URguide

Dua Sisi Generasi Hustle: Antara Capaian dan Pengorbanan

Ika Virginaputri, Kamis, 20 Januari 2022 15.37 | Waktu baca 10 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Dua Sisi Generasi Hustle: Antara Capaian dan Pengorbanan
Image: ilustrasi kerja keras (Foto: Freepik Arthur Hidden)

Dengan kadar yang berbeda-beda, semua generasi muda pasti punya ambisi untuk masa depan yang cerah. Sebagian dari mereka bahkan bekerja mati-matian membangun masa depan impian itu. Mumpung masih punya tenaga, ya kan? Tapi tanpa sadar nih guys, sering kejadian juga ritme kerja mati-matian yang disebut dengan istilah hustle culture itu malah berefek samping buat yang menjalaninya. Misalnya jadi nggak punya kehidupan sosial, jauh dari keluarga, sampai gangguan kesehatan serius. Makanya nggak salah deh, netizen selalu ngingetin kita untuk healing dan work-life balance.

Salah Persepsi

Roma nggak dibangun dalam sehari. Pepatah itu cocok banget buat menggambarkan betapa panjangnya perjalanan menuju sukses. Sayangnya, banyak orang yang nggak sabar dan berpikir bahwa dengan usaha lebih keras, maka sukses datang lebih cepat. Padahal sebenarnya semua hal butuh proses kan, guys? 

Menurut psikolog Yudha Heka Satria, M.Psi, persepsi keliru seperti itu lah yang mendorong generasi muda sekarang menjalani gaya hidup hustle culture. Selain memang karena sistem kerja perusahaan, Yudha berpendapat sedikit-banyak media sosial juga punya peran dalam memengaruhi anak muda memandang kesuksesan. Era media sosial sudah melahirkan banyak Youtuber dan influencer yang sering jadi sorotan. Dan itu akhirnya membentuk cara pandang generasi sekarang sebagai konsumen media sosial. Itulah kenapa sampai muncul anggapan bahwa Milenial dan Gen Z adalah generasi instan.

"Anak muda ngeliat image bahwa orang sukses itu apa yang dilihat di sosial media," ujar Yudha kepada Urbanasia lewat sambungan telepon. "Mereka ngeliat seorang Youtuber muda, berbakat, kaya pastinya, kehidupannya enak gitu ya? Seorang Youtuber kayaknya cepet banget menjadi orang kaya. Dengan melihat sosial media akhirnya kita bisa melihat banyak persepsi. Mempersepsikan bahwa kesuksesan itu bisa didapatkan secara cepat dan akhirnya kita mengabaikan bahwa sebenarnya di balik kesuksesan yang kita lihat itu ada banyak proses," kata Yudha lagi.

1642667537-YudhaHeka.jpgPsikolog milenial, Yudha Heka Satria, M.Psi (Foto: Dok pribadi)

Salah persepsi seperti itu, Yudha melanjutkan, akhirnya membuat Milenial dan Gen Z terjebak dalam toxic positivity dan toxic productivity. Artinya sibuknya mereka belum tentu efektif dan efisien. Terkadang malah nggak sesuai dengan tujuan mereka sendiri di masa depan. Perlu diingat, setiap orang punya definisi suksesnya masing-masing. Tapi buat pelaku gaya hidup hustle, sukses diwakilkan oleh tiga kata: hasil, sekarang, cepat.

"Arti kata sukses itu bisa macam-macam," Yudha menegaskan. "Motivator berseliweran dan mengatakan... 'Jangan menyerah, tetap bekerja' atau 'Lakukan sekarang atau tidak sama sekali' gitu ya, yang akhirnya disalahartikan juga bahwa kita harus bekerja keras nih. Kerjanya juga harus cepat gitu. Motivasi-motivasinya akhirnya menjadi keliru. Yang tadinya arahnya positif justru malah akhirnya toxic, akhirnya merugikan diri sendiri, akhirnya menjadi suatu gaya hidup yang keliru dalam hal pekerjaan dan itu disebut dengan hustle culture. Jadi, semua proses pekerjaan tuh harus cepet dikerjain, mengabaikan aspek-aspek yang lain," imbuh pria alumni jurusan psikologi Universitas Gadjah Mada ini.

Aspek-aspek yang dimaksud Yudha tentu saja yang mendukung terciptanya work-life balance ya, guys? Misalnya aspek kesehatan dan kehidupan sosial dengan orang di luar hubungan kerja. Soalnya, gara-gara hustle culture ini, Milenial udah dikenal sebagai generasi yang paling rentan terkena burn out alias kelelahan secara fisik dan mental. Dan efeknya nggak main-main loh, guys. Mulai dari penyakit serius sampai gangguan kesehatan mental.

"Kondisi burn out itu bahasa sederhananya kondisi kelelahan secara fisik maupun mental," ungkap Yudha menjelaskan. "Analoginya, mesin aja dinyalakan terus-menerus pasti nge-hang. Laptop gitu ya kalau 24 jam nyala terus nggak dikasih waktu istirahat pasti akhirnya nge-hang. Termasuk juga di dalam tubuh kita. Ketika apapun yang kita lakukan terlalu berlebihan, termasuk dalam hal ini overwork, akhirnya dampaknya itu dapat dirasakan secara fisik maupun secara mental," kata pria 31 tahun ini.

Yudha juga menambahkan bahwa kerja berlebihan bisa menimbulkan stress yang meningkatkan hormon kortisol. Saat kortisol naik, maka imun tubuh kita menurun yang lantas memudahkan berbagai penyakit masuk. Sebagai contoh, penyakit lambung. Belum lagi kurangnya waktu istirahat yang kemudian berujung pada gangguan tidur. Aduh banyak banget ya guys, dampak negatif gaya hidup hustle ini?  

Overdosis Kerja

Relate banget sama penjelasan Yudha di atas, cowok bernama I Wayan Ady Saputra mengisahkan pengalamannya. Kepada Urbanasia, pria 38 tahun yang akrab disapa Ady ini berbagi cerita sebagai hustler milenial sejak tahun 2016. 

Semua dampak buruk gaya hidup hustle yang dijelaskan Yudha di atas sudah dialami Ady. Bayangin deh guys, saat bekerja jadi IT Manager di sebuah perusahaan asing, Ady bisa bekerja 20 jam sehari!

Meski menjalani remote working dari Bali tempatnya berasal dan menetap, Ady nggak punya keistimewaan mengatur jam kerja karena punya bos workaholic. Ady mengaku, gaji bulanan yang dia terima saat itu memang di atas rata-rata dan itulah yang membuatnya bertahan. Tidur 2-3 jam sehari hingga menerima video call dari bos jam 2 dini hari, jadi rutinitas ayah satu putri ini.

"Jam kerja normal tetap kerja. Siangnya tetap kerja," ujar Ady memulai cerita. "Nah, ketika minggu tenang misalnya, sempet lah istirahat seharusnya kan? Tapi malah big boss-nya datang dengan semua gangguannya dia, ide-idenya dia. Malah nggak jadi istirahat. Mau nggak mau sih jadinya kan ngikut gaya kerjanya big boss. Soalnya kalau nggak diangkat video call-nya dia, besoknya masalah kerjaan itu nambah," kata pria asli Tabanan, Bali, ini.  

1642667596-WayanAdy.jpgI Wayan Ady Saputra pernah overdosis kerja sampai terkena stroke ringan dan serangan jantung (Foto: Dok pribadi)

Setahun setelah overdosis kerja, 'teguran' pun datang di tahun 2017. Selama 2 hari nonstop Ady mengeluarkan darah dari hidung. Anehnya saat itu Ady sama sekali nggak merasakan sakit atau gejala apa pun. Setelah diperiksa, dokter mengatakan Ady terkena stroke ringan yang dipicu oleh stress. Ady pun menyampaikan hasil pemeriksaan dokter tersebut ke bosnya, dengan harapan dia bisa diberi waktu untuk memulihkan diri.

"Iya waktu itu sempet istirahat... dari kata-katanya. Tapi tetap aja malam-malam direcokin lagi. Hahaha," kenang Ady sambil tertawa.

Akhir tahun 2019, perusahaan tempatnya bekerja kolaps dan berhenti beroperasi. Ady yang memang menaruh minat besar dengan Yoga, berusaha mencari pemasukan dengan menjadi asisten instruktur. Ekonomi dan bisnis yang melambat karena pandemi, sempat membuatnya kesulitan mendapat pekerjaan baru. Sampai akhirnya di awal 2021, Ady berhasil punya kerjaan baru dengan jam kerja normal. Namun penghasilan yang dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup, membuat Ady kembali ke jalur hustle culture dengan menjalani tiga kerjaan sekaligus. Kerja kantoran normal nine to five, melatih yoga sepulang dari kantor, dan setelahnya mengerjakan proyek side job pembuatan situs yang diterimanya dari teman. Alhasil, 'teguran' kedua pun datang dengan skala yang lebih besar. September 2021, Ady terkena serangan jantung yang membuatnya tergeletak selama 5 hari di Intensive Coronary Care Unit (ICCU).

"Tadinya mikir udahlah dijalanin dulu," ujar Ady tentang usahanya mencari penghasilan tambahan. "Di bulan kedua masih bisa. Pas bulan ke-3 aku yang kalah. Kena lah serangan jantung waktu itu," kata Ady.

Tak hanya jadi pasien dokter spesialis jantung, setelah keluar dari ICCU Ady pun sempat berada di bawah pengawasan psikiater karena gangguan produksi serotonin di otaknya. Duh lengkap banget ya guys, burn out hasil hustle culture yang dialami Ady? Namun yang mengejutkan ternyata dua kejadian mengancam nyawa tersebut bukan sesuatu yang mengkhawatirkan Ady. Penyesalan terbesarnya adalah melewatkan tumbuh-kembang sang putri yang tentu nggak mungkin bisa digantikan dengan gaji berapapun.

"Anakku ulang tahun. Udah siap-siap eh aku malah ketiduran karena capek," ujar Ady. "Akhirnya kebangun pesta ulang tahunnya udah selesai, anakku udah tidur," cerita Ady tentang penyesalannya.

Saat ini Ady sudah nggak lagi menerima pekerjaan sambilan. Dia menjalani kerja kantoran nine to five dan masih melatih Yoga karena cita-citanya adalah bisa menjadikan minatnya itu sebagai penghasilan utama. Satu hal yang dipelajari Ady dari pengalaman hidup hustle-nya adalah bahwa ada hal yang lebih besar daripada kerja dan uang, yaitu kehidupan itu sendiri. Menurut Ady, banyak uang nggak ada gunanya jika kita nggak bisa menikmati hidup.

"Sukses itu kan perspektifnya masa depan kan ya? Masa depan itu kan adanya setelah masa sekarang," Ady menjelaskan. "Jadi yang ku pelajari masa depan itu nggak akan ada kalau kita nggak menghargai apa yang kita punya sekarang. Apapun yang kita lakukan, energi kita terbatas, waktu kita terbatas. Nggak akan bisa kembali lagi. Selalu akan ada yang dikorbankan. When you have to choose, choose the one that cannot be replaced. Which is the time. Aku udah kehilangan masa lucu-lucunya anakku. Sekarang yang kunikmati adalah masa dia bilang terserah. Hahahaha," pungkas Ady setengah bercanda, setengah berfilosofi.

Lupa Me-Time dan Family Time
 
Menyusul cerita hustle dari milenial oleh Ady, ada juga nih guys kisah serupa dari kalangan Gen Z. Belinda Azzahra sudah menjalani gaya hidup hustle, bahkan sejak masih di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Didasari oleh ambisi menambah skill dan pengalaman di usia muda, hari-hari cewek 21 tahun ini selalu sibuk diisi berbagai kegiatan. 

Saat ini, setiap harinya Belinda melakukan program magang di kantor akunting Price Waterhouse Cooper Indonesia yang dijalaninya secara online nine to five. Selain itu, mahasiswi tingkat akhir Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini juga aktif menangani proyek besar di organisasi Young Leaders for Indonesia bikinan kantor konsultan bisnis McKinsey & Company. Ilmu yang didapat Belinda dari kuliah dan magang sana-sini pun dia praktekkan lewat kompetisi business plan dan business case berskala global.

"Dan tentunya masih ikut beberapa lomba. Karena tahun terakhir juga, jadi lomba-lomba yang aku ikutin sekarang cenderung yang skalanya global," Belinda menuturkan rutinitasnya kepada Urbanasia lewat telepon. "Makanya mungkin effort-nya agak lebih terkuras dibanding lomba-lomba yang aku ikutin di semester-semester lalu," sambung Belinda lagi.

1642667325-Belinda.jpgBelinda Azzahra, mahasiswi tingkat akhir Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (Foto: Dok pribadi)

Berbeda dengan kebanyakan orang, Belinda beranggapan hustle culture nggak melulu berdampak negatif. Buat cewek yang tinggal bersama orang tuanya di Batam ini, aktivitas hustle nggak hanya memberikan ilmu dan pengalaman berharga yang meningkatkan daya saingnya di dunia kerja. Belinda bilang dia juga jadi punya networking luas yang memberinya banyak kesempatan untuk berkembang. Dilihat dari karakter pun, Belinda mengaku dia jadi lebih matang, 'tahan banting' dan selalu dalam stand-by mode alias siap menghadapi jenis tantangan dan risiko apa pun. Kemampuannya berkomunikasi dan berinteraksi dengan banyak orang juga terasah dengan baik lewat pengalaman hustle-nya.

"Ada orang yang mandang hustle itu positif, ada orang yang mandang hustle itu negatif. Tapi so far aku liat orang-orang banyaknya tuh ngeliat hustle itu negatif," kata Belinda. "Menurut opiniku sendiri, kalo kita cek di riset gitu-gitu tuh nggak ada satu definisi mutlak hustle culture seperti apa. Kalo menurutku sendiri, hustle culture lebih ke kayak kita ambil banyak komitmen di satu waktu yang memang harus hati-hati banget kita manage supaya nggak melewati batas waktu istirahat. Mungkin ngambil kesibukan di atas rata-rata lah," sambung Belinda menjelaskan pendapatnya.

Jadi menurut Belinda, baik-buruknya gaya hidup hustle tentu tergantung pada kemampuan membagi waktu orang yang menjalaninya. Meski menyadari pentingnya disiplin waktu, Belinda nggak menyangkal, dia sendiri pun sempat merasakan efek buruk dari kesibukannya yang di atas rata-rata. Terutama sejak era pandemi di mana semua aktivitasnya dilakukan secara online. Batasan antara kerja dan istirahat pun menjadi samar.

"Jadi sebenernya kalo aku bisa bilang, hustle dalam artian aku nyari kesibukan supaya produktif itu semenjak aku boarding school di SMP," Belinda mengisahkan. "Karena dari SMP aku dibebasin jatohnya aku cari-cari kesempatan terus untuk nambah skill. Cuma makin padat mungkin setelah pandemi ya, sejak WFH (Work from Home) semua. Jadi jatohnya tuh boundary antara kerja dan istirahat tuh kadang agak kabur. Mungkin di sisi lain ada hustle yang sifatnya positif, tapi semenjak pandemi somehow ada sisi-sisi negatif yang aku rasain. Lebih ke arah nggak balance gitu antara waktu kerja dengan waktu istirahat," tambah Belinda.

Pengaruh media sosial yang menggiring kita ke arah toxic productivity seperti yang dijelaskan Yudha di atas, juga sempat dirasakan Belinda. Dia mengaku gara-gara sering buka medsos, sempat ada perasaan minder melihat teman-temannya sibuk beraktivitas sedangkan dia merasa 'jalan di tempat'. Hal itu membuat Belinda akhirnya memilih kesibukan yang sebenarnya bukan passion dia.

"Di awal pandemi jujur sempat shock," ungkap Belinda. "Selama pandemi kan semuanya jadi online ya. Dulu pas offline aku tuh nggak terlalu buka sosmed gitu. Tapi kan semenjak online tuh semua info lewat sosmed, akhirnya aku terekspos dengan yang orang lain capai. Kadang-kadang ngerasa 'Duh kok aku di sini-sini aja, temen-temenku udah pada dapet di sini, dapet di sana'... Jatohnya aku tuh ngambil kesibukan yang sebenarnya bukan passion aku. Hanya untuk nge-fulfill kepuasan diri aja gitu biar nggak ketinggalan banget," jawab Belinda ketika ditanya tentang gaya hidup hustle-nya.

Namun, Belinda mengaku bahwa saat ini dia lebih cermat mengendalikan diri, terutama saat perasaannya lagi down. Belinda menyadari, saat-saat sedang down itu dia membutuhkan support system yang mampu membuatnya bangkit. Antara lain dukungan dari teman dan keluarga. Menyadari aktivitasnya sangat menyita waktu, setahun belakangan Belinda mulai memprioritaskan me-time dan meluangkan lebih banyak waktu bersama keluarga. Menurut Belinda, memprioritaskan hal-hal fundamental seperti itu membuatnya merasa terlahir kembali.

"Kadang neglecting me-time atau family time. Pernah menomorduakan itu," Belinda mengakui kesalahannya. "Tapi semenjak setahun yang lalu aku udah mulai merubah itu sih karena ternyata itu yang utama, waktu-waktu sama keluarga dan lingkungan terdekat. Mungkin dulu pas di awal-awal pandemi karakter negatif yang muncul karena aku hustle yaa itu, susah banget untuk bisa ngebedain dan memprioritaskan hal-hal yang sebenarnya fundamental instead of achieve, achieve, achieve terus," ujar Belinda lagi.

Ya memang begitu lah hidup ya, guys? Di balik semua ups and downs-nya, pasti selalu ada hikmah yang bisa kita jadikan pelajaran. Contohnya seperti penjelasan Yudha, Ady dan Belinda yang mengingatkan kita akan pentingnya work-life balance. Semoga bisa menginspirasi Urbanreaders ya?


Apabila saat ini kamu mengalami depresi atau keinginan bunuh diri, jangan putus asa. Depresi dan gangguan kejiwaan dapat pulih dengan bantuan profesional kesehatan mental. Jangan ragu untuk menghubungi layanan profesional demi kesehatan mental yang lebih baik. 

 

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by Urbanasia.com (@urbanasiacom)

 

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait