URnews

Artificial Intelligence: Mengganti atau Mengekstensi Manusia?

Firman Kurniawan S, Sabtu, 30 September 2023 11.35 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Artificial Intelligence: Mengganti atau Mengekstensi Manusia?
Image: Ilustrasi Freepik

Jakarta - Hari itu, telah 5 hari Imran mengemasi barang-barang di kedai kopinya, di pekan terakhir bulan November 2025. Kedai kopi samping stasiun KA commuter line, di bilangan jalan yang tak pernah sepi dari lalu lalang orang.

Dari tampilan para pelalu-lalang, mereka adalah petarung nasib di Jakarta, sebagai pekerja kantor atau mahasiswa penempuh pendidikan tinggi. Tak jarang di antaranya mampir sejenak, menikmati segelas kopi racikan Imran.

Juga sepotong roti Perancis yang telah dihangatkan di microwave. Sajian itu dinikmati langsung di kedai sempitnya yang tertata rapi. Juga tak jarang dibawa sebagai bekal beraktivitas seharian.

Suasana tak beda di sore hari, pelalu-lalang yang hendak pulang singgah sejenak duduk di bangku-bangku kedai menikmati remang sore hari, dengan dingin udara yang memadai. Racikan kopi Kedai Imran, jadi obat pengusir penat.

Namun usaha kecil yang dijalani Imran, mampu memberinya penghasilan memadai di 5 tahun terakhir itu, mulai sepi. Bahkan ada hari-hari, tanpa satu pun pembeli.

Keberadaannya terdesak oleh kehadiran kedai-kedai kopi baru, di bilangan jalan yang sama. Kedai kopi baru itu bahkan tak mempekerjakan barista atau pekerja yang terlatih.

Kedai kopi dijalankan mesin-mesin ber-artificial intelligence (AI), mulai penerimaan pesan, memeriksa pembayaran, hingga menyajikan kopi yang diinginkan pembeli. Tanpa keterlibatan satupun manusia, kopi yang disajikannya memenuhi selera pembeli.

“Kopi yang mampu membaca suasana hati”, demikian para pembeli menggambarkan sajian yang dinikmatinya.

Kedai kopi Imran, tak sepenuhnya hanya mengandalkan operasi yang dijalankan pekerja manusia. Terdapat mesin penggiling yang mampu menghaluskan biji kopi dengan pengukur butir.

Ini disesuaikan dengan hidangan yang hendak disajikan. Demikian pula sebelum digiling, biji kopi disangrai dulu. Pelaksanaannya menggunakan penyangrai yang dilengkapi pengukur kematangan, sesuai standar.

Seluruhnya untuk menghasilkan rasa seduhan kopi yang prima. Air penyeduhnya pun, baik jumlah maupun panasnya, selalu ditakar Imran dengan presisi. Dan petunjuk untuk melakukan itu semua, terpampang jelas bagi para pekerjanya, sebagai standard operational procedure (SOP).

Dan di bagian terpenting dari seluruh proses, Imran melangkapi kedainya dengan mesin ekstrak kopi bertekanan tinggi. Ini mampu mengeluarkan inti sari terbaik biji kopi. Inilah andalan, yang digemari pembeli.

Perjalanan menghasilkan segelas kopi prima di kedai Imran, bukan operasi sederhana. Yang hanya mengandalkan intuisi belaka, tanpa standardisasi.

Konsistensi jadi kata kunci, menyenangkan pembeli. Seluruhnya diperoleh lewat proses uji coba, diperbaiki, disesuaikan dan dievaluasi berkala. Hingga dihasilkan standar sebagai acuan.

Ketepatan rasa terukur lewat dialog, dengan para pembeli. Kepuasan rasa yang disetujui pembeli, adalah titik akhir kopi yang hendak disajikan.

Dalam praktik manajemen, seluruh upaya yang dijalankan Imran dikenal sebagai continual improvement, perbaikan terus-menerus tanpa henti. Namun seluruhnya pun, tak menyelamatkan keberadaannya  dari perkembangan zaman.

Hadirnya mesin-mesin kopi cerdas berbasis AI, ini terhitung 3 tahun tepat sejak diluncurkannya ChatGPT  3.5 di akhir tahun 2022, makin menggerus usaha-usaha sejenis yang dijalankan Imran.

Memang AI bukan barang baru. Apalagi menyebut ChatGPT sebagai teknologi berbasis AI yang pertama. Tidak tepat. Pengenalan dan penggunaan AI sudah berlangsung sejak tahun 1957-an.

Namun dengan ditandai peluncuran ChatGPT itu, kesadaran umat manusia di dunia terhadap keberadaan AI, melonjak drastis.

Demikian pula karakter produk yang dihasilkan dengan tambahan kecerdasan buatan. Dibanding karakter mesin yang hadir di tahun 2025an, ketepatan presisi yang dihasilkan mesin-mesin kedai Imran, hanya layak disebut semi otomatis.

Tak sepenuhnya cerdas. Mesin-mesin kopi cerdas yang memaksa usaha Imran tutup, mampu beroperasi hanya dengan satu sentuhan satu jari telunjuk. Dengannya, biometrik pembeli terbaca. Juga alat pembayaran yang hendak digunakan berikut kecukupan dananya, terlacak.

Suasana hati Sang Pembeli, terbaca lewat jari telunjuknya saat menyentuh tombol pesan kopi. Seluruhnya mengaktifkan sensor pada mesin: membaca kandungan gula darah, tingkat kolesterol maupun kondisi tubuh yang lain.

Juga detak jantung yang terkirim di ujung jari telunjuk, menyiratkan suasana hati dan kegelisahan yang dialami. Seluruh data yang terbaca, menyusun algoritma yang mampu digunakan untuk meracik kopi.

Komposisi racikan kopi berdasar algoritma, mampu memperbaiki suasana hati. Pantas saja mesin-mesin kopi cerdas itu, dijuluki mesin kopi yang mampu membaca suasana hati pembelinya.

Ilusi Kedai Kopi Imran di atas adalah ilustrasi kengerian dan juga harapan, saat mencermati perkembangan AI terkini. Muncul pertanyaan besar, AI lebih berperan sebagai pengganti atau pengekstensi manusia.

Ungkapan-ungkapan itu tersirat, dalam aneka pernyataan. Pernyataan para akademisi bidang teknologi, CEO perusahaan yang menggeluti data dan informasi, para ilmuwan sosial-budaya-humaniora. Juga masyarakat awam, yang lamat-lamat larut dalam kecenderungan yang deras dibicarakan.

Elon Musk, manusia terkaya di muka bumi, CEO aneka perusahaan teknologi, dengan tegas berpendapat, AI berbahaya. Keberadaaanya bisa sepenuhnya menggantikan manusia.

Produk berbasis AI yang dihasilkan dari pengembangan teknologi komputer, kemungkinan akan melampaui manusia. Itu setidaknya terjadi dalam lima tahun mendatang.

“AI bakal lebih pintar daripada manusia dan akan melampaui umat manusia pada tahun 2025”. Pernyataan Elon Musk termuat dalam tulisan Srishti Deoras, 2020, dalam “AI Will Overtake Humans in Five Years: Elon Musk”.

Konteks pandangan Musk, disampaikannya saat memperhatikan AI yang dibangun Google: DeepMind. Menurutnya, karakteristik AI yang dibangun Google itu mampu menghancurkan semua manusia, di semua permainan.

Bahaya lain yang harus dipikirkan tentang AI, lanjut Musk: perangkat berbasis AI, jauh lebih bahaya dibanding nuklir. Ini karena saat teknologi nuklir dikembangkan, terdapat otoritas kuasa yang mengawasinya. Manakala membahayakan manusia, pengembangan dihentikan.

Sedangkan saat AI dikembangkan, tanpa ada pengawasan yang memadai. Juga ketika AI bersifat immortal. Secara hipotetik, AI yang mengalami kerusakan mampu memperbaiki dirinya sendiri. Sehingga keberadaannya dapat menjadi diktator jahat yang tak terhentikan.

Saat berhadapan dengan manusia yang menghalangi, sementara kecerdasaannya telah dilampaui, manusia disingkirkannya.

Dalam pandangan Elon Musk itu, posisi AI dikembangkan dengan akibat menggantikan manusia.

Tak heran, presisi yang dihasilkan mesin-mesin di Kedai Kopi Imran jadi tak relevan. Ini ketika dihadapkan pada perangkat baru yang lebih otonom, yang mampu membaca biometrik pemakainya. Kopi yang dihasilkan sesuai dengan suasana hati, yang tak terbaca manusia.

Lain pula pandangan Ginni Rometty. Ia adalah CEO IBM yang diwawancarai Fareed Zakaria Jurnalis CNN, saat berlangsungnya World Economic Conference di Davos, 2017.

Menurutnya, dengan melekatkan kata artificial pada produk kecerdasan hasil pengolahan data dan analitik komputer, seakan kecerdasan yang dicapai secara buatan, tak lebih dari kecerdasan manusia.

Paling tinggi hanya setara. Namun dalam perkembangan yang dapat disaksikan hari ini: hanya kecerdasan umum, general AI, yang setara dengan kecerdasan manusia. Selebihnya, jauh melampaui. Dan seluruhnya itu, tercapai hanya dalam beberapa dekade mendatang.

Pandangan Rommety itu tertuang dalam kalimat, “Beberapa orang menyebut kecerdasan buatan. Namun kenyataannya teknologi ini justru yang akan menyempurnakan manusia. Jadi, bukannya menggunakan kecerdasan buatan, saya pikir AI yang akan meningkatkan kecerdasan manusia”.

Wawancara dan pandangan Ginni Rometty, disampaikan Ben Dickson, 2018, dalam “What Ginni Rometty Teaches Us about the True Meaning of AI”. Pesan keseluruhan yang ingin disampaikan: di balik AI, ada ancaman serius bagi umat manusia.

Keberadaannya bakal terdesak oleh intensitas penggunaan AI. Namun jika bersedia melihat dunia di masa depan dalam bentuk kolaborasi antara manusia dengan mesin justru manusia dapat tampil dalam kapasitas terbaiknya, saat  memanfaatkan AI.

Menurutnya kemudian, kecerdasan manusia perlu ditambahi dengan kecerdasan buatan. Seluruhnya didorong oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat. Kepesatan yang terbawa oleh 4 bentuk pengembangan teknologi: cloud computing, data processing, mobile culture dan internet of things.

Perpaduan keempatnya, menghasilkan kecenderungan baru dari teknologi. Ini berupa dibutuhkannya respon kecerdasan, di atas kapasitas alamiah yang telah dimiliki manusia. Dengan pandangan terhadap karakter teknologi yang bakal jadi ciri peradaban mendatang, adopsi setidaknya kolaborasi dengan AI, adalah keniscayaan. AI justru mengekstensi kecerdasan manusia.

Bagaimana, masih gamang dengan AI? Jika tak hendak tergantikan, setidaknya terus menyiapkan segala kemungkinannya perubahannya. Kalaupun pemanfaatan AI tak berhasil  mengektensi kecerdasan diri, setidaknya tak perlu mundur lantaran tergusur, bukan?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital dan Pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait