URnews

Mengenal Jasa Trauma Cleaner di Luar Negeri

Ika Virginaputri, Jumat, 11 Juni 2021 19.16 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mengenal Jasa Trauma Cleaner di Luar Negeri
Image: ilustrasi trauma cleaner (Freepik/DouceFleur)

Jakarta - Sejak ada drama korea 'Move to Heaven', kita jadi tahu ada profesi 'trauma cleaner'. Tugasnya adalah membersihkan barang-barang pribadi orang yang sudah meninggal.

Bagi beberapa orang, beberes dan bersih-bersih bukan tugas yang menyenangkan. Apalagi jika berkaitan dengan orang yang sudah meninggal.

Tapi, seperti yang kita lihat di 'Move to Heaven', di luar negeri pekerjaan ini bukan hal baru, guys. Penyedia jasanya banyak dan bisa dicari dengan mudah. Gimana sih keberadaan jasa atau profesi ini? Yuk simak cerita di bawah ini.

1623411813-MoveToHeaven.jpgSumber: Trauma cleaner di serial 'Move to Heaven' (Netflix)

Butuh Mental yang Kuat

Setiap kematian pasti menimbulkan rasa duka dan kesedihan mendalam. Bahkan bisa disebut tragis jika kematian itu terjadi akibat sesuatu yang tak wajar. Misalnya, karena kecelakaan, pembunuhan, atau bunuh diri.

Dalam film-film luar negeri, tempat terakhir di mana si korban berada atau tempat kejadian perkara (TKP) sering digambarkan dengan suasana kotor, berantakan dan menjijikkan.

Dalam kehidupan nyata, memang tak jauh berbeda ceritanya. Terutama jika si korban sebatang kara, alias hidup sendiri tanpa keluarga dan teman.

Kil Hae-yong, seorang trauma cleaner sejak tahun 2011 mengatakan, di Korea Selatan ada sekitar 5 jutaan orang yang tinggal sendirian dan diperkirakan bakal meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun ke depan.

Di negara dengan masyarakat individualis, kasus 'lonely death' atau fenomena meninggal sendirian memang banyak terjadi. Tak jarang berita kematiannya baru terungkap setelah beberapa lama di mana kondisi jenasah sudah tidak utuh.

Inilah yang membuat jasa bersih-bersih TKP sangat dibutuhkan di luar negeri. Permintaan akan layanan beberes ini biasanya datang dari pemilik rumah/gedung apartemen tempat si korban tinggal. Bisa juga dari pihak keluarga yang sangat berduka sehingga enggan bersentuhan dengan barang-barang peninggalan korban.

Sedangkan penyedia jasanya adalah perusahaan swasta yang dikelola secara profesional. Artinya para petugas pembersih dilatih secara khusus dan dibekali ilmu-ilmu forensik.

Mulai dari pengetahuan tentang virus dan penyakit menular, bahan-bahan biologis dan kimia berbahaya, limbah dan lingkungan hidup, sampai trik menghadapi keluarga yang dikuasai emosi.

Miyu Kojima yang bekerja untuk jasa pembersihan bernama ToDo di Jepang mengakui, "Bicara dengan keluarga yang ditinggalkan adalah bagian tersulit. Saya nggak tahu seberapa banyak yang bisa saya tanyakan atau bicarakan."

Glenn Cox, general manager di perusahaan Southern Bio-Recovery mengungkapkan bahwa petugas pembersih seringkali harus bertindak sebagai konselor yang menenangkan pihak keluarga.

"Biasanya keluarga menceritakan semua hal ke kami. Mereka butuh melampiaskan perasaan," kata Glenn. "Terkadang saya harus memeluk mereka..."

Bekerja belasan jam bahkan bisa sampai berhari-hari untuk satu kali panggilan, profesi ini memang menuntut kekuatan stamina.

Namun kriteria yang lebih utama adalah kekuatan hati dan mental untuk berhadapan dengan sisi lain dari kehilangan, kematian dan kejahatan.

1623413053-Cleaner.jpgSumber: Profesi trauma cleaner yang sering menghadapi hal-hal negatif rentan terkena gangguan mental (Freepik/Albertyurolaits)

Cory Chalmers, pemadam kebakaran yang mendirikan usaha pembersihan TKP bernama Steri-Clean Inc di California bilang, "Nggak semua orang bisa melakukan pekerjaan ini. Nggak peduli sebesar dan sekuat apa pun badanmu, ini kerjaan yang butuh kekuatan mental."

Jadi nggak heran kalau Cory juga menyiapkan sesi konseling bagi karyawannya yang menunjukkan perubahan sikap dan perilaku.

Selain terpapar bahaya virus dan penyakit menular dari orang meninggal dan kotornya TKP, resiko terberat profesi trauma cleaner ini adalah trauma itu sendiri.

Melihat kematian, korban kejahatan atau kekerasan, serta menghadapi emosi keluarga yang berduka setiap hari tentu membawa beban psikologis yang tidak mudah diatasi.

Bayaran Menggiurkan

Walau berat dan penuh resiko, profesi beberes ini ternyata diminati banyak anak muda karena bisa dilakukan paruh waktu.

Hal itu diungkapkan oleh Dominik Kracheletz, manajer TOHR, perusahaan pemakaman yang juga menyediakan jasa trauma cleaner di kota Kassel, Jerman, yang menerima banyak lamaran dari anak muda.

Tentu karena bayarannya yang menggiurkan. Semakin kotor dan berantakan, maka waktu pengerjaannya semakin lama. Jadi semakin tinggi juga harga yang harus dibayar klien. Tarifnya dipatok per jam atau per kunjungan.

Menurut Biro Statistik Pekerja di Amerika Serikat, pada Mei 2019 profesi ini rata-rata bergaji US$ 43.900 atau sekitar Rp 625 juta per tahun. Sedangkan situs pencari kerja SimplyHired.com bilang, pada tahun 2020 lalu rata-rata gaji trauma cleaner sekitar US$ 38.196 atau sekitar Rp 543 juta per tahun.

Jadi jika dibagi 12 bulan, terhitung gaji profesi ini berkisar di angka Rp 45-52 juta per bulan.

Sedikitnya jumlah pemain di industri 'bersih-bersih' ini makin mendongkrak harga layanan. Angka yang didapat Kil Hae-yong untuk mengerjakan satu kasus di Korea Selatan hampir menyamai gaji trauma cleaner di Amerika Serikat selama sebulan.

Kil Hae-yong menerima 3-4 juta Won atau sekitar US$ 2.600-3.500 = Rp 38-51 juta. Dan dalam sebulan, pria bekas karyawan restoran ini bisa menyelesaikan enam sampai tujuh kasus.

Tak kalah fantastis dengan nominal yang didapat Tugrul Cirakoglu di Belanda. Di tahun 2019, perusahaan pembersihan TKP atau kejadian ekstrem yang dia dirikan, Frisse Katter, menghasilkan US$ 300.000 atau Rp 4,2 miliar.

Uang mungkin jadi motivasi pertama yang mendorong para pembersih ini menekuni karier mereka. Namun seiring berjalannya waktu, keinginan membantu sesama jadi lebih dominan.

Demi membantu sesama, Ron Gospodarski dari perusahaan Bio-Recovery Corp yang sudah berpengalaman lebih dari 15 tahun membersihkan TKP di New York bahkan bersedia kerja tanpa dibayar,

"Kalau ada orang yang nggak punya uang, mereka tetap bisa telepon kami. Kami akan tetap mengerjakan tugasnya. Nggak bakal ada keluarga yang kami tolak," katanya.

Sama halnya dengan Scott Vogel, pendiri Emergi-Clean di Florida. Scott sering menerima telepon yang membutuhkan jasanya saat dia menghadiri acara keluarga atau di tengah piknik bersama anak. Saat itu terjadi, Scott akan meninggalkan apa pun yang sedang dia lakukan dan bergegas pergi.

"Saya harus menolong orang di saat terberat mereka. Mungkin saya nggak bisa duduk atau nangis bareng keluarga korban, tapi saya ada di sana untuk menolong mereka dan mengerti perasaan mereka." ujar Scott.

Ada juga cerita Eileen de Jager dan Roelien Schutte dari Afrika Selatan. Berawal dari pengalaman melihat seorang ibu yang harus membersihkan lokasi bunuh diri putrinya, dua bersaudara ini mendirikan Crime Scene Clean Up.

Sejak itu dia dan Roelien ingin bertekad menolong orang-orang yang berduka dan kehilangan, menyelamatkan mereka dari rasa trauma akibat harus membereskan 'yang tersisa' dari orang kesayangan yang telah tiada.

"Membersihkan bekas darah seseorang yang kita sayangi itu menyeramkan." ujar Eileen.

Nah, itu tadi serentetan kisah jasa atau profesi trauma cleaner di luar negeri. Apakah Indonesia juga punya hal serupa? 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait