URnews

Khodam di Zaman Artificial Intelligence

Firman Kurniawan S, Rabu, 26 Juni 2024 20.09 | Waktu baca 6 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Khodam di Zaman Artificial Intelligence
Image: istimewa

Jakarta - Ada yang menarik dan memicu kehebohan khalayak. Seluruhnya ditularkan oleh platform Tiktok: soal tinggi animo melakukan 'check khodam'. Pengertian frasa hasil gabungan check dan khodam ini, terasa paradoks.

Check adalah aktivitas obyektif menemukan sesuatu, agar statusnya jadi jelas. Sedangkan khodam adalah entitas gaib yang dipercaya sebagian orang dapat menghuni raga manusia namun tak dapat dibuktikan secara obyektif. Semakin topik ini diperbincangkan, juga distribusi kontennya yang melintasi berbagai platform, makin jelas status keseriusannya.

Topik ini bukan hal yang serius. Namun demikian, kehebohannya masih berlangsung bahkan hingga minggu ke-3 bulan Juni ini.
Check khodam ditawarkan secara gratis. Menggunakan aplikasi digital, yang dapat diakses di berbagai platform.

Hasil pengecekannya berupa materi yang tampil beragam: mulai tak serius hingga seram. Ketika hasil check bernada tak serius justru mendominasi, maka kehebohan tak semestinya ditanggapi dengan kening berkerut.

Juga tak perlu dibahas hingga berlarut-larut. Keberadaannya hanya jadi jeda, untuk mengkompensasi topik-topik serius dalam negeri: naiknya nilai tukar dolar, belum turunnya harga komoditas pangan sejak Idul Fitri, maupun tarik ulur pemberlakuan Tapera yang akhirnya diundur.

Di tengah check khodam yang dianggap topik yang tak serius, namun ada yang bertanya: bukankah ironi di tengah kemajuan teknologi, bahkan dengan teknologi terkini, orang masih percaya pada yang gaib? Lalu apa itu teknologi dan fungsinya dalam mengungkap dunia jadi terang?

Pertanyaan kedua sangat mendasar. Walaupun sederhana, jawabannya tak bisa disederhanakan: apa itu teknologi dan fungsinya? Jawaban untuk pertanyaan ini, bisa berangkat dari uraian yang kompleks hingga uraian yang sifatnya pragmatis.

Yang kompleks, mengacu pada gagasan Martin Heidegger, 1997, yang termuat pada bukunya ‘The Question Concerning Technology’. Menurutnya teknologi harus dipahami sebagai cara untuk mengungkap dunia.

Teknologi memiliki pengertian yang masih terpenggal, jika dibatasi sebagai sarana mencapai tujuan. Ini adalah karakter instrumental teknologi.

Namun juga tak lengkap, jika teknologi disebut sebagai aktivitas manusia. Teknologi tak antropologis: mengikuti kemauan manusia dalam mengungkap dunia. Teknologi adalah keduanya, sekaligus bukan hanya keduanya.

Lebih lanjut, lewat teknologi hal yang semula tak terpikirkan, tak nampak, juga dunia yang tersembunyi dapat dihadirkan sebagai realitas. Teknologi lewat fungsi instrumennya, menghadirkan yang belum nampak, keluar dari ketersembunyiannya jadi realitas.

Demikian juga, lewat aktivitas manusia dunia terungkap. Namun caranya terungkap, tak tergantung manusia. Manusia hanya berperan menyimpan bahan baku mentah realitas.

Sedangkan teknologi mengubahnya jadi realitas pada dirinya sendiri. Perangkat-perangkat teknologi adalah sarana untuk mencapai tujuan, juga aktivitas yang dibangun serta dioperasikan oleh manusia.

Untuk memahami gagagasan Heidegger di atas, ilustrasi praktis dapat dihadirkan. Dari perilaku manusia yang nampak acak saat memanfaatkan perangkat digital, tersimpan jejak digitalnya. Ini disebut sebagai digital path.

Digital path yang dikumpulkan secara sistematis, tak lain adalah realitas mentah yang sebenarnya dapat diakses lewat aktivitas manusia. Namun manusia dengan keterbatasan kognisinya tak mampu mengubah timbunan data acak, jadi informasi bermakna.

Untuk mengubahnya, diperlukan perangkat analisis. Machine learning dapat berperan mengubah realitas mentah, jadi sistematis. Sistematika yang mengungkap: adanya pola perilaku tak acak. Ini lazim disebut sebagai algoritma. Lewat algoritma ini terungkap 2 hal: pertama, perilaku manusia sebagai realitas terolah.

Ternyata polanya teratur. Dan kedua, dari keteraturan dapat diprediksi perilaku di waktu mendatang. Di sini machine learning adalah sarana pengungkap, yang semula tak nampak.

Di samping uraian kompleks seperti di atas, terdapat jawaban pragmatis terkait teknologi: sarana pemberi kepastian. Dalam pengertian ini, aktivitas menggunakan teknologi bertujuan memperoleh kepastian.

Realitas mentah hadir secara relatif, tergantung ruang dan waktunya. Sehingga tak mudah digunakan sebagai pedoman jangka panjang. Seorang penderita demam yang diukur suhu tubuhnya, dengan tangan temannya yang kedinginan.

Suhu tubuhnya akan terasa tinggi. Sebaliknya jika diukur tangan yang kepanasan, suhu tubuhnya terasa rendah. Tak ada titik temu yang pasti.

Sehingga sulit menentukan langkah lanjutannya: harus dibawa ke rumah sakit atau tidak? Kepastian dapat dihadirkan dengan menggunakan termometer tubuh.

Lewat teknologi ini, segera terkategori: suhu tubuh yang tinggi, sehingga harus segera dibawa ke rumah sakit. Atau suhu tubuh yang normal, sehingga dapat dirawat sendiri dengan obat pereda demam. Ukuran yang ditunjukkan termometer, memberi kepastian.

Dari pengertian teknologi berdasar gagasan Heidegger, maupun berdasar aspek pragmatisnya, teknologi mengungkapkan dan memberi kepastian tentang keadaan dunia.

Aspek pengungkapan dan pemberi kepastian jika direlasikan, posisinya dapat dipertukarkan: “hal yang terungkap, memberi kepastian” dan “hal yang telah, pasti mendorong keterungkapan”.

Kedua posisi berimplikasi, makin intensif aktivitas menggunakan aneka teknologi, makin terungkaplah dunia dari ketertutupannya. Ini juga berarti dunia yang pasti keadaannya.

Persepsi terhadap dunia jadi lebih terang. Hal tersembunyi, tak jelas, maupun tak pasti, dapat mewujud sebagai realitasnya. Yang kemudian, realitas ini digunakan untuk bertindak karena telah terang dan pasti. Makin intensif teknologi digunakan, makin terungkap ruang-ruang gelap, maupun realitas yang tersembunyi.

Lalu untuk pertanyaan sebelumnya, bagaimana memahami ironi adanya kepercayaan pada khodam, juga entitas gaib yang tak pasti lainnya di tengah intensitas perkembangan teknologi? Keterungkapan dunia dan kepastian keadaannya, tak serta merta diterima dalam keutuhan rasionalitas.

Peter Smulovics, 2024, dalam ‘Misbelief: What Makes Rational People Believe Irrational Things’, menyebutkan: manusia merupakan mahluk yang membanggakan rasionalitas dan logikanya.

Namun dalam realitasnya, bahkan orang yang paling rasional dan logis pun, dapat jadi penganut keyakinan yang berseberangan dengan bangunan mentalnya. Paradoks ini disebut sebagai misbelief, tampil sebagai fenomena psikologis, yang mendorong keadaan irrasionalitas dan tak logis.

Lebih lanjut Smulovics menguraikan, lima kontributor psikologis yang dapat membentuk misbelief pada seseorang. Bahkan pada orang bermental sangat rasional dan logis pun. Kelima kontributor itu dijelaskankan penulis dengan menyertakan konteksnya di Indonesia.

Masing-masing: pertama, disonansi kognitif. Disonansi kognitif muncul akibat keadaan tak selarasnya keyakinan dengan tindakan. Saat tindakan makin mengandalkan teknologi, justru keyakinan makin terganggu.

Maraknya kasus pencurian data, juga beredarnya informasi palsu berbasis deepfake, menimbulkan ketakselarasan. Teknologi yang disambut antusias, justru mengancamnya. Untuk menghilangkan keadaan ini, dapat mencari hal yang lebih terjamin kepastiannya. Atau justru lari pada hal irrasional, termasuk check khodam, maupun hal gaib lainnya.

Kedua, bias konfirmasi. Penggunaan teknologi sebagian bertujuan mewujudkan kebutuhan memperoleh informasi, sebagai konfirmasi keyakinan. Terhadap informasi yang mengkonfirmasi keyakinan, akan diterima. Sebaliknya informasi yang bertentangan, akan ditolak.

Saat melakukan test IQ menggunakan teknologi otoritatif, hasilnya diterima jika sesuai keyakinan diri: “saya adalah manusia dengan kecerdasan di atas rata-rata”. Hasil akan ditolak, jika yang ditunjukkan sebaliknya. Namun pada perangkat tak otoritatif semacam check khodam, hasil akan diterima asal sesuai dengan keyakinannya.

Ini adalah keadaan yang sama dengan kepercayaan khalayak pengguna intensif teknologi, yang menerima hasil ramalan bintang. Seluruhnya, lantaran sesuai dengan yang diyakini.

Ketiga, pengaruh lingkungan sosial dan budaya. Masyarakat dan budaya itu saling mempengaruhi. Ketika teknologi hidup di tengah budaya percaya pada yang irrasional, betapapun progresif teknologi yang digunakan tetap tak bisa mengeliminasi kepercayaan pada yang gaib.

Dan Indonesia dikenal dunia, sebagai negara dengan masyarakat yang sangat percaya tahayul. Kontributor ketiga ini, terkait dengan yang keempat, kenyamanan emosional.

Ini merupakan situasi tenang seseorang, yang diraih lewat hal yang tak jelas dan tak pasti. Saat muncul permintaan melalui sosial media untuk meneruskan surat elektronik berantai, dan akan sial jika tak meneruskannya, permintaan dijalankan demi ketenangan emosional. Ini walaupun irrasional.

Dan kelima, pintasan Kognitif. Jalan pintas yang menyederhanakan penilaian, namun dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang salah. Adanya animo khalayak luas terhadap check khodam, dinilai sebagai kebenaran yang bisa diterima. Karenanya turut antusias terlibat, bukanlah keburukan.

Berdasar kontektualisasi penjelasan masing-masing kontributor irasionalitas manusia rasional, bagian mana yang tak ada di Indonesia? Sehingga mudah dipahami bukan, bagaimana kehebohan check khodam berlangsung dI tengah intensitas pemanfaatan teknologi, di Indonesia? Ironis memang.

*Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital serta pendiri LITEROS.org

* Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait