URguide

Mereka yang Memilih Childfree

Ika Virginaputri, Sabtu, 17 Juli 2021 21.54 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Mereka yang Memilih Childfree
Image: ilustrasi childfree (Freepik//FlatIcon)

Jakarta - Berkembang biak adalah cara makhluk hidup melestarikan jenisnya demi mencegah kepunahan. Utamanya bagi manusia. Hidup normal adalah bereproduksi dan memiliki keturunan. Padahal tak semua orang menginginkan adanya anak dalam hidup mereka. Generasi milenial dan Gen Z menyebut keputusan hidup tanpa anak ini dengan istilah childfree atau bebas-anak.

Beberapa menolak berkomitmen membesarkan anak dengan beragam alasan. Mulai dari faktor psikologis, ekonomi, sampai aspek medis yang berkaitan dengan penyakit genetik. Seperti cerita Bardjan dan Ezra (nama disamarkan) berikut ini.

Banyak Waktu untuk Bahagia  

Sebagai perempuan, Bardjan tak pernah merasakan keinginan untuk menjadi seorang ibu. Tak pernah sama sekali terlintas di benaknya untuk membina keluarga dan membesarkan anak. Menurut Bardjan, hal itu terjadi begitu saja dan akhirnya makin menguat seiring berjalannya waktu.

"Saya memang tak pernah mematok kebahagiaan sebagai perempuan adalah berkembang biak," ujar Bardjan. 

"Saya merasa tak pernah ditakdirkan untuk menjadi ibu. Saya punya kuasa untuk memilih akan menjadi perempuan seperti apa."

Lebih lanjut, Bardjan bercerita bahwa pilihan hidupnya itu juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi keluarga. Bardjan mengaku dirinya tak pernah sembuh dari trauma masa kecil menyaksikan ayah dan ibunya bertengkar hebat gara-gara masalah keuangan. Di benaknya, terlintas pikiran jika saja dia tak pernah lahir ke dunia, hidup orang tuanya pasti akan lebih bahagia tanpa perlu mengorbankan waktu, tenaga dan emosi untuk membesarkannya. Dari sisi psikologi, Bardjan juga merasa sifat dirinya jauh dari kata 'matang' dan 'dewasa'. Tak cocok membesarkan anak.

Meski begitu, Bardjan mengaku amat sangat menghargai sebuah pernikahan. Dan dia merasa bersyukur dinikahi pria dengan idealisme yang sama. Bardjan dan suami yang menikah pada Juli 2018 sama-sama menyadari bahwa memiliki anak di tengah kondisi dunia yang makin tak kondusif malah akan bikin hidup makin runyam.

1626531513-BW2.jpgSumber: Bardjan dan sang suami berbagi pemikiran yang sama tentang pilihan hidup tanpa anak (foto: dok pribadi)

Bardjan meyakini suaminya adalah pendamping yang tepat saat mereka nanti menua dan menemui banyak tantangan terkait pilihan childfree yang mereka ambil. Keduanya juga menyadari, jalan hidup mereka saat ini merupakan sesuatu yang kontroversial untuk budaya Indonesia. Makanya mereka tak pernah terang-terangan mengakui keputusan childfree mereka kepada pihak keluarga.

"Saya tak mau merasa tertekan dengan gempuran pandangan mereka yang pastinya masih konvensional dan religius, ini bisa jadi beban mental berat bagi saya," kata Bardjan. 

"Di sisi lain, kami juga tak mau mereka kecewa. Lalu, apa yang akan kami lakukan? Membiarkan tahun demi tahun terlewat begitu saja hingga anggota keluarga capek sendiri buat bertanya soal anak," tambahnya lagi.

Memilih sesuatu yang terbilang 'aneh' dan tak lazim, membuat Bardjan dan suami seringkali mendengar komentar yang terkesan meragukan keputusan mereka. Misalnya dari teman-teman yang bilang, "Belum mau kali, nanti juga mau", “Mana mungkin nikah kok nggak mau punya anak?”.

"Menurut saya, mereka yang menganggap bahwa keputusan saya temporer itu denial. Mereka enggan mengakui ada orang yang sudah berkeluarga tapi nggak mau punya anak. Mereka ogah menerima bahwa ada orang-orang yang menolak konsep keluarga tradisional. Mereka takut menerima fakta bahwa tak semua perempuan ditakdirkan jadi ibu. Padahal bagi saya keputusan itu sudah bulat dan tak bersifat sementara. Sama halnya seseorang memilih suatu keyakinan," paparnya.

Bardjan sadar risiko yang dihadapinya, namun dia tetap menyimpan harap suatu hari nanti akan punya support system dari banyak orang dengan pikiran terbuka dan mendukung pilihannya. Lantas bagaimana Bardjan dan sang suami berencana menjalani pernikahan childfree mereka?

"Kami akan melakukan hal-hal menyenangkan bersama dan berusaha keras tak mempedulikan apa kata orang," terang Bardjan. 

"Kami ingin membangun sebuah kerajaan di mana saya dan dia bisa berbuat apa saja selagi itu membuat kami tetap waras. Kami akan membeli tempat tinggal sendiri, memelihara hewan peliharaan yang banyak, dan tetap berhubungan baik dengan anggota keluarga lainnya. Suami saya ingin sekali membuka perpustakaan sendiri. Saya ingin sekali punya shelter kucing. Semoga kelak tabungan kami mencukupi untuk mewujudkan impian-impian kecil itu. Begitu banyak hal yang belum kita lakukan di dunia ini sehingga kami punya banyak waktu untuk berbahagia tanpa harus berketurunan."

Fokus pada Diri Sendiri

Keputusan childfree adalah jalan terjal sepi yang tidak dilewati oleh banyak orang. Selain Bardjan, ada juga Ezra yang memilih jalan tersebut. Berbeda dengan Bardjan, Ezra adalah pria single dan belum menikah. Ezra mengaku sebagai penyuka sesama jenis. Namun pria lulusan sebuah institut seni tersebut mengaku orientasi seksualnya sama sekali bukan penyebab dia memilih childfree.

"Tidak ada sangkut pautnya dengan orientasi seksual saya. Karena memang keputusan childfree sudah ada sebelum saya sadar memiliki ketertarikan dengan sesama jenis," jelas Ezra.

1626532278-P4253469.JPGSumber: Siluet Ezra saat berfoto dengan latar belakang matahari tenggelam di Tanah Lot, Bali (foto: dok pribadi)

Saat masih duduk di sekolah menengah pertama adalah pertama kalinya Ezra yakin memutuskan untuk tidak mau punya anak. Menurutnya, faktor yang melatarbelakangi pilihan itu bersumber dari kenyataan pahit hidup sehari-hari. Salah satunya adalah pengalaman buruk dia sebagai korban bullying.

"Karena banyak kasus kekerasan rumah tangga, anak-anak yang lahir dan tidak diurus oleh keluarganya, dan juga sempat menjadi korban bullying membuat saya semakin yakin untuk tidak memiliki anak. Oh iya, biaya mengurus anak juga besar sekali sehingga saya sendiri tidak yakin ingin mengurus anak," tegasnya.
 
Namun berbeda dengan Bardjan, Ezra sedikit lebih terbuka akan pilihan childfree-nya ke orang tua. Respons orang tua memang bisa ditebak. Ezra dianggap aneh dan tak bersyukur. Namun hal itu tak mengubah pendiriannya.

"Saya selalu menjelaskan mengenai korban kekerasan dalam rumah tangga terhadap anaknya dan sikap beberapa orang tua yang tidak peduli dengan anaknya. Orang tua saya menanggapi saya dengan pikiran yang aneh sih sebenarnya. Pernah juga dianggap tidak bersyukur, tapi mau bagaimana lagi..." ujar Ezra, pasrah.

Ezra berharap suatu hari nanti dia bisa menemukan pasangan hidup yang juga sepemikiran. Lalu bagaimana jika ternyata pasangannya nanti ingin memiliki anak? Apakah Ezra akan bisa mengubah keputusannya?

"Saya sendiri juga tidak begitu yakin bagaimana keputusan hidup saya kedepannya. Saya sendiri berharap jika memang saya harus memiliki anak di masa depan nanti, itu memang karena keinginan saya 100%. Jika pasangan saya yang menginginkan anak, harus dibicarakan secara baik dari segi finansial dan mental, baru memutuskan adopsi anak." 

Meski kekurangan dukungan dari keluarga, Ezra mendapatkan gantinya dari teman-teman. Menurutnya, cukup banyak juga teman-temannya yang memilih childfree.

"Beberapa teman saya ada yang memutuskan untuk childfree demi mendapatkan kekebalan mutlak dari dirinya sendiri, atau karena permasalahan ekonomi dan kesiapan mental yang kurang untuk memiliki anak." 

Kekebalan mutlak yang dimaksud Ezra adalah kesempatan untuk fokus pada tujuan diri sendiri. Sama seperti Bardjan, Ezra juga ingin punya lebih banyak waktu membahagiakan diri dengan mewujudkan impian-impiannya sebagai rencana hidup di masa depan.  

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait