URedu

Kisruh Awardee LPDP Enggan Pulang, ‘Dosakah’?

Ika Virginaputri, Minggu, 14 Agustus 2022 18.49 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kisruh Awardee LPDP Enggan Pulang, ‘Dosakah’?
Image: Beasiswa LPDP (Foto: LPDP)

Jelang akhir Juli 2022, Twitter diramaikan oleh netizen yang ngomongin soal beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Penerima LPDP atau biasa disebut sebagai awardee yang berkuliah di luar negeri, kabarnya ogah kembali ke Indonesia, Guys. Hal itu diungkapkan oleh akun @VeritasArdentur yang menulis ‘Sebuah testimoni tentang para pengkhianat bangsa, penghisap uang pajak rakyat.’

Dalam postingan tanggal 28 Juli itu, sang pemilik akun juga mengunggah tangkapan layar percakapan di WhatsApp. Isinya mengatakan bahwa ada awardee LPDP yang sudah lulus, namun rela jadi pekerja kasar di negeri orang demi menghindari pajak dan biar bisa menyekolahkan anak dengan gratis.

Ya. Percakapan WhatsApp itu juga mengungkapkan biasanya awardee yang enggan pulang merupakan pasangan suami-istri. Selama mereka menimba ilmu dengan biaya dari LPDP, anak-anak mereka juga punya kesempatan untuk bersekolah gratis.

Dicap ‘Pengkhianat Bangsa’

Dalam unggahannya, akun @VeritasArdentur menyebutkan, untuk satu orang awardee, setidaknya perlu Rp 2 miliar uang pajak untuk membiayai studi dan kehidupan mereka, Guys. Ia pun menyebut bahwa pemerintah sebaiknya mengejar para 'awardee kabur' tersebut dan mulai mengevaluasi kebijakan LPDP, termasuk menilai penyeleksi calon awardee.

Ini bukan pertama kalinya akun @VeritasArdentur bersuara soal awardee LPDP yang memilih menetap di luar negeri. Agustus tahun 2020, ia pernah mengomentari sebuah artikel di media dengan menulis ‘#StopLPDPSekarangJuga kalau ternyata uang rakyat hanya dihabiskan utk bikin elit manja’.

Kemudian awal Maret 2022, saat sebuah akun mengeluhkan bagaimana Indonesia nggak punya industri yang bisa menyerap keilmuan alumni LPDP, @VeritasArdentur membalas dengan kalimat ‘Loh, dikasih modal pendidikan kok mereka jadi manja? Bukannya tugas mereka untuk membangun industri? Membuka lapangan pekerjaan? Masak sekolahnya dibayarin pajak, hidupnya juga minta dari pajak?’

Namun, yang paling menarik perhatian tentu saja cuitannya di akhir Juli kemarin. Postingan tersebut mendapat puluhan ribu likes dan belasan ribu retweet. Bahkan, nggak sedikit netizen yang ikut menimpali dengan memberi contoh lain terkait awardee ogah pulang dari negara tempat mereka belajar.

“Saya sempat kenal beberapa waktu saya sekolah di London. Bener suami istri sudah selesai PhD, malah kredit rumah di suburb London, dan kerja di perusahaan. Ada juga yang sengaja gak lulus-lulus supaya lebih lama tinggalnya. Mereka masih dapat gaji karena PNS sepertinya,” tulis salah satu akun.

“Pernah teman se-flat juga seperti ini. Bahkan ada yang sengaja penelitiannya dilama-lamain kelarnya,” imbuh seorang netizen.

“Kalo nongkrong sama warga elpidipi salah satu pembahasan utama adalah cara memperpanjang masa studi. Mulai dari bikin alasan psychological distress, gantian pasangan yang kuliah, memperlama proses pengambilan data, dan sejuta alasan lainnya yang penting gak pulang-pulang,” ungkap netizen lain.

“Di Australia juga banyak yang tidak pulang. Saya bisa sebutkan namanya. Saya sudah pernah mengadukan ini di website LPDP melalui whistle itu tapi nggak ada respons LPDP sama sekali. Miris,” tambah sebuah akun.

Pembahasan ini pun tak ayal memancing kemarahan masyarakat nih, Guys. Bukan saja predikat 'pengkhianat bangsa', netizen bahkan menyematkan sebutan 'korupsi jalur akademis', 'nggak tahu terima kasih' dan 'nggak tahu diri' buat para awardee yang enggan pulang.

Mulai dari Nol

Salah satu yang juga angkat bicara menanggapi cuitan @VeritasArdentur adalah Adinda Nindyachandra, atau akrab disapa Dinda, awardee LPDP tahun 2015 lulusan S2 Arts & Cultural Management University of Melbourne, Australia. Sebagai awardee, Dinda menyampaikan sudut pandangnya.

“Kita awardee LPDP sudah diberi hak kita, yaitu pendidikan yang baik. Jadi, kalau sudah dapat hak, kita harus melakukan apa yang jadi kewajiban kita. Informasi harus kembali ke Indonesia (sesudah selesai belajar) sudah diinfoin sebelum kita dapet beasiswa, loh. Jadi, sudah seharusnya siapapun yang terpilih menjadi awardee melakukan apa yang menjadi kewajibannya; sekolah sampai tuntas dan menggunakan seluruh ilmunya serta tenaga untuk berkontribusi dalam perkembangan Indonesia sebagai negara,” cuit Dinda.

Kepada Urbanasia, Dinda nggak menampik bahwa sebelum memutuskan balik ke Indonesia tahun 2017, ia sempat merasa takut pulang setelah menyelesaikan studinya di Melbourne.

“Jujur, aku takut. ‘Jangan-jangan gue nggak jadi apa-apa di Indonesia’, ‘jangan-jangan gue balik mulai dari nol lagi’. Jujur aja, pas aku kembali ke sini nggak ada bedanya kok S2 sama S1 di sini. Lulusan luar negeri kalo lo nggak bisa kerja, nggak bisa terbuka sama orang, nggak bisa kepakai di sini. Jadi, kalo dibilang balik dari nol, iya. Takut? Iya. Serem? Iya. Jujur, iya semua gue rasain,” ucap Dinda.

Namun cewek yang jadi production assistant di event Asian Games 2018 ini, nggak membiarkan rasa takutnya menghalangi keinginan mengabdi untuk negara. Dinda optimistis bahwa ketakutan-ketakutan itu bisa diatasi meski memang nggak gampang. Salah satu caranya dengan berkolaborasi.

“Jadi, perlu juga kita gali ketakutannya karena apa? Supaya ketika awardee itu pulang, LPDP atau kita mesti ngapain, ya? Mungkin nggak menciptakan industri? Apa yang bisa kita lakukan sama-sama? Berkolaborasi. Awardee ribuan kok. Pasti bisa saling kasih lapangan kerja, pasti bisa saling mengkoneksikan satu sama lain,” sambung Dinda.

Regulasi yang Kuat

Bicara tentang awardee, tentu nggak lepas dari pihak LPDP sebagai pengelola beasiswa. Makanya nih Guys, Dinda beranggapan bahwa apapun yang menjadi kebijakan LPDP, harus didukung oleh sistem yang solid. Khususnya masalah awardee yang tak kunjung pulang ke Tanah Air, Dinda berharap LPDP bisa lebih terbuka dan merangkul semua pihak untuk ngobrol bareng.

“Aku rasa sih banyak sekali lapisan yang harus diperbaiki sebenernya. Namun yang perlu diperbanyak sebenernya diskusi dari kita sih, awardee-nya sama alumninya. Harusnya diskusinya jangan antar pegawai LPDP. Menurut saya, ajaklah ngobrol calon awardee dan awardee-nya. Justru yang mengalami masalah-masalah ini yang perlu diajak ngobrol,” ucap Dinda.

Dinda menilai diskusi terbuka akan punya hasil positif untuk perbaikan pengawasan dan tindakan preventif dari LPDP. Menurut Dinda, ada celah dalam aturan kewajiban berkontribusi bagi awardee. Melansir panduan calon penerima beasiswa LPDP, Penerima Beasiswa wajib kembali ke Indonesia untuk berkontribusi, sekurang-kurangnya dua kali masa studi ditambah satu tahun (2n+1, n adalah masa studi), sejak tiba di Indonesia bagi Penerima Beasiswa luar negeri atau yang telah menyelesaikan studi di dalam negeri dan tidak mengambil internship di luar negeri.

“Yang paling penting adalah setiap adanya regulasi itu perlu didukung support yang kuat, nih. Karena menurut aku, ada loophole di peraturan 2n+1. Iya kalian bikin (aturan) 2n+1, tapi misalnya follow up-juga ke imigrasi. Misalnya nih, contoh aku seorang awardee. Terus aku bandel nggak pulang, terus aku nggak dicari imigrasi, aku nyantai aja. Ya aku ngerasa 'ya gue nggak dicariin ini’. Itu harus dikerasin, harus ada sistem yang men-support,” usul Dinda.

Momen Evaluasi 

Meski tengah jadi pembicaraan hangat, Dinda memandang bahwa kisruh kontroversi LPDP adalah momen yang tepat untuk berbenah dan mengevaluasi seluruh lapisan LPDP. Jangan sampai 'karena nila setitik, rusak susu sebelanga'. Soalnya LPDP sudah dikenal sebagai lembaga beasiswa prestisius yang jadi incaran banyak talenta masa depan bangsa.

“LPDP itu bukan untuk orang mampu, bukan untuk orang miskin, atau apapun itu, tapi untuk orang yang dinilai mampu dan berintegritas. Semua cuma ngejelek-jelekin awardee yang nggak pulang aja. Toh, sekarang udah ada datanya kok yang belum pulang 170an. Itu 0,9 persen dari total awardee. Berarti jangan ‘nila setitik rusak susu sebelanga’ aja sih,” kata Dinda.

“Jadi boleh menyuarakan, boleh ngomongin masalah, tapi juga kasih solusinya dong. Solusinya bukan hapusin aja LPDP. Menurut saya, kalau LPDP dihapuskan, 2045 itu Indonesia Emas nggak akan bisa ke-achieve. Karena LPDP suatu komponen nih. Pemuda Indonesia yang memang terpilih, yang memang diundang untuk sekolah,” lanjut Dinda menutup pembicaraan.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait