URstyle

Kisah ‘Mesra’ Milenial dan Kopi

Ika Virginaputri, Sabtu, 26 Maret 2022 17.54 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kisah ‘Mesra’ Milenial dan Kopi
Image: ilustrasi milenial ngopi (Foto: GettyImages)

Kalau ngopi, sebenernya aku lebih nyari suasana sama ngobrolnya gitu. Aku pengen ngobrol tentang daerahnya ini tuh gimana? Orang-orang ngopinya gimana? Selain buat kerja, seneng aja gitu dapet banyak cerita. Seger aja sih rasanya dapet cerita-cerita baru, insight, atau ngobrol sama baristanya.”

Sisi itulah yang bikin Maria Anastasia, begitu getol ngopi di coffee shop. Meski awalnya hampir tak pernah menyentuh kopi, milenial pecinta kopi ini mulai jatuh cinta pada kopi saat ia berkesempatan melihat proses pembuatan kopi mulai dari pemilihan biji kopi, roasting, hingga jadi aneka jenis kopi, pada tahun 2014 silam.

"Keluarga aku kan sempat ngelarang aku minum kopi. Dilarang banget sama ibu aku," kenang Maria memulai cerita. "Bahkan kuliah juga nggak ngopi, paling cuma kopi sachet itu juga jarang. Jadi aku tuh kayak buta banget sama kopi. Tapi ternyata kopi itu prosesnya panjang banget, ternyata seartisan itu, sekompleks itu," Maria mengungkapkan kekagumannya.

Di sela-sela waktu kuliahnya kala itu, Maria pun jadi lebih sering menyambangi coffee shop sembari mengerjakan skripsinya. Ia mulai rajin berkeliling dari satu coffee shop ke coffee shop lain. Kesempatan itu dimanfaatkan lulusan FISIP Universitas Indonesia jurusan kriminologi tersebut untuk belajar lebih banyak soal kopi. Nggak cuma nambah kenalan banyak orang di dunia kopi, mulai dari barista hingga pemilik coffee shop, Maria juga mulai mempelajari cara kerja mesin kopi dan teknik menyeduh kopi.

Berburu Kopi

Kebiasaan berburu kopi itu pun berlanjut hingga akhirnya Maria memutuskan untuk keliling Indonesia demi mencicipi berbagai jenis kopi. Kota-kota seperti Medan, Semarang, Yogyakarta, Bali, Makassar, Pontianak, Tarakan, hingga Flores, sudah disinggahinya.

Flores yang digadang-gadang sebagai salah satu destinasi kopi di Indonesia, tak hanya memperkaya pengalaman ngopi Maria. Sepulangnya ke Jakarta, Maria memutuskan untuk mendokumentasikan perjalanan kopinya dalam sebuah blog, bertajuk Kopitala.com.

1648291650-Maria-Anastasia-.jpegSumber: Maria sudah mengelilingi separuh Indonesia untuk mencoba berbagai macam kopi (Foto: Dok pribadi)

Dalam bahasa Samoa, 'tala' artinya kisah dan dalam bahasa Swedia berarti bicara. Selain itu, ‘tala’ juga merupakan motif songket Manggarai asal Flores, yang artinya bintang. Nama ‘Kopitala’ dipilihnya sesuai dengan makna yang diusungnya, yaitu berbagi kisah seputar kopi yang terinspirasi dari perjalannya ke Flores.

"Kopitala aku bikin setelah aku dari Flores. Jadi, karena udah kenal kopi, akhirnya punya Kopitala ini sebagai tempat cerita aku. Emang dulu kebetulan blogger juga, aku suka nulis. Ya udah, aku dokumentasiin di satu platform khusus, Kopitala," ujar cewek berusia 30 tahun ini.

Walau keseringan menikmati kopi sambil kerja, namun Maria mengaku punya beberapa catatan dalam memilih coffee shop nih, Guys. Referensi coffee shop dengan kategori 'must try' kebanyakan Maria dapat dari teman-teman baristanya.

Dari sekian banyak tempat yang sudah disinggahinya, Bandung masih menjadi pilihan tempat ngopi favoritnya. Selain karena cuaca yang sejuk, barista-baristanya ramah, dan harga kopinya juga masih masuk akal.

"Aku ke coffee shop buat kerja, jadi aku paling milih lokasi yang paling deket terus kopinya enak. Harganya juga sesuai aja. Lokasi, harga masuk akal, tempatnya nyaman, dan hospitality baristanya," Maria menjelaskan.

Setelah 6 tahun mendalami dunia perkopian, Maria yang sebelumnya bekerja sebagai manajer sebuah band alternative ini, akhirnya memantapkan pilihan karir bekerja di sebuah perusahaan kopi dari tahun 2020 sampai sekarang. Anggaran ngopi Maria yang sebelumnya bisa berkisar antara Rp 1 juta hingga 1,5 juta sebulannya pun jadi berkurang, karena setiap hari tersedia kopi gratis di kantor. Wah, asyik banget ya, Guys, kalau hobi dan minat bisa jadi profesi?

Sesuai Selera

Ngomong-ngomong soal coffee shop dan pilihan kopi orang Indonesia, rasanya belum lengkap kalau nggak ngobrol sama barista ya, Guys? Untuk mengetahui kebiasaan ngopi milenial kita, Urbanasia dapat bocoran dari Nizam Pasha Lolowang.

Cowok yang biasa dipanggil Ijam ini sekarang berprofesi sebagai Head Roaster di coffee shop Harapan Djaya, Kemang, Jakarta Selatan. Dari pengamatannya, pilihan kopi milenial sekarang hanya tergantung dari selera masing-masing individu aja. Nggak ada faktor gender atau usia yang mempengaruhi.

"Kadang kita mikir kalau cowok milihnya kopi hitam, atau cowok lebih ngopi dibanding cewek. Sekarang sih udah sama, kayak banyak cowok-cowok mesennya minuman yang seger-seger, nggak yang kopi. Yang cewek bahkan ada yang pesen filter, ada yang pesen split, espresso, sama cappuccino. Sekarang tuh semua udah sama sih,” kata Ijam.

“Kita mikir orang tua lebih pengen kopi hitam, yang muda lebih ke kopi yang casual. Tapi ternyata nggak. Kadang yang muda-muda yang seumuran atau di bawah aku, pesen yang manual brew atau yang kopi banget," tegas cowok 26 tahun ini.

Pilihan klasik memang sering jadi favorit konsumen karena rasa yang lebih familiar. Tapi bukan berarti yang hasil kreasi nggak punya peminat. Buktinya di tempat Ijam bekerja, menu coffee mocktail yang diprediksi akan menggeser tren kopi susu ini disebut Ijam sebagai salah satu best seller.

"Paling banyak sih so far coffee mocktail karena masih jadi salah satu hal yang baru, cukup atraktif juga," jelas Ijam. "Apalagi dengan bahan-bahan yang eksperimental, itu kan bikin jadi lebih menarik makanya orang tertarik buat nyoba. Mereka bilang kayak experience baru lah," imbuh peraih juara 1 coffee signature drink competition Festival Kopi Nusantara Bank Indonesia tahun 2020 ini.

1648291811-Ijam.jpgSumber: Jenis manual brew dan ice long black adalah kopi favorit Ijam (Foto: Instagram @ijambret19)

Ijam sendiri mengaku menggemari kopi manual brew, panas maupun dingin. Namun, karena butuh waktu yang agak lama untuk menyajikan manual brew, maka pilihan kedua Ijam jatuh pada ice long black yang menyegarkan dan lebih simpel persiapannya.

"Sebenernya yang paling aku suka yang manual brew, yang hot atau yang Japanese ice-nya," Ijam menjelaskan preferensinya. "Cuma karena butuh waktu proses 3-5 menit kan cukup lama ya? Jadi kayak ya udah deh ice long black aja. Kayak milih yang lebih cepet jadi aja," ujar Ijam yang minum 1-3 gelas kopi sehari. 

'Pendekar' Kopi

Mengawali karirnya sebagai barista sejak 2016, Ijam berbagi masa-masa sulit saat memulai belajar meracik kopi sebagai pengalaman paling berkesan. Terutama dalam menghadapi 'pendekar' kopi, sebutan untuk para konsumen kritis dengan pengetahuan yang mumpuni soal kopi.

Seringkali, para 'pendekar' ini punya permintaan khusus saat memesan. Jika hasil racikan sang barista salah atau nggak sesuai request mereka, tentu akan ada 'drama' kayak yang dialami Ijam ini nih, Guys.

"Kalau ngadepin pendekar dulu ada nih pas masih awal-awal banget. Si customer ini pesen manual brew, aku bikinin, terus dia bilang 'Kopi lo rasa karbon'. Waduh, maksudnya rasa karbon tuh kayak rasa gassy, cuma pas dulu awal-awal kan nggak ngerti. Wah itu kacau sih, cukup bikin nge-down," kata cowok yang pernah jadi juri ajang Indonesia Coffee in Good Spirits Championship di Bali tahun 2020.

Sebagai penikmat dan pelaku di industri kopi, Ijam berharap kopi Indonesia bisa dikenal lebih luas lagi di pasar internasional. Apalagi kalau kopi lokal kita bisa di-roasting oleh roaster-roaster luar yang kawakan macam Gardelli dan Cupping Room.

"Kayak kemarin kopi Indonesia juga sempet dipakai di kompetisi World Barista Championship kan menarik banget tuh. Jadi, kayak kopi kita bisa bersaing juga loh, nggak cuma kopi dari Amerika Latin atau dari Afrika aja," harapnya.

Selain itu, Ijam juga berharap agar industri kopi kita bisa lebih baik dulu dari hulu ke hilir. Baik dari sisi petani kopi, maupun usaha-usaha kopi bisa saling dukung. Dengan begitu dunia kopi Tanah Air bisa lebih fun tanpa diwarnai persaingan nggak sehat.

Tentu saja, ini juga jadi harapan kita semua ya, Guys?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait