URnews

Kita Sering Menggunakan Peta, Bagaimana Cara Membuatnya?

Arum W Hastuti, Sabtu, 29 Juli 2023 22.52 | Waktu baca 5 menit
WhatsApp ShareFacebook ShareTwitter ShareLinkedin Share
Kita Sering Menggunakan Peta, Bagaimana Cara Membuatnya?
Image: istimewa

Jakarta - Peta sudah menjadi ‘teman’ dalam kehidupan sehari-hari manusia. Apalagi di zaman digital sekarang ini. Siapa yang tak menggunakan peta?

Saat kaum awam melihat peta Indonesia misalnya, mungkin terbersit pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana peta dibuat? Bagaimana cara memproyeksikan gambaran rupa bumi ke perangkat yang disebut sebagai peta, dan bagaimana garis-garis pada peta dapat muncul?

Pertanyaan-pertanyaan itu sah-sah saja diajukan. Publik mungkin memang tak tahu banyak soal asal mula garis-garis pada peta misalnya. Untuk memahaminya, dapat ditelusuri lewat Badan Informasi Geospasial (BIG), badan pemerintah yang bertanggung jawab soal peta.

Menurut Undang-Undang yang mengatur tentang informasi geospasial (IG), informasi jenis ini menyangkut data yang terkait rupa bumi, yang sudah diolah. Pengolahan ini menyebabkan data dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, maupun pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.

Berdasarkan tipologi datanya, IG dibagi sebagai informasi geospasial dasar (IGD) dan informasi geospasial tematik (IGT). IGD sebagai bagian informasi geospasial, lazim dikenal dalam kehidupan sehari-hari sebagai peta. Dan karena peta yang digambarkan adalah ruang di wilayah Indonesia, maka sering dikenal sebagai Peta Rupabumi Indonesia atau Peta RBI.

Peta RBI, yang termasuk dalam kategori IGD, merupakan peta dasar yang memberikan informasi soal wilayah darat, pantai maupun laut. Seluruhnya merupakan gabungan penggambaran dari garis pantai, hipsografi (garis yang menghubungkan semua titik dengan ketinggian yang sama di permukaan bumi atau kedalaman yang sama di dasar laut), perairan, nama rupabumi, batas wilayah, transportasi dan utilitas, bangunan dan fasilitas umum serta penutup lahan.

Spektrum penyajian Peta RBI mulai dari skala 1:1.000, 1:5.000, 1:25.000, 1:50.000, 1:250.000 hingga 1: 1.000.000. Peta dengan skala 1:1.000 dan 1:5.000 disebut sebagai peta dengan skala besar, sedangkan yang berskala 1:25.000 dan 1:50.000 disebut peta berskala menengah, dan dengan skala 1:250.000 dan 1:1.000.000 disebut sebagai peta berskala kecil.

Ketersediaan Peta RBI berskala kecil, telah 100% memuat seluruh Wilayah Indonesia. Sedangkan yang berskala menengah, hingga pertengahan tahun 2019 mencapai 94,01% dari seluruh Wilayah Indonesia.

Ini kemudian dimutakhirkan oleh BIG pada tahun 2022. Namun untuk ketersediaan peta yang berskala besar, hingga 1:5.000, baru mencapai 2,58% dari seluruh wilayah Indonesia. Minimnya ketersediaan Peta RBI berskala besar akibat keterbatasan waktu, sumber daya, dan dana yang besar untuk pembuatannya.

Proses Penyiapan Peta

Proses pembuatan peta RBI berskala 1:5.000, diawali dengan proses pengumpulan data geospasial (DG). Metode yang digunakan BIG untuk keperluan ini, melalui foto udara, foto udara dengan lidar, serta menggunakan citra satelit tegak resolusi tinggi (CSRT).

Lidar, light detector and ranging, adalah penggunaan datektor sinar laser, untuk menentukan jarak. Mengukur jarak menggunakan cara ini dilakukan dengan menembakkan sinar laser ke titik tertentu. Waktu yang ditempuh sinar saat ditembakkan hingga diterima kembali oleh detektor, menunjukkan jarak yang sedang dicari.

Masing masing metode pengumpulan data ini, punya kelebihan dan kekurangaannya. Juga konsekuensi sumber daya yang harus dikeluarkan. Untuk foto udara dan foto udara-lidar peralatan dan biaya yang digunakan mahal dan membutuhkan SDM dengan keterampilan tertentu.

Namun demikian, data yang dihasilkan sangat baik, mampu menghasilkan kenampakan bumi secara 3D. Posisi X dan Y bisa di dapatkan, juga nilai ketinggiannya. Sedangkan untuk CSRT, datanya diperoleh dari BRIN. Keterbatasan dengan metode ini, citra satelit tak dapat menghasilkan data dalam bentuk 3D.

Perolehan data melalui foto udara, didahului dengan penyusunan rencana jalur terbang. Rencana ini berisi tinggi terbang, arah terbang serta besaran overlap dan sidelap pada foto. Foto harus saling overlap untuk menghasilkan gambar 3D.

Bersamaan dengan penyusunan rencana jalur terbang, dilakukan penyusunan rencana GCP (ground control point) dan ICP (independent check point). Rencana GCP dan ICP, berguna dalam pengolahan data hasil foto udara, maupun penentuan uji ketelitiannya, saat pengolahan foto udara, dihasilkan.

Tahap berikutnya adalah pengumpulan data foto udara atau foto udara-lidar. Kamera udara yang digunakan adalah kamera yang dipasang di badan pesawat udara, dengan rancangan untuk keperluan pengumpulan foto.

Pengumpulan data dilakukan pagi atau sore hari, serta bebas dari tutupan awan. Jika terdapat tutupan awan lebih dari 20-30%, harus dilakukan pemotretan ulang. Sehingga dapat dipahami halangan memperoleh hasil foto udara yang baik adalah cuaca yang sulit diprediksi. Saat hujan tidak dilakukan pemotretan, karena hasilnya bakal buruk.

Setelah pengumpulan data selesai, tahap berikutnya adalah pemrosesan data. Prosesnya disebut sebagai aerial triangulation (AT). Pada AT digunakan perangkat keras maupun lunak yang dirancang untuk keperluan itu.

Foto udara yang jumlahnya ratusan dipilah jadi bagian yang lebih kecil. Ini bertujuan mempermudah pengolahan datanya. Dari proses AT, disusun model 3 Dimensi (3D) yang digunakan untuk ekstraksi unsur rupabumi.

Selain model 3D, hasil pengumpulan foto udara berupa mozaik foto udara dan data DSM (Digital Surface Model). Untuk data foto udara dan lidar, dapat menghasilkan data DTM (Digital Terrain Model). Tahap di atas adalah proses pengadaan data geospasial. Jika seluruhnya telah tersedia gambaran rupabumi dapat ditampilkan.

Contoh data Digital Surface Model (DSM)Sumber:

Menampilkan Wajah Rupa Bumi dalam Peta

Untuk menampilkan rupa bumi sebagai peta, didahului dengan proses digitasi dari data model 3D. Diperlukan mouse dan kacamata khusus yang digunakan untuk ekstrasi unsur rupabumi. Unsur-unsur yang dihasilkan adalah hipsografi, perairan, transportasi dan utilitas, bangunan serta penutup lahan.

Pada peta juga dimunculkan garis pantai maupun batas administrasi, namun memerlukan tahapan khusus. Dan dengan menggunakan perangkat lunak GIS (Geographical Information System), dilakukan proses pembuatan polygon maupun koreksi dari kesalahan topologi.

Polygon merupakan reperesentasi dunia nyata yang dituangkan pada muka peta. Sedangkan topologi adalah adalah hasil hubungkan titik, garis maupun beberapa polygon. Proses berikutnya adalah pembentukan kontur dari titik hipsografi. Proses yang juga dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ini.

Selain desk activity di depan komputer, juga dilakukan survei toponim serta uji akurasi. Survei toponim merupakan aktivitas mengumpulkan nama-nama rupabumi, yang kemudian dimasukkan sebagai atribut peta.

Bisa tampil sebagai nama kota, desa, gunung, bukit maupun sungai. Proses memasukkan atribut peta hasil survei ini, merupakan rangkaian penyelarasan data. Ini kemudian diikuti dengan Uji akurasi, yang berfungsi memeriksa kesesuain peta dengan ketentuan yang berlaku. Tak lupa metadata juga dibuat, sebagai catatan proses pembuatan peta RBI ini.

Pada Peta RBI yang sudah selesai, dilakukan pemeriksaan quality assurance (QA). Ini bertujuan agar peta yang disebar luaskan, telah sesuai dengan spesifikasi yang berlaku.

Contoh data peta skala besarSumber:

Demikianlah perjalanan Peta RBI bisa hadir dan digunakan oleh khalayak. Prosesnya panjang dan berjenjang dalam menghasilkan peta. Peta atau informasi geospasial dasar yang baik, akan menghasilkan aneka manfaat yang baik juga. Selamat telah memahami proses yang rumit ini.

*) Penulis adalah Surveyor Pemetaan Muda Badan Informasi Geospasial (BIG)

**) Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis, bukan pandangan Urbanasia

Komentar
paper plane

Berita Terkait
    Berita Terkait