URnews

Indonesia Darurat Perhatian

Firman Kurniawan S, Minggu, 8 Oktober 2023 11.14 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Indonesia Darurat Perhatian
Image: Ilustrasi Freepik

Jakarta - Saat Desak Made Rita Kusuma Dewi memperjuangkan pencapaiannya, jutaan pasang mata penonton tak rela melepas perhatian dari aksinya yang memukau. Dewi berjuang di cabang olah raga panjat tebing nomor speed putri, pada laga yang dilangsungkan di Asian Games 2022.

Asian Games dengan angka tahun 2022, namun dilaksanakan 23 September hingga 8 Oktober 2023 ini, berlangsung di Hangzhou Cina. Kecepatan Dewi mencapai puncak tebing dalam waktu 6.364 detik itu, berselisih tipis 0,071 detik dari pesaingnya atlet asal Cina, Deng Li Juan.

Atas keunggulannya, Dewi diganjar medali emas. Ini juga jadi medali emas ke-6 yang membanggakan, yang berhasil diraih kontingen Indonesia.

Dalam catatan, saat prestasi Dewi ditorehkan Indonesia telah berhasil meraih total 30 medali dan berada di posisi ke-12 di antara negara-negara peserta Asian Games 2022 lainnya.

Sama halnya dengan yang terjadi pada 3 Oktober 2023 yang lalu, perhatian besar masyarakat tumpah pada peristiwa yang tak biasa. Peristiwa berbalik arahnya serombongan kendaraan, di tengah laju searah jalan tol.

Mestinya, balik arah jadi peristiwa biasa yang tak menarik perhatian. Ini terutama di tengah makin tak disiplinnya masyarakat berlalu lintas. Balik arah berhasil merebut perhatian, lantaran dilakukan oleh beberapa mobil mewah di Jalan Tol Depok-Antasari (Desari), dalam situasi yang memuncak keramaiannya. Untung saja kekonyolan itu tak menyebabkan kecelakaan.

Kekonyolan serupa berujung kecelakaan, saat sebuah mobil berbalik arah di Jalan Tol Mohammed bin Zayed (MBZ), pada 11 September 2023 yang lalu. Dalam kejadian itu, tak kurang 8 mobil yang sedang melaju dari arah Jakarta ke Cikampek, mengalami kecelakaan beruntun.

Pada dua peristiwa di atas, perhatian massif masyarakat menyebabkan peristiwa jadi penting. Atau lantaran peristiwanya dipersepsi penting, maka perhatian tertumpah padanya? Yang jelas, perhatian jadi kata kunci pembahasan.

Perhatian, merupakan instrumen mental manusia. Saat perhatian dilangsungkan, terjadi pengorganisasiaan rangsangan yang ditangkap oleh panca Indera. Suara oleh telinga, rasa oleh lidah, visi oleh mata, eksposur oleh kulit, dan bau oleh hidung.

Seluruhnya dapat disebut sebagai informasi. Tangkapan informasi oleh satu atau gabungan beberapa panca indera, diproses dalam kognisi manusia. Ini membentuk persepsi. Makin besar perhatian yang diberikan pada informasi, makin utuh persepsi yang terbangun. Persepsi yang terbangun, jadi penentu tindakan penangkap informasi berikutnya.

Dalam realitasnya, informasi tak pernah berhenti termapar di sekitar manusia. Materialnya selalu ada. Dalam hal adanya informasi yang berhasil menyita perhatian, lantaran nilainya yang berhasil mengalahkan informasi lain. Sehingga yang terjadi: informasi tak pernah absen, namun proses selektif yang aktif dilakukanlah, yang menyebabkan informasi berhasil menyedot perhatian seraya membentuk persepsi.

Terhadap proses selektif yang mampu mengalihkan perhatian ini, Kendra Cherry, 2022, lewat “How We Use Selective Attention to Filter Information and Focus”, menuliskan prosesnya. Menurutnya, perhatian merupakan sumberdaya yang persediannya terbatas. Manusia harus melakukan alokasi untuk mendapatkan manfaat yang terbesar.

Ini sesuai dengan prinsip ekonomi: pengalokasian sumberdaya untuk memperoleh manfaat yang optimal di tengah keterbatasannya. Seluruhnya dilakukan manusia dengan mengoperasikan perangkat mental yang dimiliki: mengabaikan informasi yang tak penting, seraya fokus pada hal yang penting. Tingkat kepentingan terhadap informasi bersifat subyektif, dan jadi bahan pertimbangan saat melakukanr proses seleksi.

Cherry selanjutnya mengilustrasikan, perhatian itu seakan lampu sorot. Keberadaannya mengarah pada detail yang perlu difokuskan, seraya membuang informasi yang tidak relevan ke sela-sela persepsi. Ini tepat sekali mengilustrasikan: saat penonton menyimak proses pencapaian Dewi meraih medali emasnya, ada dengung suara pendingin ruang yang sedang dinyalakan.

Juga teriakan tukang paket di depan rumah yang hendak menemui pemilik rumah. Dan di hari yang sama pula, santer pemberitaan TikTok yang harus menutup layanan TikTok Shop, lantaran dianggap merugikan pelaku usaha kecil dan UMKM. Seluruhnya tak membuat penonton mengalihkan perhatiannya. Proses pencapaian Dewi saat hendak memecahkan rekor kecepatan atas namanya sendiri, lebih penting untuk diberi alokasi perhatian.

Terhadap satu peristiwa yang lebih mampu menarik perhatian, dibanding peristiwa yang lain, Kendra Cherry pula lewat tulisannya yang telah dipublikasikan sebelumnya, di tahun 2020, “How Does Attention Work?” menjelaskan keadaan itu.

Dengan mengutip penelitian Alex Thiele yang berperspektif pemrosesan informasi pada jaringan syaraf manusia, disebutkan: “Neuron mengirimkan pesannya lebih intens kepada neuron-neuron lain. Bukan dengan cara penyampaian informasi yang lebih keras, melainkan dengan lebih jelas”.

Ibarat berkomunikasi dengan orang lain, perhatian dapat diraih lewat bicara lebih jelas, bukan dengan lebih keras, terang Thiele. Alex Thiele merupakan anggota peneliti Universitas Newcastle, yang penelitiannya dilakukan di tahun 2013.

Informasi yang lebih jelas ini, jadi penarik perhatian neuron-neuron lain di dekatnya dan yang memiliki kandungan informasi yang serupa. Ini merupakan sumber pembentuk jejaring neuron sejenis. Informasi tersebar ke seluruh jejaring, lantaran adanya kedekatan posisi maupun kandungan.

Di dalam interaksi antar mahluk sosial, realitas inilah yang disebut sebagai proximity. Munculnya perhatian yang disebabkan oleh adanya kedekatan ruang, waktu, ide, tujuan hingga keprihatinan.

Selain informasi yang jelas mampu jadi urutan tinggi pembentuk perhatian, kelangkaannya juga jadi unsur penarik yang kuat. Kelangkaan dalam konteks informasi, adalah peluang munculnya suatu informasi, dibanding seluruh waktu yang tersedia.

Makin kecil peluang kemunculannya, makin langka kategori informasi. Pada informasi berkategori langka ini kognisi manusia tak ingin melewatkan kejadiannya. Perhatian ditumpahkan untuk menyaksikannya.

Terhadap kelangkaan yang dapat mengalihkan perhatian ini, James Chen, 2020 dalam “Scarcity Principle: Definition, Importance, and Example”, menyebut, “Menurut prinsip kelangkaan, harga suatu barang yang persediaannya sedikit dan permintaannya tinggi, akan naik untuk memenuhi permintaan yang diharapkan”.

Ini artinya, ketersediaan sesuatu yang bersifat langka, akan menaikan nilainya. Sedangkan yang tersedia berlimpah, nilainya rendah. Karenanya, lantaran nilainya tinggi perhatian diberikan pada yang bernilai tinggi.

Sedangkan pada yang tersedia berlimpah pengalokasian perhatian dapat ditunda. Seluruhnya ini sesuai dengan prinsip yang didalami sebagai ilmu ekonomi. Karenanya penjelasan-penjelasan soal perhatian ini sering ditemui dalam pembahasan soal the attention economy.

The attention economy yang awalnya dikemukakan oleh pemenang nobel di bidang Ilmu Ekonomi tahun 1978, Herbert A Simon, menyoroti tentang berlimpahnya informasi yang menyebabkan langkanya perhatian.

Ini jadi pendorong: informasi yang jumlahnya makin berlimpah, membutuhkan alokasi perhatian. Karenanya ketika jumlah perhatian makin menyusut, perlu dilakukan penyusunan prioritas. Informasi yang penting, diletakkan tinggi sebagai prioritas utama untuk menerima alokasi perhatian.

Akan halnya yang kurang penting hingga sama sekali tak penting, terus ditempatkan di posisi bawahnya. Uraian Herbert A. Simon ini jadi relevan hari ini, saat semua orang dapat memproduksi dan mendistribusikan informasi. Ketersediaa informasi jadi berlimpah ruah, memangkas perhatian jadi sumberdaya yang langka.

Atas kelangkaan itu, entah disadari atau tidak, para content creator nampaknya menemukan cara untuk merebut perhatian. Formula untuk selalu diperhatikan. Ini mengeluarkannya dari keadaan, hanya bisa tunduk pada perhatian yang terjadi secara alamiah.

Para kreator mengaplikasikan formulanya, menyusun konten yang memaksa diberikannya perhatian. Perhatian-perhatian yang terjadi secara alamiah, seperti saat diraihnya medali emas di ajang olah raga, gerhana matahari total yang butuh puluhan hingga ratusan tahun untuk terulangnya di tempat tertentu, momen jatuhnya pesawat atau tersandungnya Presiden Joe Biden ini lazim jadi santapan breaking news media konvensional tak dapat diandalkan jadi komoditas peraih perhatian.

Karenanya, dengan sengaja memformulasi konten tak lazim atau setidaknya mengetengahkan konten tak layak, perhatian dengan paksa direbut. Adanya siswa yang membacok sadis gurunya, siswa yang merundung siswa lain hingga babak belur, siswa bunuh diri dengan melompat dari lantai 4 sekolahnya lantaran berselisih dengan teman lainnya, hingga siswa yang melakukan penembakan di sebuah mall, seluruhnya berhasil merebut perhatian.

Konten-kontan tak lazim itu merebut perhatian, lantaran mampu membentuk persepsi kelangkaan. Dan kelangkaan sayang untuk dilewatkan. Traffic pada konten sangat tinggi. Ini kemudian memunculkan terbentuknya sirkuit: perhatian yang membentuk persepsi kelangkaan dan persepsi kelangkaan yang merebut perhatian.

Seluruhnya berlangsung di media sosial. Sayangnya, manakala media sosial kerap menyajikan konten yang dipersepsi langka itu, terjadi banalitas pada ketaklaziman. Ketaklaziman memang masih dianggap langka, namun dalam takaran yang makin tinggi.

Seluruhnya dipicu oleh kelangkaan perhatian. Dan itu terjadi di Indonesia, salah jika Indonesia ada dalam situasi darurat perhatian. Formulasi konten, sekedar untuk merebut perhatian. Akankah keadaan ini terus dibiarkan berlangsung?

*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital dan Pendiri LITEROS.org

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait