Hustle Culture : Gila Kerja Bahayakan Jiwa

Selama ini, kesuksesan umumnya dipandang dari seberapa besar berpenghasilan kamu, banyaknya aset yang dimiliki seperti rumah, tanah, dan mobil, serta seringnya berlibur keliling negara. Nggak ada cara lain buat mencapai semua itu selain kerja keras banting tulang. Seringkali sampai lupa waktu, lupa makan, lupa pacar dan keluarga. Tahu-tahu, jatuh sakit. Kalau kata netizen, "Kerja, kerja, kerja, tipes". Nah loh!
Kampanye Kerja Berlebih
Siapa yang nggak mau jadi kayak Mark Zuckerberg, Elon Musk atau Jack Ma? Dari tahun ke tahun, nama-nama itu selalu nangkring di daftar orang terkaya se-planet bumi. Sebagai bos perusahaan bergengsi yang produknya dipakai jutaan orang di dunia, wajar kalau mereka jadi idola Milenial dan Gen Z. Mereka adalah barometer sukses dan contoh nyata bagaimana kerja keras nggak akan mengkhianati hasil. Seberapa keras sih guys, kita harus bekerja supaya bisa kayak mereka?
“Move fast and break things. Unless you are breaking stuff, you are not moving fast enough," kalimat itu pernah jadi motto Facebook yang akhir Oktober 2021 lalu sudah berganti nama menjadi Meta. Mungkin karena terlalu radikal, di tahun 2014 kalimat itu diubah menjadi 'move fast with stable infrastructure'. Satu poin yang tetap sama adalah 'move fast'. Indikasi bahwa Mark sangat mengandalkan kecepatan. Apapun yang terjadi, dunia akan tetap berputar, hidup akan terus berjalan. Kita harus gerak serba cepat jika nggak mau tertinggal.
Gimana dengan Elon Musk? Bos Tesla ini emang dikenal gila kerja, guys. Menurut Elon, nggak ada orang yang bisa mengubah dunia hanya dengan durasi kerja standar yang 40 jam per minggu itu (8 jam per hari). Elon sendiri mengaku setiap harinya dia kerja 16 jam, 7 hari seminggu tanpa libur. Makanya bapak 7 anak ini sebel banget kalo ada yang bilang pencapaiannya sekarang 'cuma' hasil keberuntungan. Senada dengan Elon, pendiri e-commerce Alibaba, Jack Ma, juga mendukung kantor-kantor memberlakukan konsep kerja 996. Dari jam 9 pagi hingga jam 9 malam, 6 hari seminggu. Sebuah model kerja yang umumnya diterapkan oleh perusahaan teknologi di Cina. Sama seperti aturan di negara-negara lain, undang-undang ketenagakerjaan Cina sendiri hanya membolehkan kerja maksimal 8 jam per hari. Jadi jelas, 996 dianggap melanggar hukum.
Elon Musk, Jack Ma dan Mark Zuckerberg (Foto: ELCEO)
Jadi udah kebayang kan, guys? Saking terkenalnya Mark, Elon, dan Jack Ma, kampanye kerja berlebih yang bikin ritme hidup kita serba cepat sudah jadi budaya global. Maka terciptalah istilah hustle culture untuk menggambarkan gaya hidup kerja terus menerus demi meraih kesuksesan. Manusia akan punya nilai plus jika mendedikasikan diri untuk kerja lebih lama, lebih keras dan lebih cepat. Meeting seharian, dikejar deadline laporan, revisi tambahan dari klien. Urbanreaders juga pasti relate, kan? Duh 24 jam sehari terasa kurang ya guys?
Gig Economy dan Remote Working
Fenomena hustle culture seolah membuat work-life balance makin jauh dari genggaman kita. Memang kenyataannya para Milenial dan Gen Z sekarang sering terjebak gaya kerja overtime. Hari-hari mereka didominasi urusan kerjaan, bahkan setelah jam kantor selesai dan saat weekend sekalipun.
Menurut organisasi kesehatan internasional WHO (World Health Organization), jumlah orang yang bekerja di atas 8 jam per hari terus bertambah setiap tahun. Saat ini, kurang lebih ada 9% dari total populasi dunia. Penyebabnya nggak lepas dari trend gig economy dan remote working di zaman digital ini. Gig economy yaitu saat perusahaan cenderung membayar pekerja lepas daripada merekrut karyawan tetap. Istilah 'gig' terinspirasi dari para musisi yang langsung menerima bayaran usai manggung/nge-gig. Nah, sama halnya dengan sistem gig economy ini, guys. Pekerja langsung dibayar setelah menyelesaikan 'pesanan' klien.
"Teleworking sudah jadi norma di banyak industri, terkadang menyamarkan batasan antara rumah dan kerja," ungkap Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jendral WHO, Mei 2021 lalu. "Selain itu, banyak bisnis terpaksa harus berhemat dan akhirnya orang jadi harus bekerja lebih lama," tambahnya lagi.
Di kesempatan yang sama, WHO juga mengumumkan dampak dari kerja overtime yang bikin 745.000 orang meninggal gara-gara stroke dan penyakit jantung iskemik. Angka tersebut diambil dari data tahun 2016, naik 29% sejak tahun 2000, yang mencatat angka kematian 590.000.
Terus, gimana dengan Indonesia sendiri?
Walau nggak termasuk negara dengan jam kerja berlebih, namun negara kita pun ternyata nggak luput dari kenyataan pahit ini loh, guys. Urbanreaders masih ingat nggak, di tahun 2013 netizen Twitter pernah dikejutkan dengan berita meninggalnya Mita Diran, seorang copywriter muda gara-gara bekerja 3 hari berturut-turut tanpa istirahat? Dan nggak cuma Mita loh, guys. Bulan April 2019 setelah rakyat Indonesia nyoblos untuk pilpres dan pileg, KPU (Komisi Pemilihan Umum) melaporkan 272 orang petugas pemilu meninggal karena kelelahan. Menyiapkan logistik untuk TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang tersebar di pelosok Indonesia dan menghitung lembaran surat suara secara manual memang bukan kerjaan enteng.
Cuitan terakhir Mita Diran di Twitter ini mendapat banyak balasan berupa ungkapan belasungkawa netizen (Foto: EjuTV)
Tapi kalau ngomongin soal budaya kerja keras, mungkin seluruh dunia akan sepakat bahwa nggak ada lagi yang lebih identik dengan hustle culture selain Jepang. Sejak tahun 1960-an, orang Jepang memang udah terkenal punya durasi kerja lebih panjang dibanding negara lain di dunia. Mereka sampai bikin istilah sendiri untuk meninggal gara-gara overwork, karoshi. Kasus karoshi yang paling disorot media terjadi di tahun 2013 pada Miwa Sado, jurnalis politik di stasiun TV NHK. Miwa yang saat itu berusia 31 tahun meninggal setelah mengambil jam lembur hingga 159 jam sebulan. Kalau melihat rata-rata, jam kerja lembur hanya dibolehkan 2-3 jam sehari. Tapi, setiap hari Miwa lembur sampai 5 jam di luar jam kerja standardnya.
Di akhir tahun 2015 ada Matsuri Takahashi, karyawati perusahaan periklanan Dentsu yang bunuh diri karena nggak kuat menanggung beratnya beban pekerjaan. Melansir BBC, salah satu teman Matsuri bilang bahwa cewek 24 tahun itu hanya tidur 10 jam seminggu. Akibat kasus itu, Dentsu dikenakan denda kerja overtime sebesar USD 4.400 dan CEO-nya, Tadashi Ishii, mengundurkan diri. Dipicu oleh banyaknya kasus karoshi, akhirnya pemerintah Jepang pun turun tangan dan memberlakukan kebijakan baru di Juni 2018. Kebijakan tersebut melarang durasi kerja lebih dari 40 jam seminggu sesuai dengan aturan kerja internasional.
Gerakan Anti Hustle
Sebenarnya masih banyak lagi guys, cerita tragis yang terjadi akibat gaya hidup hustle culture. Kasus di atas adalah bukti nyata bahwa prinsip kerja untuk hidup, sudah terbalik menjadi hidup untuk kerja. Hal ini jelas mengkhawatirkan karena hidup nggak seimbang punya dampak serius yang berujung pada gangguan fisik dan mental. Nggak hanya menyebabkan penyakit berat kayak stroke dan jantung seperti yang diungkapkan WHO, tapi juga masalah psikologis seperti stress dan depresi yang bisa bikin penderitanya bunuh diri kayak cerita Matsuri Takahashi. Karena sudah memakan banyak korban, fenomena hustle culture pun mulai mendapat 'perlawanan' dari kalangan milenial. Pergeseran cara kerja yang terjadi saat pandemi membuat mereka berpikir produktivitas nggak harus selalu pergi ke kantor dan terikat 8 jam sehari.
Situs Harvard Business Review menuliskan, di bulan Juli 2021 ada sekitar 4 juta pekerja di Amerika Serikat yang mengundurkan diri dari kantor mereka. Beberapa bulan sebelumnya, sebuah survei Microsoft di Maret 2021 menunjukkan lebih dari 40% pekerja di dunia mempertimbangkan mengundurkan diri karena merasa kerja berlebihan dan kelelahan. Mereka berpikir untuk mencari pekerjaan dengan kondisi dan waktu yang lebih fleksibel dan bos yang lebih peduli dengan work-life balance. Tampaknya hal itu disadari banget oleh para pebisnis atau bos-bos pendiri perusahaan. Pendiri Reddit sekaligus investor di sektor teknologi, Alexis Ohanian, bahkan sudah mengkampanyekan mindset anti-hustle ini sebelum pandemi. Di salah satu event di Portugal bulan November 2018, suami petenis Serena Williams ini bilang bahwa hustle culture yang identik dengan sektor teknologi ini adalah ide toxic dan berbahaya.
"Ide bahwa kita harus menderita dulu, menghabiskan tiap jam setiap harinya dengan bekerja baru dibilang kerja keras, adalah salah satu hal paling toxic dan berbahaya di (sektor) teknologi saat ini," kata Alexis. "Efeknya sangat merusak bukan cuma buat bisnis, tapi juga buat kesejahteraan hidup," sambung ayah satu putri ini.
Ada juga Nicole Purvy, investor properti yang mengkampanyekan konsep bisnis anti stress buat pengusaha lewat buku yang berjudul Anti Hustle. Nicole percaya bahwa gaya hidup hustle culture sebenarnya justru kontraproduktif. Di Inggris, ada Ruth Newton yang memulai Anti Hustle Project yang secara online berbagi tips-tips seputar work-life balance. Tips-tips yang diberikan nggak hanya dari segi bisnis dan pekerjaan, tapi juga dari segi kesehatan, parenting dan pengembangan diri.
Melihat sudah banyaknya pekerja di dunia yang mengajukan pengunduran diri di tahun 2021, banyak milenial yang percaya bahwa gerakan anti hustle ini akan semakin berkembang di tahun 2022. Wah, semoga nggak lantas berubah ekstrem jadi anti kerja ya, guys?
Apabila saat ini kamu mengalami depresi atau keinginan bunuh diri, jangan putus asa. Depresi dan gangguan kejiwaan dapat pulih dengan bantuan profesional kesehatan mental. Jangan ragu untuk menghubungi layanan profesional demi kesehatan mental yang lebih baik.