URnews

Konstitusi Baru Tunisia Bakal Tanpa Referensi tentang Islam

Nivita Saldyni, Rabu, 8 Juni 2022 17.13 | Waktu baca 2 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Konstitusi Baru Tunisia Bakal Tanpa Referensi tentang Islam
Image: Sadok Belaid. (Twitter @radioexpressfm).

Jakarta - Sadok Belaid (83) ahli hukum yang ditunjuk Presiden Tunisia Kais Saied untuk menulis ulang konstitusi Tunisia mengajukan rancangan konstitusi tanpa referensi apapun tentang Islam. Belaid menyebut model ini digunakan untuk memerangi partai-partai Islam.

Melansir France24, dalam artikel pertama konstitusi Tunisia yang lama disebutkan negara itu adalah negara yang bebas, merdeka dan berdaulat. Dalam poin yang sama disebutkan juga, Islam adalah agamanya dan Arab adalah bahasanya. 

Namun kepada kantor berita AFP, Belaid menyebut 80 persen rakyat Tunisia menentang ekstremisme dan penggunaan agama untuk tujuan politik.

"Itulah yang ingin kami lakukan, cukup dengan menghapus Pasal 1 dalam bentuknya yang sekarang," ungkapnya dalam sebuah wawancara bersama AFP. 

Ia menegaskan tak akan akan ada referensi tentang Islam dalam rancangan konstitusi baru itu. Nantinya draft tersebut bakal disampaikan kepada Presiden Tunisia jelang referendum, 25 Juli mendatang. Tepatnya Belaid berencana mempresentasikan rancangan itu pada 15 Juni, sebelum Saied menandatangani rancangan finalnya dan dilanjutkan dengan pemungutan suara.

Konstitusi baru itu sendiri disebut sebagai jantung bagi Saied untuk kembali membangun sistem politik di negara itu setelah ia merebut kekuasaan dalam langkah-langkah yang digambarkan oleh saingannya sebagai kudeta.

Belaid mengaku ingin menangani partai-partai yang terinspirasi Islam, seperti Ennahdha. Namun menurutnya, jika agama digunakan dalam ekstremisme politik, Tunisia tak akan mengizinkannya. 

"Kami memiliki partai politik dengan tangan kotor. Suka atau tidak suka, demokrat Prancis atau Eropa, kami tidak akan menerima orang-orang kotor ini dalam demokrasi kami," sambungnya.

Konstitusi 2014, menurut Belaid telah menciptakan sistem yang membuat presiden dan parlemen memiliki kekuasaan eksekutif. Keberadaan aturan itu membuat gerak presiden kurang leluasa. 

"Presiden adalah panglima tertinggi. Jadi dia seharusnya tidak hanya memiliki kekuatan untuk mengerem tetapi juga kekuatan untuk memimpin - secara moderat," ungkapnya

"Tetapi sistem baru harus disusun sehingga presiden tidak dapat didorong atau tertarik oleh godaan kediktatoran, tirani, atau penyalahgunaan kekuasaan", pungkasnya.

Sebelumnya, Presiden Tunisia Kais Saied yang mengambil alih pemerintahan dan membubarkan parlemen mengumumkan bakal mengganti konstitusi demokratis yang dibuat pada 2014 dengan konstitusi baru lewat proses referendum yang bakal digelar pada 25 Juli. Ia juga berencana menyelenggarakan pemilihan parlemen baru pada Desember mendatang.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait