URnews

Indonesia Masih Hadapi Tantangan di E-Commerce

Kintan Lestari, Selasa, 10 November 2020 18.18 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Indonesia Masih Hadapi Tantangan di E-Commerce
Image: Ilustrasi e-commerce. (Freepik/sunnygb5)

Jakarta - Teknologi semakin berkembang pesat seiring kemajuan zaman. Dan itu berdampak hampir di semua bidang, termasuk ekonomi.

Kini transaksi jual beli pun perlahan beralih ke online, dari yang sebelumnya offline. Terlebih belakangan ini saat terjadi pandemi COVID-19.

Di masa pandemi, transaksi e-commerce mengalami peningkatan. Pasalnya lewat e-commerce, kita tidak perlu keluar rumah untuk membeli sesuatu. 

Meski memudahkan konsumen, tapi untuk pelaku usaha, terutama UMKM, beralih dari offline ke online menjadi tantangan tersendiri.

Peneliti Yose Rizal, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS), menyatakan masih banyak tantangan dalam ekonomi digital, di antaranya infrastruktur dan internet.

"Infrastruktur jadi permasalahan. Data dari Survei Sosial. Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 menunjukkan hanya sekitar 50% dari populasi yang mengakses internet. Untuk e-commerce bahkan hanya 12-13% penduduk Indonesia yang transaksi jual beli di internet," ungkap Yose dalam webinar bertajuk "Sektor E-commerce di Indonesia: Menemukan Keseimbangan Antara Regulasi dan Inovasi" di Facebook Summit 2020 siang tadi (10/11/2020).

Dalam perdagangan, pelaku usaha ada yang berperan sebagai trader dan maker. Namun seringkali mereka digeneralisir. Baiknya maker bisa masuk juga ke digital economy. Tapi itu akan menambah beban mereka.

"Masalah lain untuk UMKM adalah bagaimana mereka harus meluangkan waktu serta punya tenaga kerja untuk menangani permasalahan digital. Artinya ada investasi cukup besar di sana. Tidak semua produsen bisa, karena ada yang sudah sibuk untuk produksi," papar Yose.

Menurut Yose tetap perlu banyak pihak untuk membantu transaksi berjalan lancar, termasuk dari trader dan aggregator.

Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan regulasi untuk perdagangan melalui sistem elektronik, yakni lewat Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020.

Masalahnya regulasi di Indonesia harusnya mendukung aggregator. Dengan regulator sekarang, para aggregator yang menjual barang di digital platform ini justru akan mendapat beban tambahan, yang mana nanti justru menghambat perkembangan digital economy.

Sebab aturan yg ada sekarang belum membedakan antara berbagai business model atau transaksi bisnis seperti B2B atau C2C.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait