog, itu juga dilarang disebarkan lewat dunia digital. Kalo pornografi-pornoaksi nggak boleh di jalan-jalan umum, ya di media digital juga nggak boleh. Itu juga harus ditanamkan. Juga kepada konsumennya. Nggak semua yang tersedia itu layak dikonsumsi. Perlu sosialisasi, perlu gerakan literasi bahwa kebebasan itu tidak untuk dipakai seluas-luasnya," lanjut Firman.

So, segala sesuatu yang tersedia secara bebas pun nggak berarti tanpa batas, loh. Sebagai netizen cerdas kita harus pintar-pintar menyaring, baik saat bikin atau menikmati konten. Jangan sampai karena kurang literasi digital, jadi kena patroli cyber kepolisian. Duh!

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait