URnews

Degradasi Kecerdasan Akibat Hadirnya Teknologi Cerdas

Firman Kurniawan S, Selasa, 4 Juni 2024 09.55 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Degradasi Kecerdasan Akibat Hadirnya Teknologi Cerdas
Image: Ilustrasi Freepik

Jakarta - Apakah hidup yang terlayani teknologi, sejak bangun pagi sampai terlelap kembali di malam hari, sekedar memanen kenyamanan dan kemudahan? Tak adakah keburukan fisik maupun mental, sebagai akibatnya?

Adam Isa, seorang eksekutif sibuk di sebuah perusahaan penyedia informasi, menghayati sekali perkembangan teknologi yang menyertai rutinitas hariannya.

Bukan hanya mobile selular yang tak pernah lepas dari genggamannya: smartwatch yang selalu memantau keadaan bugar tubuhnya, aneka aplikasi pelancar hidup yang disematkan pada smartphone-nya, juga perangkat pencatat dan perekam berbasis artificial intelligence (AI), untuk memudahkan pekerjaan, tak pernah jauh dari aktivitasnya.

Tak hanya itu aneka perlengkapan kelancaran dan keamanan rumah pemantau suhu dalam ruang, sensor kepekatan debu, pengingat waktu penyiram tanaman hingga kamera pengawas dan pengenal tamu yang datang ~ melengkapi rumah yang ditinggalinya.

Seluruhnya mengubah tempat tinggalnya, menjadi smarthome. Selain kerja fisik dan mental, ~seperti keharusan mengingat dan merasakan yang berhasil dialihkan ke teknologi cerdas, banyak waktu yang berhasil dihemat.

Ini jika dibandingkan, Adam Isa harus melakukan seluruh hajad hidupnya, secara analog. Kehadiran aneka layanan teknologi cerdas menjadikan penggunaan fisik, mental dan waktunya terpangkas. Namun apakah sebatas itu pengaruhnya?

Di bidang lain, pada bidang kesehatan misalnya, dalam 10 tahun terakhir banyak mengalami perubahan oleh intensifnya penggunaan teknologi cerdas.

Penegakan diagnosa dari gejala penyakit, penentuan penanganan pasien dengan cara terbaik, hingga formulasi dosis tepat obat dalam penyembuhan penyakit, mengalami perubahan.

Dalam kurun 10 tahun terakhir ini juga, makin jarang dokter yang tetap menegakkan diagnosa dengan hanya mengandalkan kepekaan panca inderanya.

Teknologi cerdas telah makin berperan dalam proses layanan kesehatan, untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Sinyalemen makin berperannya teknologi cerdas di atas, tergambar argumentatif lewat ‘Artificial Intelligence for Medical Diagnostics—Existing and Future AI Technology!’, yang ditulis Mugahed A. Al-Antari, 2023. Penulis ini menyebutkan, terbawa oleh perkembangan AI, diagnosa medis mengalami peningkatan akurasi prediksi, kecepatan, dan efisiensi proses.

Ini lantaran algoritma AI, mampu menganalisa gambar medis bersumber sinar-X, MRI, ultrasound, CT scan, maupun DXA. Seluruhnya mendukung entitas layanan kesehatan dokter, paramedis, laboratorium maupun rumah sakit untuk mengidentifikasi dan mendiagnosa penyakit, lebih akurat dan cepat.

AI dapat menganalisis data pasien dalam jumlah besar, termasuk pencitraan medis 2D/3D, bio-signal: EKG, EEG, EMG, maupun HER. Demikan juga identifikasi tanda-tanda vital, seperti suhu tubuh, denyut nadi, laju pernapasan, tekanan darah, hingga informasi demografi, riwayat kesehatan, dan hasil tes laboratorium, dapat dilakukan dengan paripurna, lanjut Al-Antari.

Senada dengan penyataan di atas, Evelyn Lewin, 2019, dalam uraian yang disajikan melalui ‘AI Can Diagnose ‘Just as Well as Human Doctors’ but Cannot Replace Them’ menyebutkan: AI dengan deep learning-nya, mampu mendeteksi 87% kasus penyakit dengan benar.

Ini ketika dibandingkan dengan 86% kasus yang dapat dinyatakan dengan benar, oleh dokter profesional. Fakta di atas mengutip penelitian yang dilakukan Xiaoxuan Liu dan timnya, pada tahun 2019. Penelitian ini dimuat di The Lancet Digital Health.

Para peneliti meninjau secara sistematis 14 penelitian lain yang terseleksi, yang bertujuan membandingkan kinerja antara AI dengan profesional kesehatan.

Namun dalam penutup tulisannya, Evelyn Lewin, yang merupakan dokter umum dan telah menyelesaikan diploma di bidang kebidanan dan ginekologi menegaskan, AI tak bakal mampu menggantikan manusia sebagai penegak diagnosa.

Ini terutama dalam hal kemampuan membentuk relasi dengan pasiennya. AI juga tak bakal mampu dengan tepat, menentukan secara kontekstual, suatu jenis penyakit yang terjadi oleh variasi tak terbatas keadaan lingkungan, fisik maupun mental seseorang.

Terlepas dari keterbatasan aneka teknologi, juga yang berbasis AI hari ini, apakah menggantungkan hajad hidup maupun proses keputusan pada perangkat cerdas, tak justru mendegradasi kecerdasan alamiah manusia?

Sensor-sensor panca indera sebagai penerima, dan otak sebagai pemroses informasi, digantikan sebagian atau seluruhnya oleh teknologi cerdas. 

Peralihan total fungsi-fungsi manusiawi oleh teknologi cerdas, yang hanya soal waktu, apakah tak menimbulkan disfungsi manusiawi?

Pertanyaan di atas diajukan seraya menelusur kembali proses pembentukan kecerdasan alamiah manusia. Ini merupakan proses tak pernah berhenti, dimulai sejak kelahirannya, hingga usia lanjut.

Sensor-sensor panca indera yang dimilikinya, digunakan untuk menerima data suara, citra visual, sentuhan, bau maupun rasa. Seluruhnya diorganisasi menjadi informasi bermakna di otak. Dalam proses pemaknaaan, berlangsung kategorisasi, penerjemahan, analisis data, untuk mengubahnya menjadi informasi.

Informasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk memahami peristiwa, juga menentukan keputusan. Itulah proses pembentukan kecerdasan. Interaksi seluruh sensor pada panca indera dengan otak yang memaknai informasi, merupakan proses yang berperan sentral membentuk kecerdasan. 

Berkurang atau absennya interaksi, juga dialihkannya seluruh proses interaksi pada penggunaan teknologi cerdas, menyebabkan degradasi kecerdasan.

Uraian itu, sepenuhnya relevan dengan pikiran yang dikemukakan Pankaj Rai, 2023.

Ia menyampaikan pikirannya dalam tulisan ‘Is Technology Making Us Bumb? The Good and The Bad’. Rai menguraikan, sepanjang sejarah hidup manusia terjadi revolusi dan adaptasi dengan menggunakan kecerdasan. 

Penggunaan kecerdasan ini, berguna untuk menghadapi aneka tantangan, serta menciptakan peluang baru. Seluruhnya terjadi tanpa melibatkan teknologi cerdas.

Yang disebut sebagai teknologi kala itu, adalah peralatan yang disediakan oleh alam: batu, bagian tumbuhan, sisa tulang binatang, maupun bentuk bentang alam tertentu, yang dapat dimanfaatkan memenuhi hajad-hajad hidup sederhana.

Ini termasuk menampung air, mengeluarkan buah dari kulit yang tebal dan berduri. Juga pengawetan daging maupun buah, agar tak cepat busuk. Manusia terdahulu hanya mengandalkan kecerdasan alamiahnya untuk menjalani hidup.

Namun seluruhnya berubah, ketika lambat laun teknologi cerdas dikembangkan. Kehadirannya membawa keburukan bagi kemampuan kognitif manusia.

Manusia yang merasa nyaman dengan teknologi cerdas semakin tergantung dengan keberadaannya. Tanpa sadar kemampuan kognisinya, tergerus jadi tumpul.

Rai kemudian mengajukan satu pertanyaan, apakah adil jika dikatakan ketergantungan manusia pada teknologi cerdas, justru mengubahnya menjadi bodoh? Pertanyaan Rai ini, dapat ditemui dalam bentuk gejala luas, yang terjadi pada beberapa dekade terakhir. Ini yang disebut sebagai cognitive offloading.

National Institute of Health, 2020, memberi batasan, cognitive offloading sebagai tindakan mengurangi proses mental suatu tugas misalnya mengingat-ingat dan menggantinya dengan tindakan fisik. Ini seperti menuliskan informasi atau menyimpannya di smartphone maupun komputer.

Dalam aplikasi nyata, gejala cognitive offloading di antaranya terindikasi dengan makin sulitnya menemukan seseorang yang mampu menghafal banyak nomor telepon. Ini termasuk nomor telepon pasangan seseorang. Ingatan dihapus seiring kehadiran phone book.

Tersedianya phone book pada smartphone, memungkinkan disimpan dan digunakannya nomor telepon, tanpa perlu terlebih dulu menyimpannya di memori otak.

Manakala kemampuan phone book makin meningkat, tak sebatas menyimpan saja yang dapat dilakukan. Perangkat ini juga dapat diperintahkan menghubungi nomor kontak dengan perintah suara. 

Karenanya, bukan saja kemampuan kognisi mengingat yang terdegradasi, namun juga kemampuan menggunakan telepon lewat aktivitas tangan, turut berkurang. Seluruhnya lantaran, smartphone yang kian hari kian cerdas hanya menuntut keterlibatan fisik dan mental yang kian minimal.  

Namun dari seluruh uraian di atas, jauh sebelum pertanyaan Pankaj Rai diajukan, Alejandro Lleras and Atsunori Ariga, 2014, melalui ‘The Impact of Digital Technology on Psychological Well Being: A View from the Perspective of Positive Psychology’, melakukan penelitian yang menjawab kekhawatiran-kekhawatiran semacam yang dialami Rai di atas.

Penelitian ini dilakukan dengan sampel 135 mahasiswa tingkat sarjana, dengan tema pertanyaan di seputar penggunaan teknologi dan kesejahteraan psikologis yang dialami. Hasilnya menunjukkan, mahasiswa yang lebih sering menggunakan teknologi, memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dan adanya dampak negatif pada mental yang lebih besar. 

Hasil penelitian yang juga dikutip Pankaj Rai ini, mengkonfirmasi: penggunaan teknologi membawa dampak negatif pada fungsi kognitif, termasuk perhatian, memori, dan kreativitas. Dan dalam keadaan berlebihan, dapat menyebabkan masalah emosional, seperti depresi dan kecemasan.

Ketika dalam realitasnya teknologi tak bersifat aktif, dan frase ‘manusia menggunakan teknologi’ lebih tepat dalam menggambarkan relasi manusia dengan teknologi.

Ini menunjukkan manusia aktif memutuskan penggunaan teknologi. Manusia tak dideterminasi oleh teknologi dan manusia juga yang menentukan batasannya.

Maka tepatkah menuduh teknologi cerdas sebagai penyebab degradasi kecerdasan manusia? Bukankah ketergantungan berlebihan dan penggunaan tak tepat teknologi cerdas yang justru menyebabkan fisik, kognisi maupun mental menjadi memburuk keadaannya?

* Penulis adalah seorang Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital yang juga pendiri LITEROS.org. Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait