URstyle

Bingung dan Parno Orang Tua Gara-gara Gagal Ginjal Akut

Ika Virginaputri, Rabu, 9 November 2022 19.07 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Bingung dan Parno Orang Tua Gara-gara Gagal Ginjal Akut
Image: BPOM Badan Pengawas Obat & Makanan (Foto: AntaraNews)

Jakarta - Riska parno. Anak semata wayangnya, Audrey mendadak demam tinggi. Dia tak berani memberi Audrey sirop menurun panas seperti biasanya.

Berita kasus gagal ginjal yang masih marak bikin dia parno. Bahkan ketika list obat yang disebut aman dirilis Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Riska tetap khawatir.

Dia hanya memberikan terapi skin-to-skin pada buah hatinya. Namun sudah dua hari, demam Audrey tak juga kunjung turun. Riska dan suaminya pun sepakat membawa Audrey ke ruma sakit.

“Walaupun daftar obat yang aman sudah dirilis, tetap saja susah percaya,” kata Riska saat berbincang dengan Urbanasia.

Ke rumah sakit sebenarnya juga bikin Riska khawatir karena Audrey juga akan diberi obat. Namun tak ada pilihan lain waktu itu.

Saat dites darah. Anaknya ternyata terkena demam berdarah. Ada sedikit perasaan lega di dada Riska namun dia masih gundah karena Audrey masih panas. Baru di hari keempat, panas Audrey menurun. Audrey pun kembali tampak cerita dan sudah bisa bermain-main bersama orang tuanya di rumah sakit.

Hal sama juga dirasakan Devi. Anaknya, Alula juga sempat sakit saat gagal ginjal akut merebak. Dan karena tak berani memberi sang anak obat-obatan, Devi pun mengandalkan bahan-bahan alami.

“Kemarin habis batuk pilek, ya paling dikasih madu aja,” kata Devi saat ngobrol bareng Urbanasia.

Devi termasuk orang yang parnoan dengan obat-obatan. Dia baru akan membawa sang anak ke dokter kalau sudah sakit yang nggak sembuh-sembuh.

Kabar soal kasus gagal ginjal akut ini memang bikin banyak orang tua khawatir. Bahkan di sejumlah tempat, banyak orang tua yang ramai-ramai membuang stok obat sirop.

“Banyak yang buang obat terus jadi ke dokter padahal sebelumnya obat penurun panas kan bisa dibeli langsung di apotek,” kata Leny, salah satu orang tua yang khawatir.

Para orang tua khawatir dengan obat-obatan yang dijual bebas. Menurut mereka, harusnya kalau sudah dijual di apotik, obat-obatan itu aman dikonsumsi karena sudah mendapat izin dari BPOM.

Namun ternyata, obat-obatan yang bahkan diresepkan oleh dokter itu mengandung senyawa berbahaya. Yang mengancam nyawa buah hati mereka.

“Kita harus percaya siapa? Kan sudah ada izin BPOM, ternyata kok kayak gini? Siapa yang nggak parno,” kata Riska.

BPOM memang menjadi sasaran tembak banyak pihak. Masyarakat berpikir, dengan dirilisnya izin BPOM, maka sudah pasti aman.

Namun ternyata, obat yang sudah dijual di pasar ternyata justru menjadi biang keladi gagal ginjal akut yang sudah merenggut lebih dari 190 nyawa.

Padahal berdasarkan Peraturan Presiden No 80 tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pasal 2 dan 3 menuliskan bahwa BPOM bertanggung jawab menyelenggarakan fungsi pelaksanaan pengawasan di bidang pengawasan obat dan makanan, sebelum dan selama produk beredar,

Singkatnya nih Guys, BPOM harus memastikan produk obat dan makanan yang kita konsumsi sudah memenuhi standar kualitas, persyaratan keamanan, serta khasiat atau manfaatnya.

Maladministrasi

Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng mengungkapkan pihaknya berencana memanggil Kementerian Kesehatan dan BPOM terkait dugaan maladministrasi dalam kasus ini.

“Iya kami sedang melakukan investigasi. Masih proses,” ungkap Robert lewat pesan singkat saat Urbanasia mengonfirmasi rencana pemanggilan tersebut.

Robert awalnya menyampaikan dugaan maladministrasi yang terjadi di Kementerian Kesehatan terkait dengan validitas dan akurasi data pasien. Sementara maladministrasi di BPOM berhubungan dengan pengawasan sebelum dan sesudah produk obat beredar.

“Kelalaian yang terjadi di Badan POM terjadi pada pengawasan, baik pada pre-market atau sebelum obat diedarkan dan post-market control terkait dengan pengawasan setelah produk beredar,” kata Robert dalam keterangan pers, Selasa (25/10/2022).

Ombudsman melihat BPOM tidak maksimal dalam melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi dengan mekanisme uji mandiri. Badan POM terkesan menyerahkan kewenangan negara kepada perusahaan farmasi dan bersifat pasif karena hanya menunggu laporan tanpa aktif melakukan kontrol.

Ombudsman juga mempermasalahkan kesenjangan antara standarisasi yang diberlakukan BPOM dengan implementasi yang sebenarnya di lapangan. Ombudsman merujuk pada beredarnya obat-obatan dengan cemaran kimia berbahaya yang melebihi ambang batas aman.

“Standarisasinya tidak terjaga dengan baik oleh para produsen dan Badan POM tampaknya juga tidak melakukan kontrol yang ketat, yang efektif, atas pelampauan ambang batas kandungan senyawa yang berbahaya,” sambung Robert.

Sementara di sisi lain, Kepala BPOM Penny Lukito menyatakan pihaknya sudah bekerja sesuai prosedur. Menurutnya, yang harus bertanggung jawab adalah perusahaan farmasi sebagai produsen obat yang melanggar aturan.

“Ada industri, apalagi dia yang memproduksi. Dia punya kewajiban untuk quality control. Kalau mereka tidak melakukan, ya mereka harus menanggung tanggung jawab tersebut,” tegas Penny.

Penny menambahkan BPOM sudah melakukan tugas pengawasan dengan ketat. Termasuk dalam membuat standar dan pemberian sanksi.

“Nah, sekarang tanggung jawabnya ada di produsen juga. Kita meminta pertanggungjawaban dari produsen obat yang ternyata mengandung pencemar yang sangat tinggi itu,” kata Penny.

Penny juga mengungkapkan bahan baku yang dipermasalahkan ternyata menggunakan industrial grade, dan bukan pharmaceutical grade khusus untuk obat-obatan. Menurut Penny, hal ini sudah di luar kewenangan BPOM.

Landasan Hukum

Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada M Fatahillah Akbar mengungkapkan persoalan ini bisa menggunakan Undang Undang Kesehatan tahun 2009 sebagai dasar hukum.

“Jadi di UU Kesehatan, ada dua jenis delik. Ada yang tanpa izin (Pasal 197) dan ada yang tidak sesuai standar (Pasal 196). Jadi, bisa dimaknai setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan obat, sekalipun ada izin, namun tidak sesuai standar, maka bertanggung jawab,” ungkap Akbar kepada Urbanasia, Jumat (4/11/2022).

Akbar menambahkan, pasal tersebut memang cenderung menyasar pihak produsen, distributor dan penjual. Namun, bukan berarti BPOM aman dari ancaman tuntutan hukum, Guys. Masyarakat yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action terhadap BPOM.

“Ketika sesuatu yang tidak sesuai standar malah diberikan izin oleh BPOM tanpa mitigasi risiko yang sesuai, maka BPOM setidaknya sudah melakukan tindakan melawan hukum. Setidaknya bisa digugat oleh masyarakat dengan class action untuk ganti kerugian kepada para korban,” imbuh Akbar.

Selain UU Kesehatan, Akbar juga menyebut pasal 359 KUHP sebagai dasar hukum yang bisa digunakan untuk masyarakat yang dirugikan mengajukan gugatan hukum. BTW Guys, pasal 359 KUHP berbunyi:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Namun Akbar juga mengingatkan, gugatan melawan BPOM menggunakan pasal ini harus disertai dengan pembuktian.

“Dalam konteks pidana, memang untuk Pasal 359 KUHP bisa. Namun, harus dibuktikan bahwa perbuatan BPOM dalam melegalisasi berakibat pada peredaran obat yang tidak sesuai standar,” Akbar berujar.

“Cuma menurut saya, solusi utamanya adalah perbaikan sistem pengawasan agar lebih hati-hati daripada menimbulkan korban lagi ke depan,” pungkasnya.

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait