Janji Berlebihan Artificial Intelliegence
Jakarta - Entah penglihatan penulis yang terbatas atau memang euphoria-nya baru berlangsung: aneka tawaran jenis dan penggunaan aplikasi berbasis artificial intelligence (AI) makin berserak dan berlimpah. Intensitas ini makin nyata, terutama di 3 tahun terakhir.
Jika saat sebelumnya untuk menemukan aplikasi penerjemah, juga perekam yang mampu mengubah suara ke material tertulis, sangat langka. Hari ini seluruhnya tersedia dalam berbagai pilihan.
Bahkan di antaranya, ditawarkan gratis. Unggahan media konvensional maupun media sosial, turut menunjukkan hal itu. Hadir dengan menyertakan informasi berbagai jenis, maupun cara penggunaan aplikasi terkontemporer ini.
Kekerapan hadirnya, seakan lomba yang melibatkan berbagai pihak.
Berbagai program pemahaman dikemas menarik. Seluruhnya bertujuan membangun kemampuan memanfaatkan AI secara luas.
Ini juga mendorong munculnya kreativitas baru. Sedangkan di tahap yang lebih konseptual, ditawarkan kemampuan penyusunan rencana, strategi maupun taktik manajemen, berikut eksekusinya.
Baca Juga: Khodam di Zaman Artificial Intelligence
Hasilnya, materi presentasi, bahan publikasi, poster, pidato hingga naskah buku maupun laporan penelitian. Dengan berbasis AI, seluruhnya dihasilkan dalam hitungan menit bahkan detik. Lengkap dengan nilai ekonomi yang dapat diperoleh.
Sedangkan pada kelompok rumah tangga, produsen-produsen mesin menawarkan pembersih lantai, penyiram tanaman, pengolah makanan, perawat binatang peliharaan, pengatur suhu dan penerangan hemat energi, hingga perangkat keamanan.
Seluruhnya dengan janji yang kurang lebih sama: percepatan proses kerja, penghematan waktu, pemotongan biaya operasional, dan kesempurnaan hasil. Yang pada akhirnya: ditempuhnya hidup secara mudah, dengan imbalan kelebihan waktu, tenaga maupun biaya. Ini dapat digunakan untuk menikmati hal-hal baru, di luar rutinitas.
Karenanya, tumbuhnya ekosistem AI di seluruh dunia hari ini jadi tema yang mengemuka. Walaupun euphoria yang mengiringinya sama sekali bukan gejala baru, juga bukan pertama kali terjadi di dunia.
Saat James Watt berhasil menyempurnakan dan mematenkan mesin uapnya di tahun 1769, pemanfaatannya yang luas memicu transformasi industri di Inggris. Juga menghadirkan euphoria, akibat munculnya jenis pekerjaan baru. Ini merambat ke berbagai wilayah di Eropa.
Juga membawa pengaruh ke seluruh dunia. Kerja pertanian, peternakan perkebunan yang semula mengandalkan tenaga manusia, hewan, air dan angin, mengalami perubahan mendasar. Pelakunya beralih dari unsur alam, ke mesin yang bertenaga uap.
Mesin uap jadi perangkat yang menggerakkan dunia. Pabrikasi, transportasi juga pada giliran berikutnya elektrifikasi dan mekanisasi, dengan memanfaatkan mesin uap. Seluruhnya mendorong perubahan total pada ciri sosial, budaya hingga cara berpikir manusia.
Karenanya, momentum ini disepakati sebagai revolusi industri yang pertama. Industry revolution 1.0, demikian sebutannya. Tak disangkal, revolusi yang mempengaruhi dunia hari ini, dihadirkan oleh AI.
Gejalanya serupa dengan yang terjadi dengan saat dikenalkannya mesin uap di revolusi indutri 1.0, sistem ban berjalan di revolusi industri 2.0, komputer di revolusi industri 3.0 dan internet di revolusi industri 4.0.
Revolusi yang didorong kehadiran AI ini, jika ditelusur gejalanya belum berlangsung lama. Ledakan euphoria-nya seiring peluncuran ChatGPT 3.5 di Bulan November 2022.
Konsep AI sesungguhnya telah diperkenalkan oleh John McCarthy, Marvin Lee Minsky, Herbert Alexander Simon, Allen Newell, Edward Albert Feigenbaum, Nathaniel Rochester, Claude Shannon dan banyak tokoh lainnya, di tahun 1956.
Ini seiring diselenggarakannya The Dartmouth Summer Research Project on Artificial Intelligence. Sebuah konferensi yang berlangsung di Dartmouth College, Hanover, New Hampshire. Pasca konferensi itu, penelitian, pengembangan serta pemanfaatan perangkat berbasis AI, sinambung berlangsung.
Namun gemanya tak sedahsyat, saat ChatGPT, sebuah varian AI yang berciri generatif diperkenalkan.
Hari ini, berjarak waktu setidaknya 67 tahun sejak konferensi AI yang pertama kali di dunia itu, euphoria AI makin kencang. Dengan mengutip penelitian yang dilakukan GBK Collective, Taylor Soper, 2023, dalam ‘Is AI Overhyped or Underhyped? Here’s What Techies in Seattle Think’, menyebut: 58% pemimpin perusahaan senior yang dilibatkan dalam penelitian, secara aktif menggunakan AI generatif di tempat kerjanya.
Realitas yang kurang lebih sama, diperoleh dari penelitian yang diselenggarakan oleh KPMG. Ditunjukkan KPMG: lebih dari dua pertiga CEO, menempatkan AI generatif sebagai prioritas utama di perusahaan yang dipimpinnya.
Kedua hasil penelitian di atas menunjukkan: dunia ada dalam realitas penularan pemanfaatan AI. Adopsinya jadi gejala luas. Juga diwarnai keputusan-keputusan strategis, memasukkan AI ke dalam sistem perusahaan.
Seluruhnya terjadi, akibat ekosistem AI yang dikenalkan secara intensif. Juga dengan memuat janji yang berlebihan. Ini menghasilkan gejala yang disebut sebagai AI overhype.
Berlebih-lebihannya keadaan, sebagai hasil yang dapat dicapai AI. Namun di sisi lain, akibat belum dipahaminya AI secara menyeluruh juga memunculkan keadaan yang disebut underhype.
Baca Juga: Realitas Cair Zaman Artificial Intelligence
Terhadap dua kemungkinan ini, melalui wawancara yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan AI, Soper mencoba menegaskan posisi AI. Overhype atau underhype? Saat mewawancarai Gaurav Oberoi, CEO & Co-Founder of Seattle Startup Lexion, AI disebut overhype sekaligus underhype.
Posisi yang tak mudah ditentukan. Disebut overhype, manakala pengguna bisnis, maupun pembeli produk, harapannya telah dilambungkan berlebihan oleh hasil AI, yang sebenarnya tak bisa dicapai.
Realitas ini terkonfirmasi, misalnya saat menggunakan ChatGPT dalam memenuhi berbagai tujuan. Output yang dihasilkannya, tak serta merta dapat digunakan.
Masih diperlukan beberapa langkah pemeriksaan, terutama yang menyangkut sumber data. Data yang digunakan pada aplikasi ini tak sepenuhnya dapat diandalkan. Di sisi lain, AI juga underhype.
Kemampuannya melebihi hasil, yang dapat dicapai perangkat yang pernah ada sebelumnya. Demontrasi video oleh SORA OpenAI menunjukkan hal ini. Prompt-nya yang sederhana mampu menghasilkan audiovisualisasi yang tak pernah dihasilkan perangkat tak berbasis AI.
Pendapat Oberoi di atas, senada dengan pernyataan Beth Birnbaum. Perempuan ini semula eksekutif di Expedia & Grubhub, dan sekarang anggota dewan di WIley, Root, Fandom, dan perusahaan lainnya.
Baca Juga: Realitas Cair Zaman Artificial Intelligence
Ia menyebut: AI berhasil membawa euphoria namun tak sepenuhnya mampu menghasilkan dampak sebagaimana yang dibicarakan banyak orang. Terdapat bagian yang dilebih-lebihkan.
Meskipun demikian, AI merupakan agen transformasi yang memiliki dampak besar, bahkan hingga beberapa dekade mendatang.
Seringnya pengenalan yang melebih-lebihkan kemampuan AI, muncul sebagai fenomena yang serupa dengan pencantuman environment friendly maupun greenwashing. Seluruhnya adalah gimmick pendorong keputusan pembelian.
Banyak dilekatkan pada produk-produk yang terlanjur melelan investasi pengembangan bermiliar dolar. Terhadap hal ini, Bernard Marr, 2024, dalam ‘Spotting AI Washing: How Companies Overhype Artificial Intelligence’, mengemukakan: AI telah berhasil menarik investasi 15% hingga 50% lebih banyak.
Sehingga jadi kelaziman, jika ditempuh upaya pemastian berbuahnya investasi yang telah ditanamkan.
Untuk memastikan tujuan itu, berbagai upaya komunikasi dikembangkan departemen pemasaran. Karenanya bagi konsumen, jadi hal penting untuk mampu membedakan pesan yang nyata, dengan pesan soal AI yang berlebihan.
Fenomena ini lazim disebut sebagai AI washing. Sebuah konsep yang mengandung pengertian, dilakukannya pelebih-lebihan kemampuan produk maupun jasa yang dijual. Seakan-akan bekerja dengan basis AI. Sehingga nampak anggih, inovatif dan cerdas. Namun dalam realitasnya, tak seperti yang dijanjikan.
Janji berlebihannya kemampuan AI, turut dipengaruhi oleh euphoria penerimaannnya oleh berbagai kalangan di berbagai aktivitas. Tahapannya sesuai diagram yang dikembangkan Gartner, yang disebut sebagai ‘Gartner Hype Cycle 2023: Hype Cycle for Artificial Intelligence, 2023’.
Pergerakan penerimaan itu didahului Fase Innovation Trigger. ini dipicu oleh diperkenalkannya prinsip-prinsip AI, juga hadirnya berbagai sistem yang bekerja secara otomatis. Keadaan di fase pertama ini terus memuncak, diikuti Fase Peak of Inflated Expectation.
Sebuah tahap yang ditandai oleh hadirnya generative AI, smart robot, responsible AI, juga foundation models. Keadaan mengalami penurunan curam, ketika masuk pada Fase Through of Dislusionment.
Ini ditandai oleh EdgeAI. Peningkatan kembali terjadi pada Fase Slope of Enlightenment dan mencapai keseimbangan saat ada di Fase Plateau of Productivity.
Seluruh perjalanan menempuh tahap demi tahap penerimaan AI itu, dapat berlangsung antara 20 hingga 30 tahun. Seluruhnya berarti, jika hari ini AI telah mencapai tahap produktivitasnya tak lain akibat sinambungnya pengembangan, sejak tahun 1990-an.
Juga saat John McCarthy memperkenalkan AI untuk pertama kalinya. Hanya saja pertanyaan yang patut terus diajukan: akankah hasil yang dijanjikan dan ditunjukkan oleh suatu penggunaan Ai, dapat selalu terjadi pada penggunaan di ruang dan waktu yang berbeda? Lebih baik berhati-hati dengan janji berlebihannya AI. Yang ditempuh demi kembalinya investasi yang terlanjur ditanamkan.
* Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital serta pendiri
LITEROS.org
* Tulisan ini adalah pandangan penulis, bukan pandangan Urbanasia