URnews

Algoritma dan Personalisasi, Peretasan Kehendak Manusia di Zaman AI

Firman Kurniawan S, Sabtu, 28 Oktober 2023 13.48 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Algoritma dan Personalisasi, Peretasan Kehendak Manusia di Zaman AI
Image: Freepik

Jakarta - Keunggulan semua medium digital, bersumber dari kemampuannya menghadirkan unggahan yang dapat dipersonalisasi. Personalisasi ini diserap dengan mengadaptasi karakter unik penerima pesan yang beragam. Mulai dari bahasa yang sesuai, pilihan visual yang akrab, hingga komposisi pesan yang selaras selera. Personalisasi jadi fitur andalan, yang membangkitkan kedekatan emosial konsumen unggahan.

Saat David Beckham, pesohor sepak bola dunia mengkampanyekan gerakan perlawanan terhadap penularan Malaria, materi komunikasinya disajikan dalam 9 bahasa yang berbeda. “Malaria bukan sembarang penyakit. Ini adalah penyakit paling mematikan yang pernah ada. Malaria harus dibasmi, agar jutaan orang dapat bertahan hidup”, demikian Beckham dalam bahasa Inggris.

Pesan yang semula diucapkan dengan rekaman suara aslinya, berlanjutnya dengan sulih suara 8 bahasa berbeda lainnya. Bahasa itu, Spanyol, Kinyarwanda, Arab, Prancis, Hindi, Mandarin, Kiswahili dan Yoruba. Taktik mempersonalisasi bahasa, tentu bertujuan agar konsumen unggahan di negara yang diucapkan bahasanya, memahami pesan lantaran punya kedekatan emosional.

Personalisasi unggahan juga berperan dalam memenangkan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45. Berbagai analisis menyebut, unggahan yang dipersonalisasi jadi kunci kemenangan sosok yang unik ini, di Pemilu 2016. Terhadap calon pemilih yang mengkhawatirkan kebiasaan buruk Trump pada kelompok minoritas, ucapan yang misoginis, seksis dan rasis, dihadirkan unggahan yang menyebut: calon presiden ini sangat memperhatikan kesetaraan gender maupun ras.

Demikian pula pada calon pemilih yang meragukan komitmen Trump pada kelestarian lingkungan, dikemas unggahan yang menjamin: jika memilih Donald Trump program-program penyelamatan lingkungan bakal jadi program utama masa kepresidenannya.

Tak berhenti sampai di situ, saat warga negara Amerika mengalami kemunduran moral, akibat kebencian negara lain yang merasa dicampuri urusannya oleh Amerika. Juga warga negara yang sering terancam oleh kejahatan yang ditimbulkan oleh terorisme maupun imigran pelintas batas, Trump mencanangkan “Make America Great Again”.

Slogan yang disusun sebagai hasil pembacaan terhadap keresahan warga Amerika lewat unggahan di media digitalnya.  Efek emosional yang dihasilkan, Donald Trump didudukkan sebagai presiden yang memahami keresahan tersembunyi warga negaranya.

Personalisasi mampu menjawab harapan orang per orang, walau tanpa didahului pernyataan terbuka. Personalisasi hari ini terstruktur lewat pemanfaatan algoritma yang dipanen dari digital path. Ini merupakan sisa relasi pengguna dengan perangkat digital. Perannya makin penting, bahkan menguasai peradaban hari ini.

Leo Hickman, 2013 dalam “How Algorithms Rule the World”, menyebutkan dengan mengutip Dr Panos Parpas, Dosen di Bagian Analisis Kuantitatif dan Ilmu Keputusan, di Departemen Komputasi Imperial College London algoritma telah digunakan sejak lama. Kehadirannya bukanlah merupakan gejala baru di dunia komputer.

Bahkan Alan Turing maupun para pemecah kode lainnya, berminat pada algoritma. Ini lantaran banyaknya jumlah data dihasilkan, yang untuk menghadapi, memproses dan memahaminya, dibutuhkan metode sistematis. Algoritma adalah metode sistematis itu.

Secara sederhana, algortima dapat dipahami sebagai rangkaian instruksi untuk memecahkan masalah. Dengan menggunakan riwayat permasalahan yang sama berdasar opsi dan permutasi yang tersedia, algoritma menelusuri berbagai variasi pemecahan masalah, untuk menghasilkan rekomendasi terbaik. Dari pengembangannya yang kian intensif, banyak hal yang dapat diselesaikan dengan menggunakan algoritma.

Atas dasar itu, algoritma yang berperan dahsyat memecahkan permasalahan, mendorong banyak perusahaan berinvestasi menyempurnakan kinerja algoritma. Seluruhnya ditujukan untuk menciptakan layanan yang dipersonalisasi. Juga menciptakan pesan yang tepat bagi konstituen politik.

Hari ini lanjut Parpas, algoritma masuk ke dalam kehidupan, berperan mengatur dunia. Algoritma menyederhanakan proses pengambilan keputusan, diperoleh pemecahan terbaik. Implikasinya, terjadi penghematan waktu maupun sumberdaya. Ini memperbesar keuntungan perusahaan.

Sayangnya di sisi buruknya, penggunaannya algoritma yang intensif justru memunculkan permasalahan struktural. Ini menyangkut penggunaan data dan privasi data.

Juga diperoleh hasil berupa model yang dapat digunakan untuk memprediksi masa depan. Perkawinan ganjil antara data dan algoritma memunculkan permasalahan rumit. Ini jika tak ingin disebut sebagai kesalahan.

Memahami hal yang dimaksud Panos Parpas sebagai kesalahan struktural, permasalahan bermula manakala pemanfaatan digital path dipanen terus-menerus. Sebuah pintu pelanggaran privasi terbuka.

Pengguna perangkat digital yang berekspresi secara alamiah saat memproduksi dan mendistrbusi unggahan, justru diserap sisa-sisa aktivitasnya. Gratisnya penggunaan platform, ditukar dengan pemanenan digital path.

Digital path ini tak lain adalah material tambang baru, pembentuk algoritma untuk mempersonalisasi layanan oleh berbagai pihak. Nilainya yang lebih tinggi dari minyak, mendorong pemanenan kian intensif dilakukan.

Hingga tahap ini dipahami, aktivitas bermedia digital tak ubahnya sebagai aktivitas penyerahan data. Bahkan tanpa disadari oleh yang menyerahkannya. Terlebih ketika melihat hasil diperoleh, pemanenan digital path, pada hakikatnya aktivitas pengawasan terus menerus, yang dilakukan platform.

Dalam pemanfaatannya di bidang komersial, pencapaian tujuan politik, maupun aktivitas menggelar gerakan sosial yang luas, personalisasi yang dibangun dari algoritma tak ubahnya melawan kehendak bebas personal itu sendiri. Sasaran personalisasi seakan bergerak alamiah mewujudkan kehendak bebasnya.

Namun tanpa sadar bertindak lantaran dorongan personalisasi. Shoshana Zuboff, 2019, dalam “The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power”, mengungkapkan realitas personalisasi yang dibangun berdasar algoritma semacam itu.

Personalisasi saat dijalankan di bidang pemasaran, dilakukan pada tiap langkah untuk meraih pembeli. Sementara para pembeli tak menyadari, seakan melakukan aktivitasnya secara alamiah. Padahal yang terjadi, seluruh keputusannya didorong sajian informasi yang telah dipersonalisasi.

Personalisasi dibangun berdasar respon yang diberikan, saat calon pembeli menyimak potongan iklan rencana peluncuran produk. Komentar, rasa kagum, preferensi sikap, keragu-raguan calon pembeli, seluruhnya terpetakan dari unggahan balik yang tertangkap media digital.

Ini kemudian digunakan untuk mengemas iklan yang sesuai dengan keadaan unik, masing-masing calon konsumen. Perasaan-perasaan tersembunyi calon konsumen, pada gilirannya memperoleh peneguhan dari personalisasi iklan. Seluruhnya memantapkan keputusan pembeli.

Menanggapi keadaan semacam ilustrasi di atas, Cameron Soojian, 2015 dalam “Don’t Be Creepy! Beware of Over-Personalization”, mengingatkan terbuainya pengguna teknologi dengan personalisasi yang justru menjatuhkan pada keadaan yang berlebihan. Over personalized.

Yang dimaksud personalisasi yang berlebihan, terjadi saat perusahaan maupun institusi tertentu mengekstrapolasi data yang dipanennya, untuk memprediksi persitiwa yang bakal terjadi di masa berikutnya. Ini pula yang disebut Panos Parpas, sebagai “diperolehnya hasil berupa model yang dapat digunakan untuk memprediksi masa depan”.

Salah satu contoh nyata yang diceritakan Soojian, saat perusahaan perlengkapan bayi, Target, mengirimkan informasi penawaran produk terkait bayi kepada seorang gadis remaja. Sayangnya, kiriman informasi itu tak diterima langsung oleh Sang Gadis. Informasi diterima ayahnya.

Terhadap penawaran spesifik berupa perlengkapan bayi itu, ayahnya merasa heran.  Putrinya yang masih berusia muda bukan sasaran dari produk perlengkapan bayi. Lain halnya jika putrinya hamil di luar pengetahuannnya.

Namun yang sebenarnya terjadi, tanpa sepengetahuan ayahnya, memang gadis itu ebenarnya sedang hamil. Dan itu terlacak oleh Target, lantaran perilaku rinci pengguna aplikasinya, sebagai digital path. Seluruhnya kemudian terpetakan sebagai algoritma.

Target secara rinci menyimpan identitas, termasuk nama atau alamat email pengguna aplikasinya. Setiap produk yang dibeli pelanggan beserta informasi demografisnya selalu terbarukan. Mengiringi aktivitas penggunanya. Oleh Target seluruhnya digunakan untuk memprediksi perubahan-perubahan yang dialami pelanggan. Termasuk terjadinya kehamilan.

Yang dilakukan Target adalah personalisasi yang berlebihan. Hal yang menyangkut peristiwa privat, digunakannya sebagai sarana penawaran produk. Tentu konsumen merasa mengalami pengawasan yang melekat, terus menerus.

Hari ini, perangkat-perangkat pemanen digital path makin berperan besar dalam kehidupan manusia. Juga diikuti oleh teknologi pengolahannya yang diberdayakan oleh artificial intelligence. Personalisasi yang dihasilkan kian akurat.

Setiap aktivitas maupun konteks aktivitas yang dilakukan pengguna media digital, dapat diolah oleh deep learning AI. Berguna untuk menyusun pengetahuan maupun prediksi perilaku, bahkan yang bakal terjadi di waktu yang lama, di masa datang.

Personalisasi yang berlebihan telah berubah wujudnya, sebagai peretasan kehendak manusia, hacking bukan soal pembobolan terhadap data yang menggerakkan teknologi. Namun hacking telah meretas kehendak manusia. Jika demikian, masihkah hidup ini menarik, di hadapan teknologi?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait