Milenial: Generasi Sarat Stres dan Burnout

Sifat dan karakter unggul yang melekat pada milenial ternyata nggak bikin mereka terhindar dari masalah mental. Diyakini sebagai generasi terbaik di zaman terbaik, angkatan lahir tahun 1980 sampai 1995 ini, justru menanggung banyak beban ekonomi dan psikologis, loh. Terjepit sebagai 'sandwich' yang menopang kehidupan lintas generasi adalah salah salah penyebab stres pada milenial. Bahkan, dampaknya ternyata bisa menurun ke generasi berikutnya loh, guys.
Sejak Tahun 80an
Ngomongin tentang generasi roti lapis alias si tulang punggung keluarga besar, sebenernya kondisi ini nggak cuma terjadi pada milenial aja sih guys. Generasi baby boomers dan generasi X banyak juga yang jadi penyedia nafkah utama untuk diri sendiri, orang tua, dan anak-anaknya.
Istilah sandwich generation pun sudah diperkenalkan 40 tahun lalu, sejak tahun 1981. Namun, belakangan milenial lebih disorot karena sedang berada pada usia produktif bersamaan dengan tingkat harapan hidup manusia yang semakin baik. Sayangnya, dulu mereka nggak punya pengetahuan finansial yang cukup untuk merencanakan dana pensiun. Inilah akar masalah lahirnya generasi sandwich, guys.
Kurangnya literasi finansial tersebut kemudian merambat ke hal lain. Seperti yang diungkapkan perencana keuangan Prita Hapsari Ghozie melalui unggahan di akun Instagramnya. Menurut Prita, setidaknya ada 5 alasan yang memunculkan masalah generasi sandwich:
1. Tidak ada perencanaan untuk menyiapkan masa pensiun.
2. Gaya hidup yang kurang tertata.
3. Kebiasaan mencicil untuk pembelian yang tidak utama.
4. Tidak mempersiapkan budget khusus untuk kesehatan.
5. Pengelolaan aset yang kurang bijak.
Sumber: Supaya keuangan keluarga tetap aman, milenial harus melek finansial (ilustrasi: iStockPhoto)
Sementara di sisi lain, antropolog urban Universitas Gadjah Mada, Agus Indiyanto mengungkapkan, fenomena milenial sebagai generasi sandwich ini bisa jadi muncul akibat orang tua punya anggapan bahwa setelah pensiun mereka pasti nggak produktif lagi. Ada juga konsep yang menempatkan anak sebagai investasi. Namun, dosen yang mengajar di UGM sejak tahun 2005 itu menegaskan bahwa asumsi tersebut nggak bisa digeneralisir. Beda keluarga, pasti beda pula konsep mereka tentang anak. Selain itu, ada faktor nilai kultural juga yang membuat orang tua enggan meminta pada anak.
"Sebenarnya pandangan seperti ini tidak berlaku general. Barangkali juga harus dipilah menurut kelompok sosial dan tempat tinggal. Ada konsep yang berbeda tentang nilai anak," ungkap Agus kepada Urbanasia.
"Setelah tua dan pensiun, orangtua nggak produktif lagi, nggak menghasilkan apa-apa, tinggal bersama anak, makanya anak dibayangkan menanggung (orang tua). Tetapi kan tidak selalu yang pensiun itu tidak menghasilkan lagi dan jadi burden (beban). Mungkin lebih bias ke kasus di perkotaan ya. Hanya bias masyarakat perkotaan dan bias konsep tentang kerja, pensiun dan produktivitas. Karena desa itu menjadi buffer (penopang) penting untuk orang tua. Secara kebutuhan dan aspirasi konsumtif itu lebih mudah ditekan," lanjutnya.
Berhadapan dengan Tuntutan dan Ekspektasi
Tanggung jawab sebagai generasi sandwich membuat milenial harus hidup dalam kondisi mental rawan stres dan gangguan psikis. Tuntutan ekonomi membuat milenial sandwich harus berhadapan dengan beban kerja, serta tekanan dan ekspektasi tinggi dari lingkungan sekitar. Tak sedikit hasil survey dan riset kemudian melaporkan bahwa milenial punya tingkat stres lebih tinggi daripada generasi lain. Belum lagi ditambah dengan gempuran informasi di era internet.
Menurut psikolog Irma Gustiana Andriani, tingginya akses terhadap internet juga menjadi salah satu penyebab milenial dikenal sebagai burnout generation atau generasi dengan kelelahan psikologis.
"Kenapa milenial burnout itu memang karena sudah banyak paparan-paparan terkait sama teknologi, globalisasi, media sosial, dan gaya hidup," ujar Irma kepada Urbanasia. "Semuanya mostly hasil pengaruh dari teknologi itu sendiri, internet, dan lain sebagainya. Sehingga memang too much information. Lalu juga kompetisi yang semakin tinggi, itu memang bisa mengakibatkan stress, depresi, dan juga burnout pada mereka yang mengalami krisis seperti ini," sambungnya.
Lebih lanjut Irma menjelaskan bahwa stres pada milenial generasi sandwich bisa berdampak pada kurang optimalnya mereka dalam mengelola diri dan emosi secara sehat. Padahal, kemampuan ini sangat krusial karena perkembangan sebuah generasi bisa menentukan nasib generasi berikutnya. Artinya, milenial harus bisa jadi contoh baik untuk generasi Z.
"Sandwich generation punya semacam stressor di mana dia perlu mendukung finansial orang tua dan keluarganya dia sendiri," papar Irma lagi. "Jadi memang ini yang seringkali membuat dia tidak bisa optimal dan menjadi lebih sehat dalam mengelola diri. Jadi mudah terserang stres. Generasi Z bisa saja mengadopsi perilaku-perilaku itu,” ujar perempuan lulusan Universitas Indonesia ini.
Karena itu, Irma menegaskan pentingnya milenial menjadi contoh dan panutan yang tepat buat generasi Z dalam hal pengelolaan konflik.
Senada dengan Irma, Agus juga berpendapat perilaku milenial harus bisa jadi acuan bagi generasi berikutnya.
"Milenial ini ada orang-orang yang baru saja memulai karir, baru saja memiliki resources meskipun belum mapan juga. Nah semua pengalaman-pengalaman yang dialami ini lah yang kemudian menjadi energi penggerak bagi para generasi milenial untuk kemudian menjadi acuan perilaku mereka. Terutama dalam kaitannya dengan pendidikan anak-anak mereka kelak. Memang style generasi itu dibentuk oleh harapan, mimpi dan pengalaman generasi sebelumnya," tandas pria 48 tahun ini.
Mengelola Konflik dan Emosi
Supaya milenial bisa memberikan contoh baik buat generasi yang lebih muda, Irma menyarankan agar mereka menguasai ‘ilmu’ pengelolaan konflik. Namun, kemampuan setiap individu dalam mengelola diri dan emosinya tentu berbeda-beda. Kemampuan mengelola diri ditentukan oleh bagaimana individu itu dibesarkan, lingkungan di mana dia berada, Pendidikan, dan aspek lain yang menentukan bagaimana kualitas emosi seseorang. Untuk itu, Irma menekankan pentingnya generasi sandwich punya kemampuan analisis SWOT atau menilai sesuatu dengan mempertimbangkan Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (Peluang) dan Threat (kendala/hambatan). Gunanya supaya kita bisa lebih realistis dan terukur dalam mengambil keputusan hidup.
"Supaya nggak burnout apa yang harus dilakukan? Pertama, terus belajar untuk beradaptasi. Yang bisa survive adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan situasi. Kemudian bersikap realistis terhadap keadaan atau situasi, artinya kalau memiliki target-target tertentu, balik lagi strategi SWOT-nya apa, kekuatannya apa, kelemahannya apa, opportunity-nya apa dan challenge yang mungkin akan dihadapi seperti apa. Jadi membuat dia jauh lebih mudah untuk mengarahkan waktu dan energinya untuk mencapai yang dia inginkan,” papar Irma.
Irma juga menyarankan pada generasi milenial untuk mengelola emosi dengan mengatasi kejenuhan atau kebosanan. Bisa dengan melakukan berbagai aktivitas yang produktif, relaxing, menyenangkan, menyegarkan, dan melibatkan komunitas-komunitas yang positif.
Jadi, kalau Urbanreaders merasa mengalami burnout atau kelelahan psikologis, jangan sungkan untuk mencari bantuan, ya? Yang paling dekat adalah keluarga, saudara atau teman. Jika butuh bantuan profesional pun nggak usah merasa malu datang ke psikolog atau psikiater. Nggak hanya kesehatan fisik, kesehatan mental juga sama pentingnya agar hidup kita lebih berkualitas.