URnews

Indomie Vs Mie Gaga, Kala Deepfake Menciptakan Krisis

Firman Kurniawan S, Sabtu, 9 September 2023 09.56 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Indomie Vs Mie Gaga, Kala Deepfake Menciptakan Krisis
Image: TikTok @Yellovie/TikTok @Yellovie

Jakarta - Ini gambaran krisis di zaman artificial intelligence (AI). Tak jelas gejala permulaannya. Tak jelas pihak-pihak yang menarik picunya. Juga tak jelas penanganannya. Hampir seluruhnya berlangsung dalam senyap. Yang dirasakan hanya pukulan pada reputasi. Juga mungkin turunnya nilai saham perusahaan.

Sebuah krisis besar sedang terjadi, dan kini masih berlangsung. Bahkan belum nampak tanda-tanda, kapan bakal berakhir. Beberapa media berita online menyebut unggahan akun TikTok @bigalphaid, 20 Agustus lalu yang berjudul, “Mie Gaga Ternyata “adeknya” Indomie”, sebagai awal terkuaknya sengketa lama 2 perusahaan besar itu.

Narasi yang mengemuka, soal kepeloporan Djajadi Djaja (DD) yang mendirikan PT Sanmaru Food Manufacturing di tahun 1972 untuk menjajakan mie instan rintisannya. Adanya Indomie sebagai produk yang dikenal khalayak, baru terjadi pada sekitar tahun 1984an.

Ini ketika perusahaan yang didirikan DD bersama Liem Sioe Liong (LSL), PT Indofood Interna Corporation, meluncurkan mie dengan nama itu. Berdasar catatan yang dikutip dari liputa6.com, 30 Agustus 2023, DD adalah pemilik saham sebesar 57.5%. Ini menempatkannya sebagai pemilik saham mayoritas. Sedangkan LSL sebesar 42.5%.

Mengutip artikel kontrakhukum.com, 7 September 2023, berjudul “Kronologi Indomie VS Mie Gaga, Kerja Sama Berujung Sengketa?”, keretakan kongsi bisnis DD dengan LSL mulai terjadi di tahun 1993an. Dipicu oleh perubahan kepemilikan saham DD, saat perusahaan yang dikelolanya mengalami krisis keuangan.

LSL memasukkann pengelolaan Indomie ke PT Indofood Sukses Makmur. Seluruhnya terjadi di tahun 1994. Menurut pengakuan DD, proses itu terjadi lantaran dirinya terpaksa menjual perusahaan dan 11 brand yang dilahirkannya, dengan harga yang sangat murah.

Namun rasa kepemilikan DD tak berakhir. Ia berupaya menimang kembali produk yang dilahirkanya. Pada tahun 1998 DD memperkarakan LSL lewat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. DD menuntut ganti rugi kepemilikan sebesar Rp 620 M, ke Indofood. Namun upayanya tak dikabulkan pengadilan.

Tindakan pengalihan saham mayoritas dari DD, nampaknya tak salah secara hukum. Menyikapi keputusan itu, DD hengkang. Ia mendirikan perusahaan baru, PT Jakarana Tama, perusahaan yang memproduksi Mie Gaga. Mie instan dengan aneka rasa, yang juga disukai konsumen.

Sebenarnya dari seluruh narasi sengketa lama di atas, tak terlalu detil bagi khayalak awam. Baik posisi hukum, maupun relasi bisnis di antara kedua pelaku usaha itu. Sehingga juga tak terlalu jelas, pihak mana yang benar dan yang salah. Dari narasi mengemuka aspek emosionalnya: kekuatan besar merampas kepemilikan perusahaan kecil. David diperdayakan Goliath.

Narasi soal perampasan semacam ini pernah diulas Kara Anderson, 2019, dalam “David vs. Goliath: The So-Called ‘Victims’ of Emotional Journalism”. Anderson membuka uraiannya tentang adanya produk-produk jurnalistik yang membingkai suatu peristiwa dalam sudut pandang perseteruan antara David vs Goliath.

Yang kecil tak berdaya melawan yang besar. Seluruhnya, bertujuan untuk membangkitkan rasa emosional. Simpati pada yang kalah. Satu contohnya, saat adanya pria lokal di Indiana-Amerika, berhadapan dengan kekuatan besar pemerintah setempat. Joe, nama laki-laki itu mengalami kehancuran lahan pertanian akibat penambahan jalan raya. Namun lahan yang dimilikinya seluas 80 hektar, sesungguhnya tak benar-benar hancur.

Kehancuran dalam versi media yang membela Joe, akibat pengaspalan. Ini menyebabkan pergerakan ternak yang dimiliki Joe terpengaruh. Juga menyebabkan gangguan sistem penyerapan air tanah yang digunakan untuk mengendalikan banjir. Memang setelah pengaspalan beberapa kali lahan Joe terendam banjir. Sebuah kerusakan yang sebelumnya tak pernah dialami.

Saat membaca artikel tentang Joe di atas, Anderson menyoroti bahasa penarik simpati yang digunakan para jurnalis. Terdapat kata-kata yang kuat namun bersifat oposisional: ‘hancur’ dan ‘kemajuan’. Penggunaan 2 kata itu tak hanya berhasil merebut perhatian pembaca. Namun juga membentuk opini tentang peristiwa, yang mengendap dalam pikiran khalayak. Padahal sesungguhnya, khalayak tak sepenuhnya paham peristiwa yang benar-benar terjadi. Opini yang dihasilkan: Joe hancur akibat ambisi kemajuan, yang diinginkan pemerintah.

Narasi sengketa lama Indomie vs Mie Gaga, identik dengan ilustrasi di atas. Pola penarikan simpati terjadi lewat kata oposisional: ‘pendiri’ dan ‘terdepak’. Ini mampu membentuk opini khalayak, soal adanya orang yang mendirikan sebuah produk tersohor, namun justru terdepak oleh mitranya. Ironis. Sisi emosional khalayak meronta. Ini kemudian diperkuat konten lanjutan @bigalphaid, 30 Agustus, berjudul “Emang Bener sih Bisnis Bareng Kawan itu Seringnya Malah jadi Persaingan”.

Terlebih, berselang 1 hari setelah konten @bigalphaid yang mengawali terkuaknya sengketa di atas, konten yang diproduksi @hizkiaontiktok turut menjadikan seru sengketa yang terjadi. Konten ini memuat tampilan DD, yang menceritakan posisi dirinya di balik tersohornya Indomie.

Seperti ini narasinya “Saya adalah penemu sekaligus pencetus Indomie. Mie instan favorit Anda. Tapi saya disingkirkan dari produk yang saya lahirkan sendiri. Nama saya Dajajdi Djaja. Pasti banyak yang tidak tahu, bagaimana konflik internal mie instan kebanggaan bangsa Indonesia ini. Seluruh Indonesia tahu bahwa Indomie adalah milik dari Salim Group. Tapi banyak yang tidak tahu, bahwa pencetus awalnya adalah saya, Djajadi Djaja”. Ada kata kuat oposisional yang digunakan di sini: ‘penemu’ dan ‘disingkirkan’.

Namun jika melihat konten itu dengan seksama, akan segera tahu, DD yang berbicara adalah imitasi deepfake. Deepfake merupakan teknologi yang dikembangkan berdasarkan AI, mampu menirukan tampilan, jenis suara, intonasi, mimik muka hingga gerak tubuh, orang yang diimitasi.

Seluruhnya dapat mempengaruhi pada isi konten. Namun mereka yang menontonnya sekilas, bakal mengalami jebakan penguatan opini: terjadinya ketakadilan yang dialami DD. Tergiring 2 kata kuat yang digunakan di atas.

Terhadap keadaan ini, Jack Cook, 2022, dalam ‘Deepfake Technology: Assessing Security Risk’, menyebutkan adanya pengaruh yang ditimbulkan oleh penggunaan deepfake yang ditargetkan secara mikro. Penggunaan secara mikro artinya, konten yang merupakan hasil olehan AI ini digunakan untuk menjangkau kelompok demografi tertentu.

Penelitian Cook yang menyoroti penggunaan deepfake pada praktik politik, menemukan pengaruh berupa terjadinya perubahan sikap setelah terpapar video deepfake. Informasi dalam bentuk ini lebih mempengaruhi sikap khalayak dibandingkan jenis informasi online lainnya.

Dalam sengketa Indomie vs Mie Gaga, tak jelas memang pengaruh langsung berupa penurunan kecintaan khalayak terhadap Indomie. Tak ada laporan terkait turunnya jumlah pembelian produk-produk Indomie. Namun yang khas terjadi sebagai reaksi emosional warganet Indonesia saat terjadi peristiwa yang dianggap tidak adil: serangan terhadap akun yang dianggap sewenang-wenang.

Akun yang menampilkan produk-produk Indomie dihujat. Hujatan macam ini, persis saat warganet menyerang akun media sosial All England, lantaran tim bulutangkis Indonesia dipaksa mundur pada turnamen itu oleh BWF. Juga sebelumnya terjadi, serangan pada akun GothamChess di tengah berlangsungnya pertandingan dengan Dewa Kipas. Dan yang tak terlupakan, penurunan beramai-ramai rating Sungai Aare di Swiss, selepas hanyutnya Putra Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Kembali pada uraian pembuka soal krisis yang dialami perusahaan, banyak definisi yang dikaitkan soal ini. Tuckerhall.com, 2023, di antaranya menyebutkan, krisis perusahaan merupakan peristiwa, situasi, atau penilaian khalayak yang mengancam kemampuan perusahaan untuk menjalankan bisnisnya secara efektif. Keadaan ini dapat berubah jadi bencana atau hambatan yang mengancam kelangsungan perusahaan. Ini jika tak ditangani dengan tepat.

Memang tak ada pernyataan resmi dari Indomie yang menyatakan keadaan yang sedang dialami sebagai krisis. Namun beberapa laporan menyebutkan, adanya penurunan nilai saham Indomie tak kurang dari Rp 5 Triliun. Nilai ini berdasar laporan CNBC Indonesia, 4 September.

Sedangkan laporan IDN Times, 5 September, menyebut, “Viral Kisah Mie Gaga vs Indomie, Indofood Rugi Rp 6,12 Triliun”. Realitas Indomie ini dengan merujuk pada Heather M Hilliard, 2016, dalam ‘Defining a Corporate Crisis’, dapat dipastikan sebagai keadaan krisis.

Hilliard menyebut krisis, sebagai adanya peristiwa di luar ekspektasi operasi normal, terjadi anomali yang berpotensi menimbulkan rasa malu bagi perusahaan dan spekulasi pihak luar yang menilai situasi yang dulunya dapat dikendalikan, berganti memaksa perusahaan mengelola dampak.

Ketiganya hadir walaupun nampak senyap. Krisis yang terjadi di zaman AI, tak seluruhnya tampil jelas. Informasi yang diproduksi deepfake, tanpa tanda-tanda yang jelas dapat menciptakan krisis. Nampaknya inilah pola krisis di zaman AI.

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital dan pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait