URnews

Doppelganger: Toleransi Pascahumanitas dan Memuncaknya Dunia Tiruan

Firman Kurniawan S, Jumat, 9 Agustus 2024 09.42 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Doppelganger: Toleransi Pascahumanitas dan Memuncaknya Dunia Tiruan
Image: istimewa

Jakarta - Ada sebuah letupan pikiran menarik yang dimuat forbes.com dan ditulis Peter Suciu, 2023. Pikiran itu termuat dalam artikelnya yang berjudul “Putin’s Deepfake Doppelganger Highlights the Danger of the Technology”.

Tulisannya dibuka dengan fenomena maraknya pertanyaan yang diajukan sebagian orang di dunia: apakah Presiden Rusia Vladimir Putin, menggunakan tubuh palsu saat tampil di hadapan publik untuk menutupi masalah kesehatannya?

Namun bukan jawaban soal tubuh palsu itu yang menarik diperbincangkan. Penyampaian pertanyaan perihal di atas, diajukan oleh doppelanger Sang Presiden. Tampilannya sempurna, menyerupai Putin senyatanya.

Betapa serupanya karya teknologi itu, hingga membuat Putin terhenyak seraya menanggapi: “Ini saudara kembarku yang pertama”. Pernyataan itu merupakan susulan, setelah sebelumnya Putin menanggapi adanya tiruan yang mungkin mirip dirinya, berbicara dengan suaranya, namun hanya ada satu orang Putin. Itulah Putin itu sendiri. Namun apa doppelganger itu?

Istilah doppelgangger berasal dari Bahasa Jerman. Tersusun dari kata doppel yang artinya kembaran, dan gangger yang artinya berjalan. 

Communication-generation.com memberi pengertian gabungan kata itu, sebagai hantu yang merupakan kembaran atau rekan dari orang yang hidup. Kehadirannya dipercaya sebagai pertanda buruk bagi kembarannya, manakala muncul di kehidupan nyata.

Seluruh pengertian dan cerita tentang kembaran hantu itu, berakar dari mitos sejak abad ke-8 maupun cerita rakyat kuno dari berbagai budaya.

Hari ini, dalam konteks teknologi barbasis artificial intelligence (AI), doppelganger yang berwujud tampilan digital merupakan eksistensi kembar dari makhluk biologis. Seluruhnya dihasilkan dengan menggunakan deepfake.

Teknologi deepfake yang berbasis AI, menciptakan tiruan seseorang. Tiruan perilaku, suara, intonasi, mimik wajah, hingga pilihan kata yang biasa digunakan seseorang. Lewat deepfake dihasilkan imitasi mahluk ciptaan. Spektrumnya mulai sebatas suara, gambar hingga video, yang didasarkan data mahluk biologis.

Di sini, deepfake dimengerti sebagai sarana pembuatan imitasi, sedangkan doppelganger adalah material hasil produksinya.

Eksistensi digital doppelgangger nampaknya merupakan visi manusia agar tetap eksis, tanpa dibatasi waktu. Keabadian telah lama jadi cita-cita tersembunyi manusia. Penggambarannya, dapat dinikmati lewat 12 episode dokumenter yang ditayangkan raksasa video streaming, Netflix.

Tayangan tentang visi teknologi masa depan manusia itu, di bawah judul besar “The Future of”. Walaupun seluruhnya tak secara eksplisit membahas soal doppelganger, salah satu episodenya yang berjudul “The Future of Life After Death”, membahas kehidupan setelah kematian dalam bentuk imitasi AI.

Proposisinya: apa yang dapat dilakukan teknologi di masa depan, terhadap kehidupan setelah kematian?

Pada episode dengan judul di atas dikisahkan, di masa efisiensi diperhitungkan sangat seksama, tindakan memakamkan orang di lahan tertentu dipandang tak efisien.

Populasi manusia yang terus bertambah, tak mengizinkan adanya penggunaan lahan untuk hal yang tak produktif. Alasan lain tak didukungnya pemakaman dengan cara itu, tindakannya dapat mencemari lingkungan. Sisa jasad yang terurai dapat meresap ke dalam sistem air tanah. Ini mencemari air. Juga emisinya yang terbuang ke udara, mencemari udara.

Karenanya diciptakan terobosan bioteknologi. Teknologi yang mampu menguraikan tubuh orang yang telah meninggal, jadi pupuk yang menyuburkan tanaman. Dengan pupuk ini, keluarga mendiang dapat memanfaatkannya untuk menumbuhkan tanaman tertentu.

Tanaman yang dipilih berdasarkan kesukaan mendiang, semasa hidupnya. Lalu ditanam di lahan tertentu, yang diatur pemerintah daerah. Tanaman ini ketika berkumpul dengan tanaman-tanaman hasil uraian mendiang lain, mewujudkan kumpulan tanaman membentuk taman. Keberadaannya justru meminimalkan pencemaran dan memperindah kota.

Tak berhenti sampai di situ. Uraian masa depan kehidupan setelah kematian, dilanjutkan dengan penerapan teknologi informasi. Pada tanaman yang ditumbuhkan di atas, dapat dipasang microchip.

Microchip ini memuat semua data yang pernah diproduksi mendiang. Asalnya dari interaksi mendiang, saat menggunakan perangkat digital. Diperoleh warisan jejak digital: website, berisi informasi teks kumpulan pikiran dan perasaan mendiang semasa hidupnya.

Media sosial, sebagai wadah percakapan, pengungkapan pikiran yang dibagikan pada sesamanya. Ini dapat berbentuk video, gambar, juga teks. Seluruhnya dapat diunduh dari media sosial mendiang: Instagram, X, Thread, Youtube, Podcast. Juga Blogspot. Sumber data lainnya adalah aneka perilaku sosial yang terlacak.

Ini termasuk pilihan brand saat mendiang berbelanja menggunakan aplikasi marketplace, memberikan pilihan politiknya dengan aplikasi pemilu. Juga lontaran pendapat akademisnya, yang dibagikan lewat perangkat digital pendidikan.

Seluruh warisan data itu, dapat digunakan untuk menghadirkan kembali mendiang. Diwujudkan dalan bentuk doppelganger, yang seutuhnya manusia. Atau sebatas suara yang diperdengarkan kembali. Ini lazim disebut sebagai griefbots atau thanabots, imitasi AI dari orang yang telah meninggal.

Pada dokumenter Netflix itu digambarkan: keluarga yang ditinggalkan dan merasa rindu, hadir ke taman yang tanamannya ditumbuhkan dari pupuk uraian jasad mendiang. Dengan menggunakan perangkat tertentu, dapat menghadirkan griefbots orang yang dicintai.

Juga berinteraksi, seakan mendiang sepenuhnya masih hidup. Ini dimungkinkan, lantaran warisan jejak digitalnya telah disusun sebagai algoritma. Algoritma mampu merespon, berdasar perilaku mendiang semasa hidupnya. Teknologi masa depan memberi peluang hidup yang abadi. Setidaknya kenangan, yang immortal lewat produk AI.  

Kembali pada gagasan yang termuat lewat tulisan Suciu di atas: kehidupan yang tak ada batas akhirnya ini memang memberi keabadian yang dicita-citakan. Tapi juga mengkhawatirkan. Kekhawatiran saat secara hipotetik, muncul suatu keadaan: meninggalnya eksekutif atau pemimpin politik.

Di masa perkabungan itu muncul dilema, di satu sisi memang selayaknya eksekutif maupun pemimpin yang meninggal, harus diganti. Ini agar roda aktivitas dapat berjalan normal. Namun di sisi lainnya, jika mendiang diganti bisa timbul reaksi yang buruk.

Kemungkinan munculnya penilaian, dapat diterapkannya strategi pesaing, negara musuh, maupun entitas rahasia, untuk merebut kekuasaan.

Agar dampak buruk tak jadi kenyataan, dimanfaatkanlah deepfake. Seluruhnya agar kepemimpinannya dapat diteruskan. Ketiadaannya diganti oleh material digital. Kemungkinan ini, sesuai uraian John Brownridge, Gregorius Vert, Eoin Drumm dan Brad Kreit, 2022, dalam “Digital Doppelgangers, A New Way Humans and Machines Can Partner and Transform Work”.

Keempat penulis ini menyebutkan, digital doppelganger dapat diterapkan di tempat kerja. Material ini dapat mengimitasi keterampilan, pengetahuan, maupun atribut tertentu individu maupun tim kecil. Doppelganger musisi dapat meniru suaranya. Sedangkan doppelganger profesi lain, dapat meniru pengetahuan yang terinstitusi, kerangka kerja pengambilan keputusan, hingga pemikiran strategis.

Karenanya, terhadap eksekutif maupun pemimpin yang meninggal, demi stabilitas, dapat digunakan doppelganger-nya.

Lalu apanya yang mengkhawatirkan? Dengan kemajuannya hari ini, keserupaan doppelganger mampu mengaburkan pandangan orang yang dipimpin. Para pengikut ini tak sepenuhnya tahu, kepemimpinan yang dijalankan berdasar kehendak mendiang dari algortimanya semasa hidup.

Atau telah berubah, jadi representasi kemauan pengendali doppelgangger yang menyobotase algoritma mendiang? Kekhawatiran ini terdengar bak cerita fiksi. Namun secara hipotetik, seluruh kemungkinannya dapat terjadi.

Terkait ketersediaan data yang diperlukan saat memproduksi doppelganger, seluruhnya bukan persoalan. Data para eksekutif maupun pemimpin yang berskala global terserak, tersedia melimpah dari aneka sumber digital.

Tanpa aktivitas ilegal menerobos keamanan data pribadi pun, data yang dapat diunduh tak pernah kering.  Realitas ini dikonfirmasi Suciu, dengan mengutip pendapat Jason Mollica, guru besar School of Communication di American University.

Mollica menyatakan, pada dunia yang makin digital, banyak jejak digital yang dihasilkan. Data gambar maupun suara para pemimpin seperti Putin, Volodymyr Zelenskyy, juga Joe Biden dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam sistem algoritma.

Itulah sebabnya, banyak deepfake dengan korban kepala negara itu. Ketika hasilnya dikombinasikan dengan penggunaan media sosial, doppelganger-nya menyebar cepat.

Merujuk revolusi interaksi manusia yang bergerak dari interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan mesin, mesin dengan manusia, dan hari ini perlahan memuncak jadi interaksi mesin dengan mesin maka peradaban belum sepenuhnya masuk era pascahumanitas.

Interaksi manusia dengan mesin, juga mesin dengan manusia masih jadi modus primer. Walaupun manusia makin mentoleransi hidup yang ditentukan mesin. Juga tak menolak mesin sebagai agen etika dan estetika tak sebatas soal rasionalitas. 

Karenanya, kehadiran doppelganger bukan lagi fiksi. Pintu pascahumanitas makin terbuka. Hanya sayangnya, ini jugalah yang mengkhawatirkan: dunia jadi kian sulit dipercaya. Batas antara yang tiruan dengan yang asli kabur. Tapi, masih perlukah keduanya dipisahkan?

Baca Juga: Festival Komunikasi UI 2023: Peran Etika Komunikasi dalam Pragmatisme Teknologi dan Artificial Intelligence

*Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital serta pendiri LITEROS.org

* Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait