URtrending

Kasus Natuna, PBNU: Bela Tanah Air Wajib Hukumnya!

Nunung Nasikhah, Senin, 6 Januari 2020 19.30 | Waktu baca 3 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kasus Natuna, PBNU: Bela Tanah Air Wajib Hukumnya!
Image: Instagram @nahdlatululama

Jakarta - Tak hanya tokoh, organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama (NU) juga turut memberi respon terkait kasus masuknya kapal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di perairan Natuna.

Dalam pernyataan resminya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang diwakili oleh Ketua Umum, Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA. dan Sekretaris Jenderal, Ir. H. A. Helmi Faishal Zaini mendesak pemerintah RRT agar berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

"Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994, karena itu tindakan Coast Guard RRT mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima," tulis PBNU dalam pernyataan resminya.

Selain itu, PBNU menambahkan bahwa pemerintah RRT secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pertama kali pada peta 1947.

Baca juga: Soal Natuna, Analis Strategik: Hukum Laut Internasional Kuatkan Indonesia

"Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Selatan China yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok. Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam," jelasnya.

Di samping itu, Filipina sebelumnya juga telah memperkarakan Cina atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan China pada 2013.

Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016 memutuskan seluruh klaim teritorial Cina atas Laut Selatan Cina sebagai tidak memiliki dasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS. Namun, Beijing menolak keputusan tersebut.

Tindakan Beijing menolak keputusan tersebut merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia.

Baca juga: Cina Usik Perairan Indonesia, Anggota DPR: Natuna Kedaulatan NKRI!

"Karena itu, Nahdlatul Ulama mendukung sikap tegas Pemerintah RI terhadap Cina, dalam hal ini yang telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Bakamla, termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan RI sebagai manifestasi dari ’Archipelagic State Principle’ yang dimandatakan oleh Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957," terang PBNU.

Kendati Cina merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, NU meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi.

"Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun," tandasnya.

"Dalam jangka panjang, Nahdlatul Ulama meminta Pemerintah RI untuk mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik," imbuhnya.

Baca juga: Duh! Puluhan Kapal Asing Vietnam Curi Ikan di Perairan Natuna

Kedudukan laut, menurut NU, juga amat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan Cina, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.

"Ketidaksungguhan Pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim, termasuk dalam geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju dan sejahtera dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat founding fathers," tulis PBNU.

"Dalam pandangan NU, sebagaimana dinyatakan oleh pendiri NU Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu ‘ain (wajib bagi setiap orang Islam). Dan barang siapa mati demi tanah airnya, maka ia mati syahid," tutupnya dalam surat pernyataan.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait