Kegembiraan Ganjil Masyarakat Media Sosial
Jakarta - Ada sebuah jenis kegembiraan, namun ganjil untuk dirayakan. Apalagi jika ingin dijadikan sebagai tujuan yang hendak dicapai. Istilah untuk kegembiraan jenis ini, didapat dalam bahasa Jerman: ‘schadenfreude’.
Ini artinya kegembiraan yang menyakitkan. Bahkan kesenangan yang diperoleh dari kemalangan orang lain. Ketika dicari padanan bahasa Inggrisnya, diperoleh ‘malicious joy’. Kurang lebih artinya senada: kegembiraan yang jahat.
Konteks diperolehnya istilah itu, seiring hadirnya peristiwa yang mengandung kekelaman: kemalangan, kegagalan, terkuaknya skandal, terbongkarnya kejahatan, kecelakaan, kematian. Juga aneka peristiwa lainnya, yang mengandung penderitaan.
Yang tak lazim mengiringi peristiwa macam itu, adanya kesemarakan unggahan yang mengabadikannya. Juga deru perbincangannya yang seru. Alih-alih dilakukan sebagai simpati meringankan penderitaan. Tak jarang keramaiannya diiringi spekulasi penuh benci.
Juga adu argumetasi, saling caci-maki. Sebuah perayaan dengan kegembiraan yang ganjil. Kekelaman yang tak sebatas substansi untuk dihayati ruang dan waktu peristiwanya. Namun jadi bahan yang patut disebarkan secara luas.
Schadenfreude ini juga, yang terjadi seiring meninggalnya Yitta Dali Wassink pekan lalu. Memang bukan tepuk sorak penuh gembira, mengiringi informasi kecelakaan penyebab Dali meninggal.
Tapi produksi dan distribusi unggahan media sosial, yang seakan tiada henti menarasi peristiwanya. Hadir dalam berbagai bentuk, juga berbagai sudut pandang. Terlepas dari tendensi benci atau cinta para produsen unggahan, viralnya peristiwa di media sosial bak perayaan kegembiraan. Tak terlalu memperdulikan perasaan keluarga yang ditinggalkan.
Baca Juga: Khodam di Zaman Artificial Intelligence
Boleh jadi, akibat ketidaknyamanan yang dialami, Jennifer Coppen, Sang Istri korban lalu mengunggah pesan, lewat Instagram-nya, “Kami memohon pada waktu yang sulit ini untuk meminta teman” kerabat menghargain privacy kami sekeluarga saat ini yang sedang berduka”. Entah pesan itu menyurutkan hasrat produksi unggahan khalayak atau tidak, namun aneka aksi diduga telah melampaui batas kepatutan.
Dali yang bermukim di Bali, diberitakan meninggal akibat kecelakaaan saat bermotor. Peristiwanya terjadi pada 18 Juli 2024. Berdasar informasi yang dikutip dari media sehari setelahnya, laki-laki ini adalah atlet peselancar.
Juga dikenal sebagai model. Tak kerapnya Dali jadi sumber unggahan media, juga profesinya yang mungkin tak terlalu akrab dengan khalayak Indonesia, menyebabkannya jarang jadi topik perbincangan. Tak banyak yang mengenalnya.
Kesohoran Dali justru muncul, seiring peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawanya. Ini lantaran tergolong tragis. Selain usianya yang masih terhitung muda 22 tahun saat kejadian, Dali yang suami pesohor Jennifer Coppen meninggalkan putri yang masih belia.
Sebuah kekelaman yang terbilang dini, untuk pasangan muda yang baru saja mengenyam kehidupan berkeluarga.
Beberapa saat setelah peristiwa, unggahan soal Dali menempati posisi viral media sosial. Selain teks yang berlomba merekonstruksi kecelakaan, juga audio maupun video pengabadi peristiwa.
Tahap demi tahap proses penanganan, hingga berakhir saat abu jenazah dilarungkan, tersaji berlimpah. Tak seluruh unggahan dikemas dengan tema yang bersahabat. Sebagiannya mengandung spekulasi bernada benci.
Alih-alih mendatangkan penghiburan bagi keluarga, kehadirannya justru memperdalam perihnya luka. Karenanya, Sang Istri saat mengiringi pelarungan abu jenazah, untuk kesempatan yang kedua, menyampaikan permintaan pada khalayak.
Permintaan untuk menghargai privacy keluarga, juga menghentikan spekulasi soal penyebab kematian Sang Suami tercinta. Karena spekulasi tanpa bukti yang mendasari, lebih menyakitkan dari kematian itu sendiri.
Di luar yang terjadi pada Dali dan keluarganya, unggahan tak semestinya soal kekelaman peristiwa, makin kerap tampil di media sosial. Kehadirannya hilir mudik, mudah disaksikan. Fungsinya bermata dua.
Di satu sisi untuk mendokumentasi peristiwa. Ini menyangkut ruang dan waktu kejadiannya. Lewat fungsi ini kebutuhan pengetahuan khalayak terpenuhi. Khalayak jadi tahu terjadinya peristiwa. Juga duduk perkaranya.
Namun di sisi lain, jadi bilah yang memperdalam kepedihan. Ini saat unggahan dihadiirkan tanpa simpati. Merobek hak privacy, juga mengabaikan perasaan korban.
Hanya peduli pada tampilan unggahan, seluruhnya memancing diberikannya perhatian. Tak jarang membuatnya jadi unggahan tak beretika. Juga tanpa estetika.
Pada kecelakaan, dihadirkan korban penuh simbah darah. Belum tentu korban maupun keluarganya berkenan. Pada orang yang dituduh melakukan kejahatan, dipampangkan wajah bengap akibat dipukuli massa.
Belum tentu pelakunya benar-benar berniat jahat. Juga pada wilayah peperangan pasca serbuan, dimunculkan wilayah yang porak poranda. Juga gelimpangan mayat tak utuh, kehilangan anggota tubuh.
Dan pada skandal yang terkuak, tak jarang pengunggahannya disertai komentar yang menganggap subyek, layak menerima penderitaan. Penampilannya dihadirkan sebagai lelucon.
Tak jarang disertai meme yang buruk, membuatnya terpeleset sebagai dark joke. Seluruhnya seolah bermisi memperbaiki perilaku etis khalayak, juga peduli pada nasib buruk orang. Namun dihadirkan dengan cara tak elok.
Terhadap aneka persitiwa itu, penulis mencoba menemukan penjelasan yang melatarbelakanginya. Dilakukanlah pencarian di Google search, di antaranya dengan kata kunci ‘commodification of misfortune’. Lewat aktivitas ini diperoleh istilah berbahasa Jerman yang telah disebutkan di atas.
Ini di antaranya, bersumber dari artikel yang ditulis Ario Mezzolani, 2024. Judulnya, ‘The Dark Side of Likes: Schadenfreude and The Social Media’.
Mezzolani menjelaskan, schadenfreude merupakan gejala psikologi, namun sama sekali bukan gejala baru.
Keberadaannya telah dikenali sejak berabad-abad lampau. Ini muncul sebagai keadaan mental, yang menjangkiti manusia. Hari ini, schadenfreude belum lepas juga dari masyarakat modern.
Alih-alih tereliminasi, justru manifestasinya mengikuti budaya yang ada. Tendensi bergembira atas kekelaman orang lain, jadi warisan yang justru diperkuat media sosial. Makin kelam pengalaman seseorang, makin kencang produksi dan distribusi unggahannya.
Kekelaman yang tak hanya untuk diketahui peristiwanya, namun juga harus dibagi pada orang lain.
Mengapa gejala lama ini tetap bertahan? Ditambahkannya, seluruh kegembiraan ganjil itu merupakan mekanisme pertahanan mental individu. Pada individu yang tertekan, superioritas maupun rasa aman pada diri, justru terbentuk saat menyaksikan ketakberuntungan orang lain.
Penjahat yang tertangkap, tertuduh yang disidangkan, pelaku skandal yang terkuak. Juga manusia baik yang celaka dan mengalami penderitaan, seluruhnya jadi pembebas diri. Pembebasan atas kekelaman yang tak siap diterimanya.
Dengan pengungkapan menggunakan bahasa berbeda, uraian Mezzolani itu kurang lebih dapat dijelaskan: sorak sorai unggahan yang merayakan kekelaman, jadi pertanda diri yang terlepas dari ancaman kemalangan.
Baca Juga: Realitas Cair Zaman Artificial Intelligence
Seluruhnya telah dialihkan jadi kemalangan yang ditanggung orang lain. Demikian juga adanya orang lain yang terungkap kesalahannya, dapat mencuci bersih kesalahan diri sendiri. Membuktikan orang lain bersalah, sama nilainya dengan membuktikan diri tidak bersalah. Ini memang ganjil, namun jadi realitas psikologis.
Diri yang terbebas dari kemalangan, juga kesalahan yang terbukti pada orang lain, layak dirayakan. Superioritas yang dipersepsisebagai diri yang terberkahi, terselamatkan, lebih baik, lebih benar, dibanding orang lain walaupun sebagiannya ilusi harus diberitahukan pada khalayak luas.
Seluruhnya terwujud jadi ramainya unggahan media sosial. Jahat? Mungkin. Namun jika schadenfreude dipahami sebagai mekanisme primitif psikologis, realitasnya memang telah ada sejak masyarakat masa itu.
Realitas psikologis ini, tak selalu dapat dinilai dalam standar etika dan estetika. Posisinya sebagai warisan masa lalu, termanifestasi sebagai budaya manusia hari ini. Budaya media sosial yang kental.
Hal yang lain dari normalisasi perayaan kekelaman yang diderita orang lain, dengan mengutip Psikolog Sosial, Leon Festinger Mezzolani menyebut: keberadaannya jadi mekanisme penemuan kelemahan orang lain.
Kelemahan ini dijadikan oleh pihak yang merayakannya, sebagai amunisi pertahanan hidup. Individu, untuk menentukan nilai sosial dan pribadinya sendiri, melakukan dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain. Orang lain yang mengalami kekelaman, jadi sarana untuk meningkatkan status atau harga dirinya.
Hal ini berarti, juga jika dikaitkan dengan adagium ‘membuktikan orang lain bersalah, sama nilainya dengan membuktikan diri tidak bersalah’. Dan juga, 'mencuci keburukan diri sendiri, lewat kesalahan yang diperbuat orang lain’ seluruhnya harus diwujudkan sebagai unggahan media sosial.
Maka jadi dapat dimengerti: saat terjadi peristiwa yang kelam, selalu jadi unggahan yang viral. Alih-alih viral oleh pengungkapan ruang dan waktu peristiwanya, melainkan perayaan penampilan diri. Diri yang lebih baik, juga terselamatkan.
Media sosial jadi mesin cuci kekelaman. Sarananya kekelaman orang lain. Seluruhnya diproduksi sebagai unggahan yang intensif, alih-alih untuk menyatakan simpati atau memberi pertolongan. Isinya justru memojokkan orang yang menderita.
Memang ganjil. Itukah yang disebut budaya media sosial?
* Penulis adalah seorang Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital sekaligus pendiri LITEROS.org
* Artikel ini merupakan pandangan penulis, bukan pandangan Urbanasia