URnews

Memahami Aturan Penamaan Suatu Wilayah Pakai Bahasa Asing

Romanio Bahama Lazuardy, Rabu, 20 Januari 2021 14.37 | Waktu baca 4 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Memahami Aturan Penamaan Suatu Wilayah Pakai Bahasa Asing
Image: Museum Benteng Vredeburg. (vredeburg.id)

Jakarta - Penamaan suatu wilayah terkadang jadi jadi masalah bagi sekelompok masyarakat. Pada tulisan saya sebelumya mengenai Tren dan Masalah Penamaan Berbahasa Inggris di Wilayah Pemukiman, menyoroti maraknya penamaan dengan bahasa asing di berbagai perumahan di Indonesia.

Tentu ini bertujuan mendongkrak nilai komersial pemukiman yang ditawarkan. Ini karena digunakannya bahasa asing, dapat menimbulkan kesan yang lebih mewah, dibanding jika tetap menggunakan Bahasa Indonesia.

Walaupun jika dilihat lebih seksama, ada berapa perumahan mewah di Jakarta, yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dan tetap banyak pembelinya. Perumahan yang menggunakan bahasa asing, nampak tak percaya saja dengan daya jual Bahasa Indonesia.

Relevan dengan tren yang makin menggejala itu, bermaksud melindungi kedaulatan dan keamanan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seraya melestarikan nilai-nilai budaya, sejarah, dan adat istiadat serta mewujudkan tertib administrasi pemerintahan, Pemerintah telah menerbitkan PP No. 2 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.

Peraturan tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan informasi mengenai penamaan suatu rupabumi dikelola oleh suatu badan seperti yang tertuang pada pasal 1 (satu) nomor 7 (tujuh) dan nomor 9 (sembilan).

Badan yang dimaksud ialah Badan Informasi Geospasial (BIG) yang telah bertugas selama 51 tahun, mengelola informasi geospasial.

Hal lain apa yang diatur dari PP ini ? Dalam sebuah media pemberitaan online, menurunkan berita seiring disahkannya PP ini, menggiring, seolah-olah menggunakan bahasa asing untuk rupabumi, bukan larangan lagi. Penggunaan Bahasa asing memang tak sepenuhnya dilarang, namun ada ketentuan yang menyertainya.

Prinsip Penamaan Rupabumi

Penamaan tempat-tempat di Indonesia, lazimnya menggunakan bahasa Indonesia seperti yang tertuang pada PP Nomor 2 Tahun 2021 Pasal 3 poin a yang menyebutkan nama rupabumi harus memenuhi prinsip-prinsip nama rupabumi salah satunya menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa asing, misal bahasa Inggris dapat digunakan dalam penamaan suatu tempat.

Namun ada syaratnya : memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, atau keagamaan. Nama seperti, Benteng Vredeburg di Jogjakarta, Benteng Vastenberg di Surakarta atau Benteng Duurstede di Maluku sebagai pengingat sejarah perlawanan terhadap Belanda di kota-kota tersebut.  

Sedangkan adanya Jalan Casablanca di Jakarta, sebagai pengingat adanya kerjasama sister city antara kota Jakarta dengan Maroko di tahun 90-an.

Jadi tidak bisa semena-mena memberikan nama suatu tempat dengan bahasa asing tanpa memerhatikan nilai sejarah didalamnya. Terlebih jika pertimbangannya hanya unsur komersial belaka.

Sejarah Penamaan Tempat Berbahasa Asing

Sejarah mencatat, Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul.

Pihak Belanda mengusulkan kepada sultan agar diizinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar.

1602484883-benteng-bredeburg.JPGSumber: Museum Benteng Vredeburg. (dok. Museum Benteng Vredeburg)

Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).

Pada tahun 1767, oleh gubernur saat itu,  W.H. Van Ossenberg, bangunan benteng lebih disempurnakan dan dinamai Rustenburg yang berarti 'Benteng Peristirahatan'. Kemudian Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain.

Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti 'Benteng Perdamaian'.

Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.

Berdasarkan sejarah tersebut, ada baiknya penamaan rupabumi dapat mengikuti peraturan yang telah pemerintah susun. PP Nomor 2 Tahun 2021 disusun dengan memempertimbangkan dapat melestarikan nilai-nilai budaya, sejarah dan adat istiadat yang dimiliki bangsa Indonesia.

Bangsa yang baik adalah bangsa yang dapat menghargai sejarah bangsa itu sendiri bukan?

 

**) Penulis merupakan Pranata Humas Badan Informasi Geospasial.

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis secara pribadi, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait