URguide

Kenali KBGO, Ancaman Kekerasan di Dunia Maya

Ika Virginaputri, Senin, 6 September 2021 23.29 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kenali KBGO, Ancaman Kekerasan di Dunia Maya
Image: ilustrasi KBGO (Foto: Shutterstock)

"Tanggal 17 Agustus lalu, tiba-tiba ada yang ngirim foto di DM Twitter aku. Pertama kali lihat foto itu, aku kesel. Kesel banget. Kaget, sih. Tiba-tiba orang ini nge-DM, ngirimin foto-foto tidak senonoh. Aku udah sering banget dapet yang beginian. Biasanya juga diikuti oleh kata-kata kasar lainnya.”

Kejadian kurang menyenangkan itu, dialami oleh Revina VT, seorang influencer yang mengaku sering banget menerima pelecehan di internet. Mungkin Urbanreaders juga sempat mengikuti viralnya thread yang diunggah Revina di akun Twitter-nya beberapa waktu lalu.

Terlihat dari thread-nya, cewek berusia 25 tahun asal Surabaya ini melabrak si pelaku pelecehan yang mengiriminya foto disertai kalimat-kalimat nggak sopan via direct message (DM). Selain mengonfrontasi si pelaku, Revina pun mengunggah foto-foto tak senonoh yang dikirimkan pelaku padanya. Alasannya cuma satu. Kekesalannya udah di ubun-ubun, terutama karena pelaku sama sekali nggak merasa bersalah.

“Awalnya dia tidak merasa bersalah. Terus, karena dia tahu aku upload (fotonya), baru dia ngerasa malu, baru dia minta maaf. Karena lo gue konfrontir, lo nggak minta maaf, tapi lo malah ngelecehin. Setelah lo tahu foto lo gue sebar, baru ngerasa malu,” jelas Revina pada Urbanasia.

1630939683-Revina2.jpgSumber: Selebgram Revina mengaku sering mendapat tindakan KBGO, misalnya dikirimi foto tak senonoh yang membuatnya melabrak si pelaku pertengahan Agustus 2021 lalu (Foto: Dok pribadi)

Saking seringnya menerima perlakuan nggak senonoh dari warganet yang nggak bertanggung jawab semacam itu, akhirnya Revina pun memberanikan diri mengambil sikap lebih tegas dengan mempublikasikan perilaku tak sopan tersebut. Sebelumnya, ia mengaku jarang menanggapi pesan-pesan semacam ini dan langsung nge-block si akun pengirim.

Nggak jauh beda sama yang dialami Revina, Personil girlband Silverbells, Edillion Fernandita atau yang akrab disapa Dita, mengisahkan pelecehan yang diterimanya lewat sebuah aplikasi pesan. Kepada Urbanasia, cewek 25 tahun ini menceritakan kejadian yang dialaminya lebih dari dua tahun silam.

“Jadi dia tahu, waktu itu aku sedang putus dari mantan aku. Mungkin dia merasa, 'oh wanita ini lagi rentan. Bisa diajak kali ya...' Dan yang aku nggak bisa lawan, karena aku sedang ada project untuk tugas akhir. Kalau misalkan aku ribut sama dia, yang di pikiran aku, tugas akhirku nggak selesai,” tutur Dita pada Urbanasia.

Meski hanya sebatas omongan yang menjurus via chatting, Dita mengaku bahwa perlakuan tersebut cukup bikin dia merasa direndahkan dan tidak dihargai. Akhirnya, setelah memendam peristiwa itu sekian lama, Dita pun punya kesempatan buat speak up, lewat sebuah podcast.

1630940028-EdillionDita.jpgSumber: Personil girlband Silverbells, Edillion Fernandita, sempat memendam pengalaman KBGO-nya. Namun kemudian memutuskan speak up demi mencegah kejadian serupa terulang dan memakan korban lebih banyak (Foto: Dok pribadi)

“Yang bikin aku akhirnya speak up di podcast, pertama mungkin emang ada trigger-nya. Tapi kalo misalnya aku nggak mau mengobati sakit hatinya aku, traumanya aku, pasti aku nggak bakal mau terima ajakan (bikin podcast) itu. Ya, jadi pertama ada trigger-nya. Kedua, aku merasa tidak mau diinjak-injak lagi,” tukas Dita.

Peristiwa yang dialami Revina maupun Dita ini, sering terjadi di jagat maya. Meski terlihat sepele atau dilakukan atas dasar iseng, tindakan nggak sopan semacam ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan loh, guys. Yuk, simak penjelasannya berikut ini.

Kekerasan di Dunia Digital

Urbanreaders mungkin pernah mendengar istilah KBGO, yang merupakan singkatan dari Kekerasan Berbasis Gender Online. Seperti namanya, kita tahu bahwa tindak kekerasan ini terjadi karena difasilitasi teknologi digital.

Secara sederhana, KBGO dapat diartikan sebagai bentuk kekerasan yang terjadi atas dasar relasi gender antara korban dan pelaku, yang terjadi di dunia maya atau yang menggunakan teknologi digital. KBGO ini juga merupakan perpanjangan dari kekerasan berbasis gender di dunia nyata, guys.

Meski bentuk kekerasan atau pelecehan secara online bisa menimpa siapa aja, KBGO nyatanya lebih banyak dialami oleh para cewek, tuh. Bentuk kekerasan atau pelecehan yang dilakukan menjurus pada identitas korban sebagai perempuan, seperti tubuh dan seksualitasnya.

Menyerang Ketubuhan

Dalam webinar KBGO yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (Uhamka) pertengahan Agustus lalu, Kepala Subdivisi Digital At-Risks SAFEnet, Ellen Kusuma mengungkapkan, kekerasan berbasis gender punya sifat khas, yaitu menyerang tubuh seseorang.

"Kekerasan berbasis gender memang selalu menyerang ketubuhan seseorang. Jadi, bentuknya pun khas gitu ya, pasti ada serangan terhadap tubuh seseorang," jelas Ellen.

"Nah, kalau kita ngomongin tubuh itu tidak hanya yang fisik. Kalau kita ngomong tubuh dalam konteks sosial, tubuh itu kan juga identitas kita, biologis kita seperti apa. Misalnya kalo kita ngomongin kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang khas menyerang ketubuhan, maka tidak hanya menyerang fisik seseorang berdasarkan gendernya, tapi juga dalam bentuk ketidakadilan akses pada layanan reproduksi. Itu sudah merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender,” lanjutnya.

Ya, pada dasarnya KBGO nggak jauh beda dengan tindak kekerasan di dunia nyata, guys. Bedanya, ada perangkat digital yang digunakan sebagai perantara, misalnya komputer, smartphone, maupun aplikasi.

Dari Body Shaming Hingga Pemerasan Seksual

Terus, apa aja sih tindakan yang bisa dikategorikan sebagai KBGO?

Nah, biar kamu lebih aware dengan hal ini, berikut beberapa bentuk dan contoh tindakan KBGO yang dirangkum Urbanasia dari situs SAFEnet, sebuah lembaga advokasi yang memperjuangkan hak-hak digital.

1. Pelecehan. Penghinaan fisik atau body shaming, komentar bernada kasar atau yang sifatnya merendahkan atau mempermalukan seseorang.

2. Pelanggaran privasi. Misalnya peretasan, pencurian identitas, penyebaran data pribadi tanpa ijin atau tanpa persetujuan (termasuk foto-foto atau konten pribadi).

3. Pencemaran nama baik yang bertujuan untuk merusak reputasi/kredibilitas seseorang.

4. Pengawasan/pemantauan tanpa ijin kayak penggunaan spyware, GPS atau geo-locator untuk melacak pergerakan target.

5. Ancaman kekerasan langsung. Misalnya pemerasan seksual, ancaman penyebaran foto/video/konten intim, perdagangan perempuan melalui penggunaan teknologi, termasuk pemilihan dan persiapan korban (kekerasan seksual terencana).

Banyak Perempuan jadi Korban

Seperti udah disinggung sebelumnya, kebanyakan korban KBGO adalah para cewek. Fenomena ini bukannya tanpa alasan, guys. Menurut Dosen Komunikasi Gender Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (Uhamka), Sri Mustika, walau relatif baru, akar masalah KBGO sebenarnya sudah ada sejak lama. Bahkan, Sri menghubungkan munculnya KBGO dengan kuatnya cengkraman budaya patriarki.

Menurut Sri, sedemikian kuatnya laki-laki terhadap perempuan, maka ketika terjadi KBGO dan perempuan menjadi korban, justru dia yang merasa bersalah.

Teori ini ternyata ada benarnya juga loh, guys. Selaras dengan cerita Dita, ketika menerima perilaku pelecehan, hal pertama yang terlintas di benaknya adalah ‘apa yang salah dengan dirinya’.

“Aku mungkin dibeginiin karena cara berpakaian aku terbuka ya? Aku bercandanya kayak laki-laki, ya?” ucap Dita.

Dengan mindset seperti itu, meski merasa tersakiti dan direndahkan dengan candaan tak senonoh dari pelaku, Dita memilih bungkam. Alih-alih melawan dan menegur si pelaku, Dita hanya diam karena merasa tak punya kuasa.

“Jadi kayak aku belum tau nih jati diriku maunya ngapain, sih? Jadi ketika orang merendahkan aku, aku kayak ‘oh gue nggak bisa apa-apa nih karena gue nggak punya power. Perasaannya seperti itu waktu itu,” katanya.

Dipengaruhi Bias Gender

Pernyataan senada tentang budaya patriarki juga datang dari Ellen. Menurutnya, norma-norma masyarakat yang kita terima sejak kecil, mengandung bias-bias yang merugikan gender tertentu. Apalagi, di Indonesia sebagian besar masyarakatnya memang menganut budaya patriarki.

Selain faktor budaya, menurut Ellen, kesadaran akan KBGO ini juga mesti datang dari diri kita masing-masing, guys. Kita mesti bisa membongkar pikiran kita dan nggak segitu gampangnya nge-judge si korban. Misalnya, ada korban yang spill kasus mereka di media sosial, terus pikiran pertama kita adalah 'Ya salah dia sendiri bajunya begitu'. Nah, itu berarti pikiran kita udah bias.

Menurut Ellen, semestinya kita bisa bersikap lebih kritis terhadap kasus KBGO ini. Misalnya, tidak menyalahkan korban, menyadari bahwa seharusnya pelaku yang menjaga sikap dan bukan si korban, dan juga menghentikan stereotip-stereotip yang tidak menguntungkan korban kekerasan, terutama korban perempuan.

Perlu diingat, bagaimanapun bentuk kekerasan dan terjadi melalui media apapun, dampaknya bisa sangat serius pada si korban. Ketakutan, trauma, mengurung diri, dikucilkan dari pergaulan sosial, hingga mengalami luka fisik, bahkan kematian.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait