URtech

Metaverse, Semesta Baru Tanpa Batas

Ika Virginaputri, Kamis, 6 Januari 2022 23.27 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Metaverse, Semesta Baru Tanpa Batas
Image: Metaverse Augmented Reality (ilustrasi: UNMCedu)

Sejak memasuki era internet, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga kita berhadapan dengan banyak hal baru. Buat Urbanreaders yang milenial nih, waktu sekolah dulu pernah nggak kepikiran ngobrol bareng idola lewat media sosial, cari bahan skripsi lewat smartphone dengan spesifikasi ala komputer, atau berinvestasi pakai mata uang digital? Nah, dengan lazimnya semua hal itu saat ini, kita pun makin banyak dihadapkan dengan teknologi yang makin 'ajaib'. Salah satunya yang lagi ramai diomongin netizen belakangan ini: metaverse. Yuk cari tahu apa sih metaverse ini? 

Dunia Tiga Dimensi 

Seluruh dunia sekarang lagi sibuk ngobrolin metaverse. Sebuah ide yang dilontarkan Mark Zuckerberg saat memperkenalkan Meta sebagai nama baru Facebook akhir Oktober 2021 lalu. Secara etimologi, 'meta' berasal dari kata Yunani yang berarti 'melampaui'. Dan 'verse' adalah versi singkat dari kata 'universe' yang berarti semesta. Jadi, metaverse dimaksudkan sebagai sesuatu yang melampaui semesta kita. Ya, dengan metaverse, Mark berusaha mewujudkan sebuah semesta baru di luar dunia nyata yang kita jalani. 

Sudah nonton film 'Ready Player One', guys? Film arahan Steven Spielberg itu bercerita tentang dunia game online yang tak ubahnya seperti dunia nyata. Kira-kira begitulah gambaran tentang metaverse, setidaknya menurut Michael Budi, CEO WIR Group, perusahaan Indonesia yang masuk dalam daftar 'Metaverse Companies to Watch in 2022' versi majalah bisnis Forbes.

Di daftar itu, WIR Group yang sudah mulai mengerjakan proyek berteknologi Augmented Reality sejak tahun 2009, disandingkan dengan raksasa teknologi seperti Microsoft, Apple, dan tentu saja Meta-nya Mark Zuckerberg. Michael mendefinisikan metaverse sebagai dunia virtual tiga dimensi, di mana di dalamnya manusia bisa bekerja, belajar, bermain, dan melakukan berbagai aktivitas lain, dengan bantuan tiga komponen yaitu Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), dan Artificial Intelligence (AI). 

"Secara singkat Metaverse adalah sebuah dunia virtual tiga dimensi," ujar Michael kepada Urbanasia. "Di dalamnya, manusia bisa bekerja, belajar, bermain dan lain-lainnya. Teknologi Metaverse terdiri dari tiga komponen yaitu Augmented Reality, Virtual Reality, dan Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan. Komponen-komponen teknologi inilah yang disampaikan oleh perusahaan raksasa seperti Meta (Facebook), Microsoft, Google, Magic Leap, dan lainnya mengenai dunia metaverse," ungkap Michael. 

1641486041-Michael-Budi.pngSumber: Michael Budi, Group Chief Executive Officer & Co-Founder WIR Group (Foto: Dok pribadi)

Lebih lanjut Michael menjelaskan perbedaan Augmented Reality (AR) dengan Virtual Reality (VR). AR yaitu saat kita membawa obyek tiga dimensi atau 'avatar' ke dalam dunia nyata. Sedangkan Virtual Reality (VR) memiliki pengertian kita dapat seakan-akan masuk ke dalam dunia virtual tiga dimensi. 
Pengguna VR tidak perlu bergerak atau berjalan. Cukup diam di tempat lalu masuk ke dunia virtual dan berpindah tempat di dalam dunia virtual tersebut. Sementara pengguna AR dapat menikmati dunia tiga dimensi dengan lebih leluasa. Misalnya, bergerak dan berjalan-jalan seperti di dunia nyata, pergi pasar atau melangkah di jalan raya sambil berinteraksi dengan para 'avatar' yang mewakili obyek di dunia nyata. 

Penjelasan Michael juga bermaksud untuk meluruskan pandangan yang menganggap bahwa metaverse adalah sebuah kota virtual seperti yang terdapat di game online Roblox. Menurut Micahel, metaverse sering disalahartikan sebagai kota virtual tempat kita melakukan jual-beli dalam bentuk NFT (Non-Fungible Token) atau aset digital. Aset digital ini tercatat pada sistem blockchain yang berfungsi sebagai pembukuan digital di dunia maya. Padahal NFT cuma komponen kecil dari banyaknya komponen lain di metaverse. Dan metaverse lebih dari sekadar tempat bertransaksi ekonomi. Misalnya dengan bantuan AR dan VR yang disebutkan Michael di atas, bisa membuat aktivitas kita jauh lebih mudah, lebih cepat dan lebih menyenangkan. 

"Di Metaverse manusia bisa bekerja, belajar, bermain, dan beraktivitas seperti biasa," ungkap Michael. "Namun yang membedakan adalah karena ada obyek virtual yang 'di-augmented' atau 'ditambahkan' di depan mata kita, maka proses manusia beraktivitas akan jauh lebih cepat, efisien, akurat dan menyenangkan.
  
Sebagai contoh, dengan menggunakan kacamata AR, maka seorang montir dapat melakukan proses reparasi sebuah mesin jauh lebih cepat dan akurat bila di depan matanya 'ditambahkan' informasi virtual langkah-langkah reparasi. Seorang murid dapat belajar jauh lebih menyenangkan bila melihat bentuk materi edukasi dalam tiga dimensi. Untuk para pekerja kantor dapat saling bertemu dalam bentuk avatar di lokasi manapun yang mereka inginkan," tutur Michael. 

Oh berarti nantinya kacamata AR/VR nggak cuma dipakai hanya untuk nge-game, dong? Bener banget, guys. Michael menambahkan sekarang pun sudah banyak sektor yang menerapkan teknologi awal metaverse dengan bantuan alat ini. Selain bidang pendidikan, kacamata realitas virtual sudah membantu perusahaan manufaktur melakukan reparasi mesin, dunia kedokteran menggunakannya untuk membantu memberikan diagnosa atau cara pelatihan di meja operasi, dan di bidang militer kacamata tersebut dipakai untuk pelatihan perang. 

Ada Peluang, Ada Dampak 

Apakah kamu sudah lebih memahami semesta baru ini, guys? Metaverse awalnya mungkin terdengar rumit karena penggunaannya nggak cuma perlu koneksi internet aja, melainkan masih banyak sederet teknologi lain di belakangnya. Sebut saja mata uang digital atau cryptocurrencies untuk melakukan aktivitas jual-beli di metaverse, blockchain sebagai sistem tata kelola, dan device tambahan seperti kacamata AR/VR seperti yang dijelaskan Michael. 

Namun, karena penggunaannya yang luas dan banyak manfaatnya, Michael meyakini dunia butuh metaverse. Sebagai gabungan antara dunia nyata dengan dunia virtual, nantinya akan banyak peluang yang tercipta di sana. Seperti jual-beli online yang sudah tumbuh makin pesat beberapa tahun belakangan, sudah pasti metaverse akan menyediakan kesempatan bisnis. Sekolah-sekolah yang sudah banyak memakai teknologi virtual bakal bikin murid makin antusias belajar. Pemerintah Arab Saudi sebagai penyelenggara ibadah haji dan umrah bahkan sudah meluncurkan simulasi menyentuh batu Hajar Aswad di Mekah lewat teknologi VR. Hal ini tentu membantu banget buat jemaah haji berusia lanjut yang kondisi fisiknya nggak memungkinkan untuk berdesakan mendekati batu bersejarah itu. 

Too good to be true? Nggak juga kok. Internet yang memudahkan kita mengakses banyak informasi dan melakukan aktivitas online pun punya sisi negatif. Misalnya kekerasan berbasis gender online (KBGO), penipuan, cyberbullying dan peretasan data pribadi. Hal ini juga terjadi di metaverse. 
Saat uji coba Horizon World milik Meta/Facebook, seorang pengguna perempuan melaporkan dia mengalami pelecehan seksual dengan diraba secara virtual oleh pengguna lain. Menyikapi fakta ini, Michael berpendapat bahwa sebagai sebuah dasar, internet hanya berjalan sesuai fungsi. Sedangkan baik-buruknya ditentukan oleh pengguna. 

Misalnya media sosial yang fungsinya untuk menyebarkan informasi. Informasinya positif atau negatif tentu tergantung dari pengguna sebagai pembuat konten. Maka itu, Michael mengatakan sinergi seluruh pihaklah yang bisa mengatasi dampak-dampak negatif tersebut. Nggak hanya pemerintah yang mengatur dengan regulasi, tapi juga masyarakat pengguna teknologi harus cerdas melakukan penyaringan. Apalagi metaverse bersifat imersif yang artinya mengaburkan batasan antara dunia nyata dan dunia virtual seperti yang digambarkan film Ready Player One. Tentu penyaringan harus lebih ketat lagi supaya penggunaan teknologi hanya untuk tujuan yang baik dan positif. 

"Sebelum dunia metaverse, di era digital saat ini pun tidak mudah bagi pemerintah untuk terus mengurangi dampak negatif dari konten yang ada," ungkap Michael. "Menurut saya, dalam dunia metaverse dampak negatif akan lebih terasa bilamana tidak ada regulasi yang kuat. Sebagai contoh, 'cyber-bullying' akan lebih terasa di dalam dunia tiga dimensi yang 'immersive'. Oleh karena itu, adalah tanggung jawab kita bersama sebagai masyarakat, pemain teknologi dan pemerintah untuk bergandeng tangan untuk mengatasi dampak-dampak ini," ujar Michael.

Menurutnya, regulasi dan filterisasi dalam dunia metaverse dapat diperkuat dengan AI (Artificial Intelligence) atau machine learning dengan tujuan yang baik dan mampu menjawab dampak kesehatan fisik dan mental yang diakibatkan oleh penggunaan internet.

Ya, secanggih apapun sebuah teknologi, kendali penggunaannya memang tetap di tangan manusia. Menyadari celah teknologi yang satu ini, Michael dan timnya di WIR Group berusaha untuk menciptakan metaverse yang lebih 'manusiawi'. Istilah kerennya, humanize metaverse technology yang fokus pada manusia. Hal ini dilakukan agar penghuni metaverse nanti merasakan dampaknya di dunia nyata secara positif.

Nah, Urbanreaders sendiri gimana? Excited kah ingin segera ngerasain serunya kehidupan lain di metaverse? Atau masih penasaran mau cari tahu lebih jauh dulu? 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait