URnews

Kala Keterampilan Dialog Mati di Jagat Digital

Firman Kurniawan S, Senin, 28 November 2022 19.20 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kala Keterampilan Dialog Mati di Jagat Digital
Image: ilustrasi media sosial (Foto: Freepik)

HARI itu, Jumat 25 November, lelah Raslina yang baru pulang dari peringatan Hari Guru Nasional di sekolah tempatnya mengajar, kian memuncak. Bermaksud melepas penat dengan menikmati berbagai unggahan media sosial, batin Raslina justru jadi buruk. Emosinya teraduk. Alih-alih mendapat informasi penambah pengetahuan atau hiburan pengusir jenuh, rasa muram justru menghampiri. Lelah badannya, bertambah dengan lelah batinnya.  

Sumpah serapah bukan barang mahal di media sosial. Demikian pula omong kotor caci maki, lancar terlontar tak kenal gentar. Semua tersedia berlimpah, wira-wiri tanpa dicari. Realitas perilaku berkata-kata buruk ini bukan satu-satunya keburukan yang harus ditelan Raslina. Keadaan kerap diperparah, oleh unggahan yang mempertontonkan perselisihan orang dengan orang lainnya: baku hantam di jalan raya, baku hantam pasangan yang berkasih-kasihan, hingga baku hantam kelompok pengusaha muda yang sedang bermusyarawah, menyeleksi pemimpin. Tentu semuanya membebani batin Raslina. Juga pengguna media sosial yang lain. Sampai-sampai terlontar tanya, apa media sosial memang medium yang mewadahi perilaku buruk?

Perilaku buruk yang dipertontonkan di hadapan publik, bukan barang baru. Dari masa ke masa, ada saja modus mempertontonkan perilaku buruk yang menyesakkan batin. Namun kini, dengan memanfaatkan media sosial berbagai bentuk perilaku buruk itu tersebar. Mampu menjangkau publik tanpa batas. Ini yang sering disebut troll. Dan aktivitasnya adalah trolling.

Lewat tulisannya “Squash Social Media Trolls with These 9 Tips [Guide]”, Josiah Hughes dan Nick Martin, 2022, memberi pengertian troll sebagai seseorang dengan memanfaaatkan media berfasilitas internet, yang dengan jahat melecehkan, menyerang, atau menindas orang lain di dunia maya. Para pelaku ini juga memutarbalikkan kata-kata orang lain yang bertujuan mempermalukan orang yang diambil kata-katanya itu. Trolling juga berupa tindakan mengirimi pengguna media sosial lain, limpahan unggahan bertema menyinggung, terlibat dalam retorika rasis, agresif, homofobik, misoginis, barmuatan penuh kebencian. Troll ini tak punya tujuan jelas, selain membuat hidup orang lain sengsara. Karenanya harus diakhiri.

Adapun perilaku trolling ini, mengutip pendapat Mark Griffiths, Guru Besar di bidang Perilaku Kecanduan, Universitas Nottingham Trent yang dimuat BBC, 2019, dalam tajuknya yang berjudul “Why Do People Troll and What Can You Do About It?”, didorong oleh keinginan mencari perhatian, rasa bosan, mencari hiburan pribadi atau sebagai medium pelampiasan dendam. Terdapat kesenjangan diri yang dipersepsi para pelaku troll, dibanding orang lain yang dijadikan sasaran perbuatannya. Orang lain itu dinilai lebih sukses, bahagia. Sementara pelaku trolling, tak mampu menjangkau itu semua. Para troll ini, merasa batinnya tidak aman. Maka dengan dilampiaskan kepada orang lain berharap ketaknyamanan itu juga dialami orang lain. 

Jika demikian jalinan peristiwanya, trolling adalah tindakan komunikasi yang buruk, menyuarakan kegundahan batin yang tak nyaman. Sayangnya tindakan komunikasi itu merusak stabilitas batin orang lain.

Dengan berpijak pada penjelasan di atas, bertebarannya produk troll sebagai unggahan, termasuk yang dialami Raslina, adalah keadaan yang memprihatinkan. Bahkan setiap orang harus mengkhawatirkannya. Indonesia berdasar survey keberadaban digital oleh Microsoft 2020, menduduki posisi ke-29 dari 32 negara yang disurvey. Ini bisa diartikan, jagat digital Indonesia sebagai ekosistem yang sangat buruk. Trolling jadi modus utama perilaku bermedia digital di Indonesia. Kekahwatiran ini terkonfirmasi manakala sumber penilaian Microsoft, dibentuk oleh variabel yang terkait dengan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, pencurian dan penyalahgunaan data pribadi, hingga perilaku perundungan antar orang dengan orang lain. Didapati dari data itu, 1 dari 5 orang di Indonesia adalah pelaku atau korban tindakan perundungan. 

Berpijak pada survey di atas, apakah dengan demikian tindakan 191-an juta pengguna media sosial Indonesia, sesuai data We Are Social, 2022, bermotif trolling? Tindakan pengguna yang didorong ketaknyamanan batin, yang dilepas dengan menebarkan ketaknyamanan pada orang lain? Jika pun untuk pertanyaan ini jawabannya benar, masih akan diikuti pertanyaan baru. Apakah melepaskan ketaknyaman batin hanya dapat dilakukan, dengan satu-satunya cara, membuat batin orang lain juga jadi tak nyaman? Sehingga yang tampil di media sosial, tak lebih sebagai unggahan saling mencaci dan menyakiti satu sama lain. Dilakukan tanpa rasa bersalah.     

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait