URnews

Gen Z, Generasi Paling Kesepian dalam Intensitas Artificial Intelligence?

Firman Kurniawan S, Senin, 4 September 2023 08.58 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Gen Z, Generasi Paling Kesepian dalam Intensitas Artificial Intelligence?
Image: Ilustrasi Freepik

Jakarta - Kesepian itu mencekam. Bahkan dampak buruknya setara dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas merokok, 12 belas batang sehari. Bayangkan jika keadaan itu diakumulasi dalam hitungan minggu, bulan dan tahun. Tak ada manusia yang bakal sanggup keluar dalam keadaan baik-baik saja. Jika tubuh fisiknya masih sanggup menghadapi, paling tidak mentalnya rusak didera siksa sepi.

Realitas kesepian yang sama buruknya dengan merokok berbatang-batang itu, diungkap oleh Vivek Murthy. Ia adalah seorang dokter ahli bedah umum, di Amerika. Hasil penelitian Murthy termuat dalam ‘US Surgeon General Compares the Risk of Loneliness to Smoking More Than Half a Pack of Cigarettes a Day’,  yang ditulis Sarah Al-Arshani, 2023. Terungkap dari tulisan itu: manusia yang karakter alamiahnya adalah mahluk sosial, bakal menderita tak tertahankan, saat kesepian.

Murthy mengungkap temuannya, dalam kaitan wabah kesepian yang melanda sedikitnya setengah populasi Amerika. Kesepian yang memuncak saat Covid-19 di tahun 2020 itu, menciptakan pengalaman baru: kengerian yang mencekam. Pandemi memaksa warga negara di seluruh dunia, masuk ke rumah dan beraktivitas dari dalamnya. Selain relasi dengan dunia luar terbatas, juga cemas bakal terpapar virus. Tak jarang muncul pertanyaan, selamatkah dari cekeramannya?

Bermingu-minggu, berbulan-bulan, bahkan melampaui hitungan tahun, keadaan tak beranjak. Jikapun relasi dalam isolasi tetap dilangsungkan di antaranya lewat video conference yang terbentuk tak sepenuhnya utuh. Sama sekali tak memuaskan. Dan manakala pandemi selesai, imbasnya tak serta merta berakhir. Kesepian tetap tersisa, kerusakan pada tubuh sebagai jejaknya.

Sepi yang merusak tubuh itu, diidentikkan Murthy dengan makanan atau minuman yang diperlukan untuk bertahan hidup. Manakala tak terpenuhi, daya tahan tubuh melemah. Tak hanya sebatas gangguan mental, memburuknya kesehatan fisik juga muncul sebagai gejala. Pada warga Amerika yang berusia 15 hingga 24 tahun, prevalensinya nyata. Munculnya wabah sepi dihubungkan dengan waktu interaksi sosial yang kian singkat. Berkurang hingga 70%. Ini setara dengan rata-rata interaksi yang semula 2,5 jam sehari, jadi hanya 40 menit. Keadaan yang memburuk dibanding 20 tahun sebelumnya itu, dipicu Covid-19 di tahun 2020.

Laporan Vivek Murthy yang juga diulas oleh Daniel Cox, 2023 dalam ‘The Price We'll Pay for our AI Future: More Loneliness’ menyebutkan, korban terbanyak wabah kesepian adalah Gen Z. Rentang usia 15-24 tahun masuk dalam kelompok generasi itu. Memang Gen Z diketahui sangat minimal jumlah interaksi sosialnya. Temuan ini diperkuat berbagai penelitian, yang menunjukkan hubungan antara banyaknya waktu yang dihabiskan di media sosial dengan memburuknya kesehatan mental. Korban teknologi digital berjatuhan, dari pengguna intensifnya.

Dalam uraian lebih lanjutnya Cox menyebut, Pandemi Covid-19 dan penggunaan media sosial bukan faktor terakhir yang memicu wabah kesepian.  Merebaknya penggunaan AI dan peluncuran ChatGPT di penghujung tahun 2022, memperluas ancaman gangguan mental itu. Temuan-temuan perangkat cerdas itu memicu gelombang baru pemanfaatannya yang luas di kehidupan sehari-hari. Chatbots maupun program AI lainnya, memberi tawaran menggantikan peran manusia.

Guru yang menjelaskan, layanan pelanggan yang menjawab, terapis jiwa yang menenangkan, seluruhnya dapat digantikan mesin cerdas. Walaupun berbagai perangkat itu mampu membangun komunitas maupun menciptakan keintiman, namun seluruhnya hasil tiruan algoritma. Perasaan yang tercipta oleh relasi buatan, juga terkategori buatan. Ini adalah bentuk kesepian baru. Namun mengapa justru Gen Z yang paling rentan jadi korban?

Ryan Jenkins, 2023, dalam ‘3 Things Making Gen Z the Loneliest Generation’, sesuai judul tulisannya, menyebut 3 hal yang menyebabkan Gen Z jadi generasi yang paling kesepian di masa depan. Hal-hal itu pertama, disebabkan oleh overstimulation. Gen Z merupakan generasi yang terstimulasi informasi dalam jumlah berlebihan. Informasi itu menyangkut pendidikan, pekerjaan, hiburan, games, perkembangan teknologi, maupun relasi media sosial. Pemikiran generasi ini, terserap sepenuhnya untuk menerima dan merespon aneka informasi yang tak ada hentinya.

Jenkins menyebutnya sebagai “keadaan yang tak menyisakan apa pun untuk fokus pada orang lain”. Empati yang sirna. Gen Z yang mengalami stimulasi berlebihan mengabaikan kemanusiaannya yang sejati. Pilihan jatuh pada menggunakan waktu untuk menanggapi e-mail yang tak dikenal, dibanding peduli, lebih memilih TikTok daripada relasi, lebih memilih teks Twitter daripada sentuhan dan relasi visual Instagram daripada tatap muka. Seluruhnya meminimalkan waktu terhubung dengan manusia lain, seraya melahirkan kesepian.

Kedua, social media. Pemilik akun media sosial yang menggunakannnya secara intensif, ditemukan lebih berpeluang merasa kesepian, terisolasi, tersisih, dan mempersepsi diri dalam kesendirian. Aktif bermedia sosial juga mendorong pelakunya terjebak dalam drama komparasi. Yang dilakukan terus menerus mengamati kehidupan orang lain, dengan tanpa sadar membandingkannya. Ini memicu munculnya perasaan tak lebih baik dari orang lain, bahkan depresi.

Akan halnya kesepian, Jenkins dengan mengutip hasil penelitian Profesor Roger Patulny, Guru Besar Sosiologi Universitas Wollongong-Australia, menyebut: media sosial dapat dimanfaatkan untuk mengusir kesepian. Ini saat digunakan oleh orang yang telah memiliki hubungan, hendak meningkatkan hubungan atau membangun hubungan yang baru. Hubungan nyata itu telah ada, namun diintensifkan lewat penggunaan media sosial. Sebaliknya penggunaan media sosial yang menciptakan kesepian, jika tujuannnya adalah menggantikan interaksi sosial dengan relasi termediasi. Patulny menegaskan, pencipta kesepian bukan media sosial itu sendiri. Melainkan cara penggunaannya yang didasari makna yang dilekatkan padanya.

Ketiga, dependency shift. Era yang menjadikan manusia lain sebagai pusat terpecahkannya masalah, telah berakhir. Guru yang dapat memberi jawaban atas ketidaktahuan, dokter sebagai personal yang mengerti soal kesehatan, pengacara yang memahami aspek hukum, manusia lain sebagai pemecah masalah telah tergantikan. Demikian pula relasi yang mengandalkan tetangga untuk mengatasi keran bocor, teman sepermainan untuk mengerjakan tugas sekolah, seluruhnya kini jadi kenangan indah. Manusia lain dalam komunalitas, digeser oleh individu. Hari ini, individu cukup dengan perangkat teknologi informasi, mampu menyelesaikan berbagai persoalannya.

Peran manusia lain, digantikan oleh perangkat-perangkat dalam genggaman individu. Seluruhnya selalu siap memberikan jawaban real time: Google, Youtube, Waze, maupun pengalaman manusia lain yang dapat diakses dari Twitter, TikTok, Instagram dan media digital lainnya. Ketergantungan manusia bergeser pada teknologi, otomatisasi alat, dan hari ini: AI. Akan halnya manusia lain, kian tak diperlukan. Implikasinya kesepian kian membayangi. Gen Z, sebagai kelompok generasi yang keterlibatannya kental dengan aneka perangkat itu, jadi pihak yang rentan kesepian. Hanya ada mesin-mesin yang mengitarinya.

Memang dalam realitasnya, berelasi dengan manusia lain, sering menjengkelkan. Perlu membangun saling pengertian, interaksi berulang agar tercipta makna, pilihan simbol yang tepat agar terbangun pemahaman masing-masing pihak. Saat seluruhnya sudah dilakukan pun, tak menjamin luput dari salah paham. Konflik adalah bagian esensial dari relasi antar manusia. Namun kembali mengutip Daniel Cox dari tulisannya di atas, dinamika relasi antar manusia itulah yang meletakkan manusia pada hakikat kemanusiaaanya. Relasi memberinya kesempatan untuk mempraktikkan pengampunan, kesabaran, dan kebaikan. Relasi yang paling berharga adalah relasi yang memotivasi pelakunya untuk menjadi lebih baik.

Memang AI dapat membuat hidup Gen Z lebih mudah, praktis, cepat, efisien bahkan sempurna. Namun ketiadaan sensasinya yang nyata dengan manusia lain, hanya melahirkan kesepian. Kalaupun Gen Z berdalih semua perangkat teknologi berbasis AI itu dapat menghasilkan kepuasaan sebagaimana efek yang ditimbulkan dari relasi antar manusia, seluruhnya semu. Itu terformulasi oleh algoritma yang dibangun berdasar pola-pola data, hasil pembelajaran machine learning. Bukan sensasi relasi yang sejati. Implikasinya, kesepian yang justru mendera.

Tapi, jangan-jangan seluruhnya ini, hanya kekhawatiran generasi yang lebih tua. Gen X yang melihat dunia dari sudut pandangnya. Dan bagi Gen Z, seluruhnya bukan persoalan. Juga kesepian yang mengancam, hanya ilusi generasi tua belaka. Ah, Semoga tidak. Atau menunggu hingga efeknya seperti merokok 12 batang sehari, benar-benar muncul?

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait